webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · Realista
Classificações insuficientes
31 Chs

Kencan Gagal

Keesokan malamnya, Hargus benar datang ke kafe Flamboyan. Ia datang lebih dulu sebelum Henny datang. Bossnya itu memberi tahu kalau masih di jalan. Jadi Hargus menunggunya di tempat parkiran. Teman yang mengantarnya ia suruh pulang lebih dulu.

"Ini tempatnya?" tanya Hargus pada Bobby, teman kerjanya.

"Iya, benar ini. Lho Kak Hargus memangnya belum pernah ke sini?" Bobby balik bertanya.

Hargus menggeleng. "Sebenarnya aku tak suka nongkrong di kafe," katanya beralasan.

"Oke, aku tunggu atau bagaimana?" tanya Bobby lagi.

"Pulang saja duluan, nanti aku bisa pulang sendiri," ucap Hargus.

"Pulangnya nanti naik apa?" Bobby bertanya lagi, ia agak cemas nanti Hargus pulang kemalaman dan tak ada angkutan.

"Gampang. Itu dipikir nanti saja," ujar Hargus sambil mengembalikan helm. "Terima kasih ya," ucapnya.

"Oke, kalau begitu aku jalan duluan." Bobby kembali menstarter motornya dan meninggalkan Hargus di kafe Flamboyan.

Hargus duduk-duduk dengan canggung karena ia tak berminat masuk ke dalam kafe sebelum Henny datang. Untuk menghilangkan kejenuhan menunggu, Hargus membuka ponsel dan membaca berita-berita online.

Sekitar 15 menit kemudian, mobil Henny baru terlihat memasuki parkiran. Hargus sangat mengenali mobil warna merah metalik itu. Selera otomotif yang berani. 'Dasar ibu-ibu,' keluh Hargus dalam hatinya diam-diam.

Henny turun dan melambai pada Hargus yang berdiri tak jauh dari tenpat parkirnya.

"Kamu sudah lama di sini?" tanyanya sambil merapikan bajunya. Setelan kemeja casual dan celana jeans biru pudar. Lengkap dengan sepatu sport warna putih.

Hargus menggelengkan kepala melihat penampilan bossnya itu.

"Kenapa diam saja? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Henny saat melihat Hargus memperhatikannya saja.

"Bu Boss katanya mau kenalan dengan laki-laki, kenapa nggak pakai gaun yang elegan?" protes Hargus.

Henny tertawa mendengar perkataan Hargus. "Memang sengaja. Aku nggak cari lelaki yang cuma menilaiku dari tampilan luar, aku mau yang bisa terima aku sebagaimana aku," tutur Henny.

"Oke baiklah, terserahlah." Hargus membetulkan kacamatanya.

"Kenapa kau yang tampak kecewa melihatku begini?" tanya Henny sambil melangkah ke kafe.

"Nggak apa-apa. Aku ingat saja Bu Boss dulu anggun, suka memakai gaun, tapi sekarang berubah semua," ujar Hargus.

"Hei-hei, sudahlah. Jangan bahas masa lalu yang aku nggak ngerti, itu semua imajinasimu. Aku dari dulu suka begini." Henny rupanya tak mau mendengar protesan Hargus.

"Ya, maaf. Apa dia sudah datang?" tanya Hargus mengalihkan pembicaraan.

"Katanya sudah datang dari tadi. Kamu tahu? Aku juga sengaja telat," bisik Henny sambil tertawa kecil.

Hargus kembali menggelengkan kepalanya. 'Mamaku benar-benar sudah berubah kepribadiannya,' batinnya.

Hargus mengikuti Henny tapi mereka berjalan sendiri-sendiri. Tentu saja mereka harus berpura-pura tidak saling mengenal agar misinya malam itu berhasil.

Henny berjalan menghampiri meja yang berada di pojok. Seorang lelaki tampak duduk sendirian di sana. Ia mengenakan baju hem lengan pendek dan celana kain warna hitam. Rambut kepalanya tampak klimis dengan minyak rambut.

"Selamat malam. Maaf, benar Anda Mas Sandy?" tanya Henny dengan sopan pada lelaki yang masih duduk membelakangi itu.

Orang yang disapa menoleh spontan dan berdiri dari kursinya.

"Oh, iya iya. Henny ya? Saya Sandy," ucapnya dengan ramah sambil mengulurkan tangan.

Henny tak serta merta menjabat tangan Sandy. Saat melihat wajahnya, seketika Henny merasakan tubuhnya dingin. Ia tiba-tiba dijalari perasaan takut dan cemas yang tak beralasan. Perempuan itu terdiam cukup lama hingga Sandy kembali berbicara padanya.

"Henny ya? Saya Sandy," ucapnya lagi sambil tersenyum.

"Eh, i-iya. Saya Henny," jawab Henny menerima jabat tangan Sandy. Keringat dingin terasa mulai menetes di punggung. Lidah Henny tiba-tiba terasa kelu, mulutnya mual dan kepalanya pusing. Tapi ia masih berusaha untuk kuat berada di sana.

"Mari duduk," ajak Sandy.

Henny menarik kursi di depannya dan duduk dengan gamang. Tatap matanya masih setengah kosong dan datar.

Sementara tak jauh dari mereka, Hargus mengambil tempat duduk yang cocok agar bisa mengawasi mereka. Ia melihat sinar mata ketakutan dari Henny saat bertemu dengan Sandy.

Hargus merasakan ketegangan juga. Matanya awas mengamati sekelilingnya. "Tampaknya dialah lelaki itu. Pembunuh itu!"

***

Lelaki itu menyodorkan buku menu pada Henny. Ia menyuruh perempuan itu memilih makanan dan minuman sendiri.

"Silahkan, Dik Henny mau pesan apa?" tanyanya sambil tersenyum ramah.

Lidah Henny masih kelu, suaranya seperti tersekat di tenggorokan dan tak bisa dikeluarkan.

"Saya sudah memesan ayam bakar tadi," ujar lelaki itu lagi.

Buku menu di tangan Henny seketika jatuh saat mendengar kata 'bakar'. Wajahnya semakin pucat pasi, rasa mual dan pusing menjadi satu. Ingin rasanya ia pingsan saat itu juga. Dengan sisa kekuatannya ia akhirnya berkata dengan terbata-bata.

"Ma-maaf … sa-saya tiba-tiba sakit kepala, saya mau pulang saja," ucap Henny sambil beranjak dari kursinya. Berdirinya tak tegak, nyaris oleng. Kepalanya sudah berkunang-kunang.

"Kamu kenapa? Masa pergi begitu saja, saya sudah jauh-jauh datang dan meluangkan waktu ke sini. Kamu tidak menghargai saya ya,"ucap lelaki itu. Mukanya menahan marah.

"Ma-maaf … sekali lagi maaf, Mas Sandy." Henny meninggalkan tempat itu dengan tergesa.

Sementara Hargus, saat melihat Henny pergi langsung menyusulnya. Pelayan yang sedang mencatat menu pesanan berteriak kebingungan. "Kak, nggak jadi pesan?" tanyanya.

"Maaf, besok lagi," jawab Hargus sambil meninggalkan uang pecahan untuk tip di meja kasir.

Sampai di parkiran Hargus melihat Henny yang sedang berjongkok di dekat mobilnya sambil menangis.

Hargus tanpa sungkan langsung memeluknya tanpa berkata-kata.

Henny tentu saja terkejut dengan sikap pemuda tanggung di depannya, tapi emosi kesedihan yang meluap dari dalam dadanya seolah tak lagi mempedulikan apapun. Henny bersandar di dada Hargus dan menumpahkan perasaannya di sana, menangis sesenggukan.

"Kita pulang saja ya?" ujar Hargus saat melihat bossnya itu sudah mulai bisa menenangkan diri.

Henny membuka tasnya dan mengulurkan kunci mobil pada Hargus. "Kamu bisa setir?" tanyanya penuh harap. "Kepalaku pusing sekali," imbuhnya.

"Oke, tapi pelan-pelan saja ya. Aku pernah belajar tapi jarang praktek, tahu sendiri aku ke mana-mana pakai angkutan umum," ujarnya jujur.

"Ya, nggak apa-apa. Kalau begitu kita lewat jalan yang sepi kendaraan saja," ucap Henny.

Hargus membukakan pintu mobil sebelah kiri depan untuk Henny. "Masuklah," ucapnya.

Henny masuk dan duduk. Ia terlihat beberapa kali menarik nafas panjang berusaha menenangkan diri.

Hargus menyalakan mesin mobil dan kendaraan itu perlahan bergerak meninggalkan kafe. Mereka tak menyadari ada sepasang mata dari balik kaca kafe yang terus mengawasi mereka.

"Sialan! Ternyata wanita itu datang dengan teman ingusannya!" gumamnya. Rahangnya terlihat mengeras, tangannya mengepal menahan amarah. "Tunggu pembalasanku. Baru kali ini aku dipermainkan perempuan dengan seenaknya."

Sementara itu di dalam mobil Henny, ia sibuk memberikan arahan pada Hargus jalan mana saja yang harus dilewati. "Depan belok kiri, lurus saja sampai ketemu lampu merah," perintahnya.

"Siap, Bu Boss …" jawab Hargus santai.

Diluar perkiraan, kemampuannya menyetir ternyata tidak terlalu buruk meski ia bilang jarang mengemudi.

"Kamu bilang tak terlalu bisa nyetir, tapi lumayan kok, tidak terlalu kaku," puji Henny pada Hargus.

Pemuda itu tersenyum kecil. "Tentu saja, aku jarang mengemudikan mobil sungguhan, tapi aku sering main game balap mobil," tukasnya.

Henny mengangguk-anggukan kepalanya. "Hebat ya, anak jaman sekarang. Apa saja bisa dipelajari dengan cepat," kesannya.

"Ya, begitulah, asal mau belajar apa saja bisa," ucap Hargus. Ia masih fokus menyetir.

Henny sesekali memandangi wajah pemuda itu dari arah samping.

"Kenapa terus melihat wajahku? Terpesona?" ucap Hargus tanpa malu-malu.

"Hahaha! Terpesona? Hmm, mungkin iya. Tapi bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku seperti tak asing dengan wajahmu," kata Henny jujur.

"Ya. Memang sudah kenal kok," tukas Hargus dengan ringannya.

"Di masa lalu?" tanya Henny. Ia sekarang sudah terbiasa dan hafal dengan kebiasaan Hargus yang selalu mengatakan mereka sudah saling kenal.

Pemuda berkacamata itu mengangguk.

Henny kali ini mengernyitkan dahinya. "Apa aku orang yang dekat denganmu?" tanyanya mulai penasaran.

"Ya, sangat dekat." Hargus tersenyum tipis.

"Sedekat apa?" tanya Henny makin penasaran.

"Bu Boss mau mendengarnya? Janji tidak akan terkejut?" Hargus balik bertanya.

Henny menggelengkan kepala. "Kali ini aku mencoba biasa saja, apapun yang kamu katakan," ujarnya.

"Hmm, baiklah. Dengarkan ini. Bu Boss adalah orang yang melahirkanku di kehidupan sebelum ini," katanya.

"A-appaa??" Mulut Henny ternganga mendengar penjelasan Hargus. Ia kemudian buru-buru menutup mulutnya, tapi matanya masih terbelalak.

"Katanya akan biasa saja?" ujar Hargus sambil tertawa kecil.

"Aku tak menyangka itu jawabanmu," ucap Henny masih tak percaya.

"Tak apa-apa kalau tak mempercayainya sekarang. Tapi aku sungguh-sungguh, makanya aku juga ingin menjagamu dari … dia," terang Hargus. Kalimatnya mengambang saat menyebut kata 'dia'.

"Dia? Dia siapa yang kamu maksud?" tanya Henny keheranan.

Hargus seperti mempersiapkan dirinya sebelum menjawab pertanyaan Henny.

"Pembunuh itu … Lelaki yang tadi bertemu denganmu di kafe," kata Hargus tanpa keraguan sedikitpun.

Kali ini mulut Henny benar-bener melongo tanpa sadar. Berdetik-detik lamanya ia masih di posisi yang sama, tak berubah.

"Kenapa? Bu Boss terkejut? Katanya tadi siap mendengar apapun dariku," kata Hargus mencoba menyadarkan Henny yang masih diam saja.

"Bagaimana kamu bisa tahu semua itu? Aku masih ragu, karena apapun yang kamu katakan seperti imajinasimu saja." Henny mencoba berpegang pada pikirannya sendiri.

"Kalau memang begitu menurutmu, kenapa tadi memutuskan lari dari orang itu. Siapa namanya?" tanya Hargus mencoba mengorek keterangan dari Henny.

"Aku … seluruh tubuhku dingin, kepalaku pusing, lemas dan mual. Aku mendadak ketakutan melihatnya," jawab Henny jujur.

"Itulah salah satu buktinya. Di alam bawah sadar Bu Boss masih mengenali orang yang pernah mencelakai kita semua dulu," terang Hargus.

"Apa yang ia lakukan padaku? Padamu, juga pada … kamu bilang keluarga kita?" Henny kini seolah memperoleh jawaban atas kejadian tak biasa malam itu.

"Dia membunuhmu, membunuku, membunuh adikku, membunuh Papa … dan menghabisi semua yang ada di rumah besar kita," ungkap Hargus.

Henny terdiam. Dia shock mendengar keterangan Hargus.

"Kau sekarang percaya padaku?" tanya Hargus. Ia ingin mengetahui sejauh mana dan sedalam apa yang di rasakan perempuan itu kini.

Henny menganggukkan kepalanya, tapi lalu menggelengkannya. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.

"Entahlah … aku pusing," gumamnya.

"Maaf. Sudah, jangan dipaksa memahami semuanya sekarang. Tak usah terlalu dipikirkan juga. Itu masa lalu. Hanya saja, aku datang untuk menjagamu. Karena begitu yang selalu kamu inginkan dariku dulu …" ucap Hargus.

Henny menganggukkan kepalanya. "Rumahku sudah kelihatan di depan itu," tunjuk Henny.

"Aku tahu, biar aku parkirkan dulu mobil ini," ucap Hargus.

"Lalu kamu bagaimana? Masih mau pulang dan mengejar angkutan umum jam segini?" tanya Henny.

"Ehm, mau bagaimana lagi? Rumahku yang sekarang berbeda denganmu," ujar Hargus.

"Aku mengerti, harusnya aku tadi yang mengantarmu pulang, sebaliknya malah aku memintamu mengantarku ke sini," ucap Henny sambil melepas sabuk kendaraannya.

"Ya, nggak apa-apa. Gampang nanti aku cari cara untuk pulang," ucap Hargus ringan.

"Bagaimana kalau menginap di rumahku saja?" tanya Henny dengan senyuman aneh.

Hargus bengong. "Bu Boss … apa aku tak salah dengar?"