webnovel

Bab 3 Ingin Lepas

Entah karena Aluna terlalu fokus dengan pikiran tidak jelasnya hanya karena pemandangan yang ia lihat, atau karena suara langkah kaki pria di rumah yang sama itu terlalu pelan hingga tidak terdengar, Aluna tidak tahu kapan pria itu mendekat.

Yang Aluna lakukan selanjutnya adalah membeku dengan tubuh tegang saat pria itu memeluk pundaknya dengan tangan kanan dan perutnya dengan tangan kiri.

"Aluna," gumam pria itu di telinga Aluna.

Aluna merinding saat napas pria itu berhembus di telinga dan lehernya.

"Apa yang kau lakukan?!" Aluna memegang tangan pria yang ada di tubuhnya. Ia mau melepaskannya.

"Maafkan aku."

Aluna mengabaikan permintaan maaf yang tidak jelas itu dan berkata, "Lepas!"

Aluna berusaha melepaskan tangan pria itu, tapi pria itu lebih mengeratkan pelukannya.

"Aku bilang lepas!" Aluna memerintah sekali lagi.

"Tidak mau."

Aluna lupa kalau pria itu benar-benar menyebalkan, ia menguji kesabaran Aluna lagi.

"Sialan kau!" Aluna akhirnya benar-benar mengumpat saat ini, padahal selama ini belum pernah ia lakukan.

Ia bukanlah gadis yang senang dengan kata-kata kasar. Tapi pria ini sudah membuatnya marah tidak terkendali. Aluna bahkan terkejut dengan dirinya sendiri.

Tubuh pria itu menempel dengan punggungnya. Tidak ada celah untuknya bisa memukul perut pria itu.

"Apa maumu, sih?!" tanya Aluna dengan kesal.

Pria itu tahu ia kesal meski tidak melihat wajahnya. Tapi Aluna tidak bisa melihat raut wajah pria itu dan menebak pikirannya.

Pelukan di tubuhnya mengendur saat ia bertanya hal itu. Melihat kesempatan untuk lepas, Aluna menarik tangan pria itu agar dirinya bisa menjauh.

Tapi, sekali lagi pelukannya mengerat seolah tahu Aluna ingin melepaskan diri.

"Aku ingin Aluna menenangkan diri dulu."

Aluna mendengus mendengar keinginan pertama yang keluar dari mulut pria itu.

Ia menarik napas, terpaksa mengikuti keinginan pria itu.

Ia mencoba bernapas dengan tenang.

"Sudah. Jadi lepaskan." Aluna berusaha berbicara dengan nada yang lebih pelan.

Dengan ragu-ragu, pria itu melepaskan pelukannya.

Aluna membalikkan tubuhnya saat pelukan itu terlepas. Ia sempat tertegun melihat raut wajah pria di hadapannya.

Tatapannya tulus dan tampak sangat cemas.

Ah, Aluna juga baru sadar kalau pria ini memiliki mata dengan iris berwarna abu-abu. Sempat membuat Aluna terkagum dengan kilaunya.

Tapi Aluna segera menyadarkan diri agar tidak jatuh dalam pesona pria di depannya.

"Oke, sekarang apa maumu?" tanya Aluna.

"Jangan pergi. Jangan pergi kemanapun. Tetaplah di sini. Tetaplah di sisiku," jawab pria itu.

Aluna mengerutkan alisnya, tampak geli saat pria yang tidak ia ingat berkata seperti itu. Apa dia mau menggombal?

"Kenapa aku harus melakukan itu?" balas Aluna.

Pria itu langsung menjawab, "Karena kau istriku."

Aluna masih melakukan reaksi yang sama seperti sebelumnya. Ia melotot karena jawaban itu.

Aluna membuka mulutnya dan mencegah untuk memutar bola matanya kesal, "Dengar, ya. Aku bukan istrimu. Aku tidak pernah menikah dengan orang lain selain suamiku."

Aluna menekan nada di setiap kata-katanya.

Pria itu berkedip satu kali dan bersuara, "Tentu saja, aku kan suamimu."

"Hah?" Aluna melongo.

"Kau tidak mungkin menikah dengan selain suamimu sendiri. Suami ada karena menikah."

Ternyata pria itu tidak tersinggung dan justru merasa mereka memang benar-benar menikah.

Aluna berdecak, bukan karena kagum namun sebaliknya karena kesal.

"Maksudku, aku hanya menikah dengan suamiku, Valen. Aku tidak ingat pernah menikah denganmu." Aluna memperjelas perkataannya.

Namun pria itu lagi-lagi membalas, "Kau memang tidak ingat. Karena kau lupa ingatan itu sebabnya," katanya terputus karena Aluna berdesah menumpahkan kekesalannya.

Lagi-lagi pria itu mengungkit hal yang sama.

Aluna sadar mereka tidak akan berhenti berdebat jika ini terus dilanjutkan. Pria itu akan teguh dengan pendapatnya yang mengatakan ia lupa ingatan dan mereka telah menjadi sepasang suami istri.

Aluna juga sama sekali tidak merasa dirinya salah. Ia tidak lupa ingatan dan hanya menikah satu kali dengan Valen saja.

"Lupakan aku tidak peduli," ujar Aluna lalu berbalik.

Ia hendak melangkah pergi tapi berhasil dicegah oleh pria itu. Tangan Aluna dipegang dan ditahan agar tidak menjauh.

"Kau mau kemana?" tanya pria itu dengan tangan yang masih menahan Aluna.

"Aku mau pulang. Lepaskan aku," kata Aluna sembari menggerakkan tangannya agar lepas dari pria itu.

"Rumahmu ada di sini," balas pria itu dengan sedikit panik.

"Ini bukan rumahku. Aku tidak tahu di mana ini. Kalau kau tidak mau memulangkanku ke rumahku, maka lepaskan tanganmu. Biar aku pulang sendiri."

"Tapi ini rumahmu, meski hanya sementara saja," balas pria itu tampak ragu-ragu dengan jawabannya.

"Kalau kau tidak ingin memberitahuku dimana ini dan bagaimana aku bisa pulang, maka biar aku cari tahu sendiri saja. Pokoknya aku harus kembali ke rumahku yang sebenarnya."

Tangan pria itu terlepas saat mendengar kalimat Aluna yang terakhir. Ia seolah setuju kalau ini bukan rumah sebenarnya. Lalu apa maksudnya rumah sementara yang dikatakan oleh pria itu? Aluna mengabaikan pertanyaan di kepalanya saat melihat peluang dirinya dilepaskan.

Aluna kembali membalikkan badannya dan hendak melangkah pergi.

"Aluna!"

Aluna batal berjalan lagi.

"Apa lagi?" tanyanya gemas.

Pria itu menatapnya dalam lalu membungkuk mengambil sebuah sepatu kulit berwarna coklat di dekat pintu.

"Pakailah ini."

Aluna memandang sepatu yang ditunjukkan oleh pria itu.

Ia lalu memandang kakinya yang tidak mengenakan apa-apa. Saat melihat ke bawah, Aluna juga sadar ia mengenakan terusan polos berwarna putih tanpa lengan. Astaga ia selalu memakai pakaian yang tertutup jika bukan berada di rumahnya.

"Hei, apa kau punya kemeja panjang?" tanya Aluna.

Pria itu berkedip sekali, "Ada."

"Boleh aku pinjam?" tanya Aluna lagi.

"Oh, tentu saja."

Aluna seolah melupakan semua kejadian beberapa menit yang lalu dan masuk kembali ke dalam rumah itu.

Padahal ia sudah berusaha keluar dan kali ini malah kembali masuk hanya karena ingin pakai pakaian tertutup.

Aluna merasa pria itu tidak akan menahan lagi. Kalau tidak, kenapa ia mau menawarkan sepatu pada Aluna seolah pasrah jika Aluna pergi.

Setelah mengganti pakaiannya Aluna diberikan sesuatu yang lain.

"Ini," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah jubah berwarna biru gelap. "Jubah ini milikmu."

Aluna mengabaikan kalimat terakhirnya dan mengambil jubah itu lalu memakainya.

"Terima kasih," ucap Aluna.

"Kau yakin memakai kemejaku?" Pria itu menatap Aluna yang mengenakan kemeja yang kebesaran di tubuhnya.

"Kau tahu, kau punya banyak pakaian yang lebih pas di tubuhmu," lanjut pria bermata abu-abu itu.

Aluna mengerutkan alisnya, "Aku punya banyak pakaian?"

Aluna berpikir keras, untuk apa ia punya banyak pakaian di rumah yang tidak pernah ia tinggali. Apa ini perbuatan pria itu lagi?

Sebenarnya untuk apa ia di bawa ke sini? Tapi menanyakan hal itu lagi akan membuatnya berdebat tanpa henti dengan pria yang ada di hadapannya ini.

Pria itu menjawab dengan mengangguk sambil menunjuk ke sudut ruangan, "Iya, ada di lemari itu."

*****

Terimakasih sudah membaca cerita ini. semoga kalian suka dengan ceritanya. jangan lupa untuk review/komen sebanyak-banyaknya ya, see you *lambaikan tangan

Dwi_Nacreators' thoughts