webnovel

Bab 8 Ketakutan

Karena kepikiran dan tidak bisa tidur, Aluna akhirnya memutuskan bangkit dari posisinya dan keluar kamar. Ia penasaran di mana pria itu tidur.

Tapi saat hampir semua ruangan didatangi oleh Aluna, ia belum bisa menemukan di mana Raven berada.

Sampai akhirnya Aluna mendengar suara dari arah pintu belakang. Seperti suara langkah namun terdengar lebih dari suara kaki manusia.

Aluna mendekati pintu belakang dan hendak membukanya. Tapi pintu itu tidak bisa terbuka setelah Aluna mencoba membukanya.

Terkunci kah? Aluna bertanya dalam hati.

Suara itu kembali terdengar. Aluna lalu melihat ke samping dan menemukan sebuah jendela kayu berbentuk persegi. Aluna segera saja membuka jendela itu.

Pemandangan malam di belakang rumah ternyata tidak kalah bagusnya dengan di halaman depan rumah. Tapi Aluna tidak sempat mengagumi keindahan itu karena fokusnya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri sambil memegang tali kekang seekor kuda hitam di sampingnya.

"Kuda?" gumam Aluna yang hanya bisa didengar olehnya saja.

Belum sempat Aluna memanggil, Raven sudah menaiki kuda hitam itu dan duduk di atas pelana. Di detik selanjutnya Aluna hanya bisa melihat kuda yang dinaiki Raven sudah mulai berlari.

"Ah, Raven!" teriak Aluna.

Namun Raven tidak mendengarnya. Kuda hitam itu membawa Raven terus menjauh. Masuk ke dalam hutan yang berada di belakang rumah ini.

"Dia tidak mendengarnya," ujar Aluna pada dirinya sendiri.

Selama beberapa menit Aluna menatap halaman rumah yang kosong tanpa melakukan apa pun.

"Ternyata dia bisa menunggangi kuda ya, hm," gumam Aluna lagi pada dirinya sendiri.

Aluna berkedip-kedip lalu mengerutkan keningnya. Itu bukan sesuatu yang penting untuk sekarang. Ada hal yang lebih penting dari sekadar kagum pada kemampuan Raven yang baru saja ia ketahui.

"Dia mau ke mana?" tanya Aluna entah pada siapa.

Aluna teringat perdebatan yang tadi terjadi di antara mereka berdua.

'Tidak, tidak boleh. Kau keluarlah sekarang. Jangan tidur di sini. Aku tidak mau tidur denganmu. Kalau kau tidak mau keluar aku akan tidur di tempat lain.'

Kalimat itu yang ia katakan pada Raven. Aluna mengerucutkan bibirnya saat mengingat balasan Raven.

"Tunggu," ucap Raven sembari menarik tangan Aluna lalu melanjutkan ucapannya, "Aku akan keluar. Tetaplah di sini. Kau bisa tidur kembali dan aku akan keluar. Aku akan tidur di ruangan lain."

"Apa jangan-jangan karena ucapanku?" tebak Aluna.

Aluna cemberut dan melanjutkan ucapannya, "Dia pergi karena kejadian tadi?"

Aluna menghela napas. "Padahal dia tidak perlu sampai pergi dari bangunan ini. Aku kira dia akan tidur di ruangan lain. Tapi malah keluar rumah, dia mau tidur di luar?"

Aluna tiba-tiba merasa bersalah. Ia lalu menutup jendela kayu dan sama sekali tidak berniat untuk keluar lewat jendela. Soalnya Aluna tidak pandai menyelinap seperti itu.

Aluna memutuskan kembali ke kamar. Namun saat berada di ruang tengah penghubung dapur dan kamarnya, Aluna mempercepat langkahnya secara mendadak.

Pikiran sebelumnya datang lagi menghinggapi kepala Aluna. Aluna segera naik ke tempat tidur dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tidak ada yang keluar dari selimut dari kaki sampai kepalanya.

Aluna meringkuk ketakutan dalam selimut. Ia membayangkan banyak hal negatif. Tapi, sekali lagi bukan mengenai hal-hal yang mistis.

Bagaimana jika ada hewan buas yang menyerang rumah ini? Bagaimana kalau ada pencuri atau penjahat yang menyelinap? Rumah ini terbuat dari batang kayu dari pohon, pasti mudah menghancurkannya dengan kapak.

Akhirnya Aluna tidak bisa tertidur dengan cepat karena memikirkan itu semua sepanjang malam.

Sampai akhirnya waktu sudah hampir mendekati fajar, Aluna mengumpat kesal.

"Sialan. Lagi pula kenapa harus tinggal di tengah hutan begini, sih?"

Aluna mengumpat sambil mengingat wajah Raven. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan pria itu.

Rasa bersalah yang ada sebelumnya untuk pria itu lenyap berganti kekesalan.

Tapim meski rasa kesalnya lumayan besar, itu tidak menghilangkan rasa takut Aluna. Aluna juga masih ketakutan rupanya.

Apa lagi saat lilin di kamarnya tiba-tiba mati karena telah meleleh seluruhnya. Membuat ruangan gelap tanpa cahaya.

Aluna ingin histeris sekarang.

*****

Pagi sudah tiba dan Aluna yang memaksa tidak menutup matanya karena rasa takut harus menerima risiko tubuhnya menjadi lemas. Matanya juga terasa berat dan pedih.

Aluna membatin, awas saja kalau Raven sudah kembali. Aluna tidak akan memaafkannya karena sudah meninggalkannya sendirian di rumah ini.

Tunggu dulu, kenapa kedengarannya ia tidak ingin Raven pergi dari sisinya? Bukankah ia yang ingin pergi dari rumah ini sebelumnya?

Aluna menggelengkan kepalanya. Raven itu hanya pria asing, dan memang seharusnya ia bertanggung jawab sudah membawa Aluna ke tempat ini.

Aluna mengepalkan tangannya akibat rasa kesalnya. Tapi kemudian kepalan tangannya melemah.

Tapi, bagaimana kalau memang benar Raven pergi itu karena Aluna? Karena ia mengusirnya dari kamar?

Aluna kembali merasa bersalah.

"Akh, aku pusing!" Aluna mengacak-acak rambutnya karena frustrasi.

Sebuah suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamar. Aluna yang mendengarnya segera menyingkap selimutnya dan melihat ke pintu kamar yang tidak ada penghalangnya.

Aluna mendapati Raven berdiri tegak di ambang pintu. Sepertinya ia tidak mendengar saat Raven membuka pintu belakang dan baru sadar saat Raven sudah di dekat kamar.

"Oh, kau sudah bangun?" Raven masuk sembari menatap Aluna.

"Dari mana saja kau semalam?" Aluna membalas pertanyaan Raven bukan dengan jawaban melainkan pertanyaan.

Raven tampak tertegun.

"Kau tahu aku pergi?" Sepertinya Raven sadar Aluna tahu ia tidak berada di rumah sepanjang malam.

Apa Aluna terbangun tengah malam? Raven menebak dalam hati.

"Ya, aku tahu. Aku melihatmu pergi dengan menunggangi kuda."

Raven terkejut, ia tidak menyangka Aluna melihatnya pergi secara langsung.

"Ada sedikit urusan, jadi aku pergi dan baru kembali." Raven seolah menolak menjawab dengan detail.

Aluna cemberut. Ia membalas, "Aku tidak bisa tidur semalaman karena takut terjadi apa-apa di rumah ini karena sendirian."

Raven terkejut sekali lagi. Ia memperhatikan wajah Aluna yang memang terlihat pucat dengan mata yang memerah.

"Kau tidak bisa tidur?" tanya Raven heran.

Aluna mengangguk dan melanjutkan, "Dan itu karena kau pergi seenaknya." Aluna menunjuk Raven pertanda ia menyalahkannya.

"Tapi aku sudah menaruh obat tidur di makananmu." Raven tanpa sadar mengungkapkan isi pikirannya.

"Apa?" Aluna menurunkan tangannya dan menatap Raven dengan pandangan tidak percaya.

"Obat tidur? Apa maksudmu?" tanya Aluna. Mendadak ia mengingat saat dirinya tertidur setelah makan sup jamur.

Ekspresi tegang Raven memperkuat rasa curiga Aluna.

"Raven? Apa yang kau katakan?"

Raven masih terdiam.

"Kau menaruh obat tidur di makananku?" Aluna mengerutkan alisnya dan melanjutkan "Untuk Apa?"

*****