webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · Realista
Classificações insuficientes
31 Chs

Sayap Kasih

"Ih, Bapak narsis. Eh, tapi kalo dilihat benar lho, wajah Bapak seperti ada keturunan bule. Memang keluarga ada orang bule?" tanya Sari penasaran.

Surya menggeleng. "Bule dari mana? Bapak ibu asli jawa semua. Tapi memang banyak yang bilang saya nggak kayak orang jawa."

"Kok bisa begitu ya, Pak? Apa dari kakek?" Sari terus bertanya. Beruntung ia memiliki bos yang ramah dan mau meladeni pertanyaan remeh temehnya.

"Nggak ada, nggak ada. Sudah tak usah bahas hal itu lagi. Bisa makin penasaran nanti." Surya menghentikan obrolan ringan itu. Ia tahu waktu istirahat siangnya tak banyak.

"Iya, Pak. Maaf, becanda saja. Sebentar saya telpon OB," ucap Sari. Ia kembali ke mejanya dan menelpon.

Surya berlalu dari ruangan rapat. Ia masuk ke ruang kerjanya sendiri.

'Kopi Tulang, apa kabarmu?' Sebenarnya semenjak mengunjungi tempat itu, Surya terus mengingat semua kejadian di sana. Semalam pun ia bermimpi yang sama lagi. Entah sudah berapa kali ia mengulang mimpi itu.

Mimpi yang ujung-ujungnya membuat dadanya terasa ngilu seperti ditusuk. 'Aduh, terasa nyeri lagi!' batin Surya sambil memegang dada kirinya.

"Penyakit yang aneh, kenapa kalau mengingat mimpi itu dadaku terasa sakit?" gumam Surya. Tangannya masih mengelus dadanya, berharap rasa nyeri itu segera pergi.

"Kenapa, Pak? Bapak sakit lagi?!" tanya Sari khawatir saat ia masuk ke ruangan kerja Surya. Ia masuk sambil membawakan pesanan makan siang.

Surya menoleh dan menggeleng. "Nggak apa-apa, Sari. Biasalah," ucapnya sambil duduk biasa lagi.

"Tapi maaf, Pak. Saya lihat Bapak makin sering mengeluh sakit semenjak pulang dari Malang … Benar Pak Surya baik-baik saja? Apa sudah cek ke dokter? Sebelum terlambat, Pak …" Sari memotong kalimatnya sendiri.

"Sebelum apa? Kamu jangan berpikiran jelek. Saya rutin medical check up, dan tidak ada sakit jantung atau sakit berbahaya lainnya." Surya setengah kesal dengan anak buahnya itu.

"Ya, syukurlah kalau begitu," ucap Sari sambil tersenyum lega. Ia lalu mengangsurkan makan siang ke meja Surya. "Ini, Pak. Tadi OB menitipkan ke saya," imbuhnya.

"Oke, terima kasih. Kamu sudah makan?" tanya Surya pada asistennya itu.

"Ini mau, Pak. Di luar dengan teman-teman," jawab Sari. "Oh ya, nanti setelah meeting dengan bagian keuangan, kita ada pertemuan dengan Gita dari Sayap Kasih. Pak Surya bisa, 'kan?"

Surya mengangguk. "Oke, bisa. Kebetulan dia datang, kita akan semakin cepat merumuskan proyek kerja sama ini."

Setelah jam istirahat usai, Surya kembali disibukkan dengan urusan pekerjaan. Untung saja rasa nyeri yang seringkali tiba-tiba datang itu tak terlalu mengganggu. Rasa itu hanya datang sesekali saja saat terpicu oleh beberapa hal yang memicunya.

Memang benar apa yang dikatakan Sari. Sekarang, saat mengingat kota Malang dan kejadian-kejadian kemarin, rasa nyeri di ulu hati Surya bisa terasa lagi. Ia sendiri masih bertanya-tanya, kenapa hal itu bisa memicunya juga? Semuanya seperti potongan puzzle yang belum kelihatan bentuknya sama sekali.

Surya menggaruk rambutnya yang tak gatal.

Terdengar ketukan dari luar pintu. Tanpa menoleh Surya mempersilahkan tamunya masuk. "Masuk!"

Sari muncul dengan seorang wanita muda. Usianya mungkin baru menginjak 30 tahunan, tapi ia sudah terkenal sebagai seorang influencer kegiatan sosial dan amal. Gita sudah melakukan aksinya itu bahkan sejak di bangku sekolah menengah atas.

Surya meletakkan ponselnya dan mengajak tamunya duduk di sofa tamu. "Hallo, Gita. Apa kabar?" tanyanya ramah sambil menyalami wanita itu.

"Baik, Pak Surya. Bapak apa kabar juga?" Gita balas menjabat tangan Surya dan menanyakan kabarnya.

"Seperti yang kamu lihat, saya baik-baik saja bukan?" Surya membalas dengan sedikit bercanda.

Gita mengangguk dan tertawa kecil, ia menoleh pada Sari.

"Duduk di sini!" ajak Sari sambil mempersilahkan Gita duduk di sampingnya. Gita menurut dan mengambil posisi di sebelah Sari. Semenjak menangani proyek amal ini, mereka berdua tampaknya semakin dekat.

"Oke, langsung saja kita mulai meeting, Pak?" tanya Sari meminta persetujuan Surya.

Yang ditanya mengangguk dan bersiap mendengarkan dengan seksama. "Ya, mulai saja. Kali ini kita mulai bahas detail semua keperluan untuk acara ini. Besok harus sudah mulai eksekusi. Kamu dengar tadi di rapat besar, next meeting harus sudah ada progress dan laporan detil."

"Baik, Pak. Kita mulai dari Gita dulu, bagaimana dengan persiapan di lapangan?" tanya Sari.

Sari segera membuka iPad yang dibawanya dan menunjukkan halaman-halaman persentasi. Ia melaporkan dengan detil sudah sejauh mana kesiapan dia dan timnya melakukan kerja itu.

"Ya, terima kasih, Pak Surya dan mbak Sari. Untuk laporan di lapangan, bisa saya sampaikan bawah persiapan kita sudah 90%. Semua orang yang akan terlibat dalam proyek ini sudah siap, anak-anak yang nanti akan kita sorot kehidupan hariannya juga sudah siap." Sari membuka halaman-halaman persentasi yang berisi banyak gambar dan bagan.

Surya fokus menyimak. Selesai Gita mempresentasikan kesiapannya, Surya mengajukan beberapa pertanyaan.

"Jadi sekarang total ada berapa anak yang kalian asuh?" tanyanya pada Gita.

"Semuanya, jika dihitung ada 130, Pak Surya. Yang tinggal di rumah singgah kami ada 70 dan yang masih bersama orang tua atau keluarganya sejumlah sisanya," jawabnya.

"Banyak juga ya? Semuanya ditanggung oleh Yayasan Sayap Kasih?" tanya Surya lagi.

"Iya, betul, Pak. Tapi, kami tidak membuka kotak donasi atau amal. Kami mencoba mandiri sejak awal organisasi ini berdiri." Gita menjelaskan lagi.

"Anak-anak yang masih bayi dan kondisinya kurang baik, ikut bersama saya di rumah singgah, yang masih ada keluarga, kami bantu keluarganya untuk meningkatkan kesejahterannya, supaya mereka dapat mengurus anaknya itu dengan lebih baik."

Surya masih penasaran. "Jadi bagaimana kalian bisa membiayai operasional Yayasan yang tak sedikit ini?"

Gita tersenyum. "Kami punya beberapa unit usaha dan bisnis sendiri. Dari sanalah keuntungan sebagian dialokasikan untuk membiayai kegiatan Yayasan," jelasnya.

"Luar biasa. Lalu, jika ada yang ingin berdonasi, apa yang kalian lakukan? Tidak akan di terima?" Surya masih tak habis pikir, ada organisasi sosial tapi menolak uang sumbangan.

"Kami menawarkan kerjasama dengan cara lain, Pak. Seperti yang akan kita lakukan ini. Perusahaan Bapak menjalin kerjasama endorse dengan anak-anak asuhan kami. Kami mendapatkan bayaran atas usaha yang sudah kami lakukan, perusahaan Bapak juga mendapatkan branding yang bagus dari kegiatan ini, utamanya di media sosial dan situs berita." Gita panjang lebar menjelaskan.

Surya manggut-manggut. Sekarang dia mengerti. 'Ini namanya symbiosis mutualisme,' batin Surya.

"Lalu, apakah anak-anak Yayasan itu bisa diadopsi oleh orang luar?" tiba-tiba Surya mengajukan pertanyaan yang tak biasa.

Gita membetulkan kacamatanya sebentar dan cepat mengangguk. "Bisa, Pak. Anak-anak itu bisa diadopsi oleh orang tua asuh. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku."

"Apa syarat utamanya?" tanya Surya berminat.