webnovel

Love trap for you!

"Persiapkan diri kalian untuk menikah, besok! Nanti malam Papa akan menemui Tomi untuk membahas pernikahan kalian. Papa tak habis pikir, bagaimana semua ini bisa terjadi?!" Gelegar! Ucapan Herman bagaikan halilintar yang menyambar diri Alina. Membuat tubuhnya terdiam kaku. Bagaimana tidak? Rencana pernikahannya dengan Abas saja masih membuatnya ragu. Padahal mereka berdua sudah bertunangan selama dua tahun. Namun kini, hanya dengan kesalahpahaman yang terjadi semalam, ia justru harus menikah dengan lelaki yang tidak ia sukai. Lelaki yang seharusnya menjadi adik iparnya, kini justru menjadi calon suaminya. "Om, Tante. Ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Ini semua salah paham! Ini semua tidak benar. Tidak ada yang terjadi diantara kami. Jadi pernikahan ini tak perlu dilakukan ..." "Bagaimana kalau Lo hamil?" belum selesai Alina menyelesaikan kata-katanya. Rimba sudah lebih dulu menyela. Membuat gadis terkesiap. "Apa maksudmu?" tanya Alina seperti orang bodoh. Otaknya yang biasanya selalu necer dan cerdas kini seperti blank. Bahkan ia sendiri masih sulit mencerna situasi yang sedang ia hadapi saat ini. Niat hati Alina hanya ingin memberikan obat untuk tunangannya. Ia datang ke rumah keluarga Yudha Tama setelah menerima pesan singkat dari Abas. Anehnya dia tidak bertemu dengan Abas melainkan Rimba. Entah apa yang terjadi padanya? Hingga pagi harinya, keluarga Yudha Tama memergoki ia yang tidur satu ranjang dengan Rimba. Tidur? Ya hanya tidur saja. Alina yakin tidak terjadi sesuatu antara mereka berdua. Ia cukup dewasa untuk membedakan makna kata 'tidur' dari dua sudut pandang yang berbeda. Namun kenapa lelaki yang berada di sampingnya ini begitu ngotot. Jika telah terjadi sesuatu di antara mereka. Apalagi pria itu mengucapkan kata Hamil? Oh ayolah ... menikah saja Alina masih ragu, apalagi sampai memiliki anak. Alina menoleh ke arah Abas, tunangannya. Abas menatap dengan tatapan penuh amarah. "Alina! Teganya kamu membalasku seperti ini?! Kenapa harus dia? Kenapa harus adikku?" Abas menggebrak meja dengan keras dan hendak menghampiri adiknya. Akan tetapi, seruan dari sang Papa menghentikan niatnya. Alina yang terkejut. Menundukkan kepalanya. Tak pernah terbesit sedikit pun di hati Alina, untuk membalas penghianatan Abas padanya. Walau sudah berulang kali pria itu menduakannya, Alina tetap mencintai Abas dengan cintanya yang begitu naif. Rasanya ia ingin sekali menghilang saat ini juga. Bertunangan dengan sang kakak, namun terjebak dengan sang adik. Sebenarnya permainan apa yang sedang terjadi di antara ketiganya. Siapa dan bagaimana kisah ini terjadi? Akankah Alina tetap melanjutkan pernikahan yang dadakan ini. Atau kembali kepada Abas yang selalu menduakannya?

desti_anggraini · Urbano
Classificações insuficientes
14 Chs

13. Perebutan satu hati dari dua cinta!

Alina terperanjat, ia menggeser tubuhnya dan saat dua pemuda itu mulai kembali berkelahi layaknya dua orang anak kecil yang sedang memperebutkan mainan saja.

Herman yang geram melihat tingkah dua putranya langsung berdiri dan menarik kerah baju kedua putranya untuk melerai.

Plak! Plak!

Tangan Herman terangkat menampar wajah putranya satu persatu dengan keras. Membuat keduanya terdiam dengan napas yang memburu menahan emosi. Begitu pun dengan Herman. Ia malu melihat putranya bersikap seperti ini.

Sedangkan Alina menutup mulutnya dengan air mata yang mulai menetes. Tiara yang biasanya bersimpati pada Alina, kini duduk diam sambil menatap Alina tak suka. Membuat gadis itu semakin menunduk malu.

"Memalukan! Apa kalian berdua tak sadar dengan umur kalian sekarang, hah! Apa pantas kalian bertengkar hanya karena seorang wanita!" tegur Herman tegas. Tapi tanpa ia sengaja, seakan menampar harga diri Alina.

Alina yang menunduk meremas baju di bagian dadanya dengan erat. Hatinya sakit. Ia seakan ingin mati saja saat ini. Menimbun tubuhnya kedalam tanah atau menghilang begitu saja.

Jika waktu dapat diputar mungkin Alina akan memilih tidak mengenal Abas atau terlibat dengan keluarga ini. Namun sayang, semuanya sudah terjadi dan kini ia berada di posisi ini.

"Dia sudah merebut wanita yang seharusnya menjadi istriku, Pa! Rasanya aku ingin membunuhnya!" teriak Abas lantang. Hatinya masih diliputi emosi.

"Tenangkan dirimu, Abas!" titah Herman tegas.

"Bagaimana aku bisa tenang? Dia sudah merebut wanita yang seharusnya menjadi calon istriku! Wanita yang aku sayangi!" tanyanya penuh emosi. Kedua tangannya masih terkepal dan siap untuk mendarat di wajah tampan Rimba kembali. Walau kenyataannya wajahnya pun saat ini tak berbeda jauh dengan Rimba. Sama-sama di penuhi lebam.

"Sayang?" Rimba terkekeh kencang sambil memegang pipinya yang mulai terasa nyeri. Ponselnya yang tadi ia pegang entah sudah jatuh di mana.

"Apa? Jangan ikut campur dalam masalah perasaan di antara kami. Kamu bukan siapa-siapa di dalam hubunganku dan Alina. Jadi kuharap pahami batasan akan posisimu!" ucap Abas tegas menekan kata posisi di hadapan Rimba. Membuat Rimba menggertakkan giginya karena marah.

"Tak perlu mengajarkan tentang batasan padaku. Karena mulai hari ini aku adalah calon suaminya. Dan kamu ... hanya tinggal mantan! Mantan tunangan!" belas Rimba tak kalah menekan.

"Siapa bilang aku akan menjadi calon mantan. Aku tetaplah calon suaminya, dan kamu bukan lah siapa-siapa dia selain ADIK IPAR!"

"Apa maksud dari perkataanmu Abas?" tanya Pak Herman bingung mengartikan makna dari ucapan putranya. Begitu pun yang lainnya. Kecuali Rimba, tangan pria itu terkepal erat. Ia paham betul makna itu. Secara tidak langsung Abas menegaskan. Apapun yang terjadi, gadis itu adalah miliknya.

"Karena masalah ini aku mau pernikahanku dan Aliran cepat dilaksanakan. Setelah menikah, aku akan membawa alina pindah ke rumah baru kami. Aku tak mau istriku nanti tinggal bersama adik ipar yang diam-diam menginginkannya,"

"Apa?!" ucap Tiara dan alina bersamaan. Mereka tak menyangka jalan pikiran dan tanggapan Abas akan seperti itu.

"Apa kamu sudah gila Abas! Alina dan adikmu sudah tidur bersama. Bagaimana dia justru menikah denganmu?!" tegur Tiara. Wanita yang masih cantik di usianya yang mulai menua itu pun angkat bicara. Akalnya tak dapat mentolerir ide gila putra sulungnya itu.

"Tidak Ma. Aku serius. Aku akui selama ini aku selalu selingkuh di belakang Alina. Jadi anggap saja kali ini kami impas. Tapi memberikan wanita itu pada Rimba. Aku tak akan pernah ikhlas. Aku mencintainya, jadi anggap saja semua ini tak pernah terjadi," jawab Abas tegas namun terdengar gila. Harman dan Tiara menggelengkan kepala. Sedangkan Alina memijit pelipisnya yang terasa sakit.

"Bagaimana kalau kejadian ini membuat Alina hamil? Apa kamu masih Ami menerimanya?" tanya Tiara kembali.

Membuat Alina tertegun, ia sama sekali tak kepikiran akan hal itu. Bisa saja itu terjadi, mengingat apa yang diucapkan Rimba padanya. Mereka melakukan itu. Alina juga tak yakin jika lelaki itu menggunakan pengaman. Walau sebenarnya ia juga tak yakin, malam itu benar terjadi atau tidak?

"Aku akan menerimanya sebagai anakku sendiri, bukankah aku dan Rimba sedarah? Jadi anaknya sama dengan anakku juga," sahut Abas tegas. Membuat yang mendengarnya terperangah tak percaya.

"Tapi aku tak mau anakku diakui oleh orang lain! Aku masih hidup! Aku Ayahnya maka aku yang akan bertanggung jawab atas dirinya!" sanggah Rimba tegas. Rahangnya mengeras.

Ia tak terima dengan ucapan Abas. Apa dia pikir Rimba akan merelakan begitu saja anaknya menyebut pria lain sebagai Ayah. Sedangkan ia yang sebagai Ayah kandung hanya dianggap sebagai paman.

Kegilaan apa lagi ini. Anak mana yang sedang mereka perebutkan? Sedangkan kenyataannya tidak terjadi apa-apa antara Alina dan Rimba. Kenyataan itu hanya Rimba saja yang mengetahuinya. Namun gilanya pemuda itu, ia justru terbawa emosi dan seolah menganggap anak itu benar-benar ada. Jika benih itu saja tak pernah ia semai, lalu bagaimana akan tumbuh?

"Loh ... itu resiko yang harus kamu tanggung karena merebut calon istri kakakmu! Apa tak ada perempuan lain yang bisa kamu tiduri, kenapa tunanganku, hah! Dasar sial!" maki Abas murka. Amarahnya sudah naik ke ubun-ubun. Rasanya tak akan puas jika belum saling beradu jotos. Sama hal nya yang dirasakan Rimba saat ini.

Mereka berdua seperti dua ekor hewan buas yang siap saling menerkam satu sama lain. Hanya untuk memperebutkan satu orang wanita. Dan wanita itu adalah, Alina Aurelia Khanza.

Rimba tersenyum sinis. "Dari pada kamu sibuk mempertanggung jawabkan anak milikku. Lebih baik kamu tanggung jawab atas janin dari benihmu sendiri!" sindir Rimba telak. Membuat tubuh Abas terpaku. Matanya menatap Rimba yang tersenyum menjatuhkan.

"Apa maksud semuanya ini? Kalian berdua jangan bermain teka-teki?" Alina berdiri dan mendekat ke arah dua lelaki itu. Alina menatap rimba dan Abas secara bergantian. Dahinya berkerut melihat wajah Abas berubah tegang dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.

"Jawab aku, Mas? Apa yang sedang kamu sembunyikan dariku? Apa maksud dari perkataan adikmu itu?" cecarnya.

"Rimba sedang berbohong, kamu tahu sendiri dia sedang merusak hubungan kita berdua. Itu semua hanya akal-akalan dia saja," jawab pria itu berbohong. Suara Abas yang lembut menyakinkan Alina bahwa ia lah jujur sedangkan Rimba adalah pembohongnya.

Alina yang bingung kembali melihat Abas dan Rimba secara bergantian. Ia bingung siapa yang harus ia percaya perkataannya saat ini. Ditambah posisinya yang terjepit diantara mereka berdua. Membuat semuanya semakin rumit.

"Aku berbohong? Yakin jika aku berbohong, hmm?" Rimba mengeluarkan sebuah amplop yang berlogokan nama sebuah rumah sakit. Melihat dari logonya saja Abas sudah tahu surat apa itu.

Abas yang tegang semakin tidak nyaman. Matanya mulai menari-nari kesana kemari mencari jalan keluar.

"Surat apa itu?" tanya Alina. Tangannya tergapai ingin meraih surat itu dari tangan Rimba. Abas yang mulai panik juga mencoba merebut amplop itu, untung saja Rimba yang cekatan langsung menarik amplop itu kembali dan melangkah mundur. Seringai kembali terbit di sudut bibirnya.

"Sebenarnya surat apa itu? Kenapa kamu menjadi panik seperti itu, Mas? Sebenarnya ada apa? Jawab Mas?" desak Alina. Semua mata kini mengarah pada Abas, menunggu jawaban dari mulutnya yang sedang tertutup rapat.