Alena berjalan keluar dari ruangannya menuju teras depan rumah sakit, ia akan memesan taksi karena mobilnya masih dibengkel untuk perbaikan. Berjalan dengan anggun ia tersenyum ramah kala beberapa orang menyapanya disepanjang lorong ruang perawatan pasien, Alena memang terkenal di rumah sakit ini bukan saja karena wajah ayu yang dimilikinya tapi sikap ramah dan statusnya yang masih single menjadi faktor yang paling kuat, maka tak heran jika ia menjadi incaran banyak karyawan serta para dokter muda disini.
Merogoh saku jas untuk mengambil ponsel Alena berniat untuk memesan taksi online, tapi belum sempat ia melakukannya suara di samping tubuhnya membuat ia menoleh dan menemukan Elang yang tengah menatapnya dengan senyum manis yang tersungging di wajah tampan laki laki itu. Jujur saja Alena sempat terpesona, wajah tampan Elang yang diwarisi dari sang ayah serta gen unggul dari ibunya menghasilkan keturunan luar biasa menawan seperti sesorang yang tengah mengamatinya dengan intens hingga membuat Alena tersenyum malu malu seperti sekarang ini.
"Mau pulang dok? Ayo sekalian bareng saya" suara Elang membuat Alena menetralkan kembali mimik wajahnya, tak ingin sampai tingkat ke PDan Elang meningkat karena menyadarinya yang sempat salah tingkah tadi.
"Dokter gak ada kerjaan ya? tiap saya gak bawa mobil selalu nganterin pulang" balasnya dengan nada bercanda disertai kekehan geli.
"Saya mau ke rumah kakak saya jadi gak ada masalah kan karena kita juga searah"
"Apa gak papa? Saya cuma gak enak aja sama yang lain karena banyak gosip miring tentang kita. Mereka mengira kita pacaran"
Ucap Alena dengan nada pelan diakhir kalimat. Oh tuhan ia malu sekranag.
Elang mengangkat alisnya menatap wanita di depanya ini yang terlihat ..... tersipu.
"Gak masalah, saya malah bersyukur kalau beneran begitu"
"Hah?" Alena melongo sedikit kaget dengan balasan Elang yang terlihat tak keberatan sama sekali.
"Ayo sudah malam"
Elang berucap dengan menarik tangan Alena menuju tempat mobilnya terparkir. Sebenarnya ini hanya akal akalan nya saja untuk berdekatan dengan primadona di rumah sakit ini, sejak awal bertemu Alena di taman waktu itu Elang sudah tertarik dengan Alena yang baginya begitu mengemaskan ditambah sikap malu malu yang sering ditampilkan wanita itu saat berdekatan dengannya membuat Elang semakin menaruh harapan dan empati pada sosok mungil yang tengah beriri disampingnya ini. Anggap saja ia jatuh cinta pada pandang pertama, terlihat mengada ada memang tapi itulah yang dirasakannya saat ini.
"Saya boleh kan berharap lebih sama kamu?"
Ucapan Elang membuat Alena mengangkat wajah dan mengarahkan tatapanya pada laki laki yang tengah fokus menyetir itu, ia hanya diam masih binggung dengan arah pembicaraan kali ini.
"Al? Bolehkan? Saya yakin kamu single karena saya lihat kamu gak deket sama laki laki manapun jadi masih ada kesempatan buat saya deketin kamu. Dan mulai sekarang saya akan berjuang untuk itu"
Laki laki disampingnya ini selain suka bersikap semena mena ternyata juga memiliki sifat sok tau yang tinggi, memang ia single tapi kenapa status itu terdengar begitu menyebalkan di telinganya ditambah nada yang digunakan Elang seperti tengah mengejeknya.
"Saya belum siap menikah"
Balasan itu terdengar ketus ditelinga Elang membuat ia menarik sudut bibirnya keatas, merasa lucu sekaligus gemas dengan respon yang ditunjukkan wanita pujaannya ini.
"Dekat bukan berarti menikah kan? Saya cuma mau kita memahami pribadi masing masing dulu"
"Jadi dokter deketin saya cuma mau dijadikan pengalihan status, begitu! Atau jangan jangan kalau dokter sudah bosen mau mencampakkan saya? Iya kan? Dokter fikir saya... "
"Bukan, kamu salah paham. Jangan negative thinking dulu. Saya serius dan sebelumnya saya tidak pernah seserius ini sama perempuan lain. Mengingat umur saya yang sudah matang dan siap menikah saya memilih kamu untuk menjadi istri saya. Dan untuk saat ini kita bisa saling mengenal lebih dekat dulu sebelum ke jenjang yang lebih serius"
Alena tak mau mudah percaya dengan laki laki ini walaupun ia memiliki perasaan suka juga merasa senang tapi Alena berusaha untuk selektif apalagi masalah berhubungan dengan lawan jenis, ia hanya tak ingin mengalami nasib yang sama seperti mamanya dulu. Dicampakkan dan dikhianati laki laki yang begitu dicintai.
Memikirkan itu membuat rasa benci Alena pada sang ayah semakin besar, ia hanya tak menyangka laki laki nomor satu dalam hidupnya itu tega melakukan hal menjijikan dengan berselingkuh dibelakang sang mama.
Menghembuskan nafas kasar Alena menetralkan detak jantungnya yang terasa menggila, ia memijit pelipisya pelan merasakan pening yang tiba tiba datang membuat Elang yang tengah duduk disampingnya menolehkan pandangan, merasa heran juga penasaran dengan sikap yang ditunjukkan Alena saat ini.
"Saya .. saya takut dok, gak mudah untuk berkomitmen. Ada kepercayaan juga harapan disana dan saya takut dikecewakan"
Alena merasakan matanya yang mulai memanas siap meluncurkan bulir bulir bening yang akan jatuh menuruni pipinya. Entahlah ia hanya belum siap dan masih belum ikhlas menerima kepahitan yang selama ini ia lewati. Rasa sakit serta kecewa itu masih memenuhi hatinya hingga untuk berhubungan dengan laki laki ia merasa belum siap.
Elang yang merasakan keanehan pada Alena memilih menghentikan mobilnya dipinggir jalan, memfokuskan pandangannya pada perempuan cantik disampingnya. Tangannya menggenggam erat tangan Alena yang terasa dingin ia akan berusaha meyakinkan Alena bahwa mereka akan baik baik saja kedepannya.
"Saya takut dok, saya benar benar takut untuk menjalin hubungan dan rasanya saya tidak akan pernah siap"
Elang hanya diam membiarkan wanita itu menumpahkan segala keresahan yang dirasakannya.
"Pengalaman pahit yang pernah mama saya alami mengajarkan saya untuk tidak mudah percaya pada laki laki, jujur saja saya berniat tidak akan pernah jatuh cinta. Tapi saya perempuan normal yang memiliki ketertarikan dan keinginan menjalin hubungan tapi kembali lagi rasa takut itu masih memenuhi pikiran saya"
"Jadi saya harap dokter memahi perasaan saya, beri saya waktu untuk menumbuhkan kepercayaan saya pada dokter. Mungkin tidak sebentar tapi saya akan berusaha semampu saya" ucap Alena dengan nada bergetar yang berusaha perempuan itu redam.
Elang yang sedari tadi diam mulai memahami kenapa Alena selama ini tak memberikan respon berarti saat dokter yang lain berusaha untuk mendekati wanita cantik ini. Ia merasa bersyukur karena Alena masih mau berdekatan dengannya yang ia yakini saat ini hanya sebatas formalitas sesama rekan kerja. Tapi tak apa, ia akan terus berusaha untuk mendapatkan hati juga kepercayaan Alena.
Elang memang tak mengetahui hal hal apa saja yang telah perempuan itu alami, ia hanya tahu Alena adalah sosok ceria juga ramah pada semua orang. Ternyata dibalik semua itu, Alena menyimpan luka juga kecewa yang begitu dalam hingga membuatnya tak percaya pada sebuah komitmen.
Elang menarik Alena dalam pelukannya, mengusap punggung wanita itu yang bergetar karena tangis. Ia akan berusaha keras untuk memperjuangkan cintanya karena ia tidak pernah main main dengan Alena.
Setelah sedikit tenang, Elang mengurai pelukan mereka dan menghapus sisa sisa air mata pada pipi wanita itu. Mengulas senyum untuk meyakinkan Alena bahwa ia memahami dengan semua yang perempuan itu rasakan.
****
Elang memarkirkan mobilnya di halaman rumah Alena, membuka pintu mobil ia berjalan menyusul Alena yang lebih dulu masuk kerumah. Sedari tadi Elang belum berani membuka suara karena setelah menangis tadi Alena hanya diam dengan mata sembab serta wajah yang terlihat murung.
Diteras rumah sudah berdiri laki laki yang memiliki bentuk wajah mirip dengan Alena, tengah menatapnya dengan mata menyorot tajam. Ia berjalan menghampiri laki laki itu, sangat penasaran siapa orang tersebut yang baru sekali ini ia temui dirumah sang pujaan hati.
"Lo Apain adik gue sampe nangis begitu? Kalau bener karena Lo, jangan harap hidup Lo bakal tenang"
Elang merinding mendengar suara laki laki tersebut yang terdengar begitu dingin disertai wajah mengeras. Ia semakin yakin orang ini pasti salah satu keluarga Alena.
Menarik nafas pelan Elang membalas tatapan mata pria tersebut sebelum membalas ucapan yang lebih seperti tuduhan.
"Pantang bagi gue menyakiti perempuan"
Rama berdecih, dengan wajah sinis ia menatap Elang tak suka.
"Gue percaya? Jangan mengelak bung"
"Terserah kalau Lo gak percaya, yang jelas gue bukan laki laki seperti yang Lo tuduhkan"
Elang menjawab cuek malas rasanya berdebat dengan orang yang langsung menghakimi tanpa tau duduk permasalahannya.
Memilih pamit ia berjalan menuju mobilnya terparkir dan mulai membelah jalanan yang lengang pada jam jam segini.
Setelah kepergian Elang, Rama memilih masuk kerumah menuju kamar adiknya. Ia cemas? Tentu, sudah lama ia tak melihat Alena menangis seperti tadi. Ia akan menanyakan alasannya tapi juga tak akan memaksa saat sang adik belum mau bercerita.
Berjalan menuju Alena yang terlihat termenung dibalkon, Rama memilih menghampiri tanpa suara. Ia merasa kasihan pada Alena, belasan tahun mereka bersama membuat ia memahami betul sifat sang adik disaat seperti ini.
"Abang gak akan memaksa kalau kamu belum mau cerita, tapi Abang minta untuk membagi segala permasalahan kamu sama abang. Abang siap mendengar segala keluh kesah yang sedang kamu rasakan. Ingat dek kita saudara dan kamu juga tau pasti sebesar apa rasa sayang Abang sama kamu"
Alena masih diam, mendongak melihat bintang bintang yang berkelip dilangit malam ditemani sang bulan.
"Aku takut bang, takut apa yang terjadi sama mama dulu bakal aku alami juga" ucap Alena setelah beberapa menit di isi dengan keheningan.
"Kamu inget kan sama ucapan Abang. Nasib orang berbeda beda dek, dan Abang yakin setelah semua kepahitan yang kamu lewati ini Tuhan akan bermurah hati untuk memberikan kamu ganti dengan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah kamu rasakan. Biarkan kenangan kelam kamu itu menjadi milkmu dimasa lalu, dan sekarang saatnya kamu untuk bangkit"
Rama sudah paham kemana arah pembicaraan ini bermuara dan ia merutuk dirinya sendiri karena sudah menuduh laki laki tadi tanpa bukti.
"Kamu tahu, mama pasti sudah ikhlas dan bahagia disana. Dan tugas kamu sekarang harus terus berjuang mengikhlaskan semuanya"
Alena manearik nafas panjang sebelum menceritakan hal yang menganggu fikirannya.
"Elang, laki laki tadi memintaku untuk memberinya kesempatan, tapi aku masih belum yakin bang. Semuanya terasa cepat dan aku takut dikecewakan"
"Kamu gak akan tau kalau belum mencoba dek. Yakinkan diri kamu dulu kalau Elang laki laki yang berbeda dari papa kamu. Dan sepertinya dia laki laki yang jujur"
Ya Rama mengakui itu, walaupun ia sempat terpancing emosi karena Alena pulang dengan keadaan mata sembab seperti tadi tapi tak dapat ia pungkiri dari kesungguhan Elang saat membantah tuduhannya tadi dapat menunjukkan bahwa laki laki tersebut tidak berbohong.
Alena hanya membalas dengan anggukan samar, masih merasa tak yakin dengan ucapan abangnya barusan karena ia sempat melihat beberapa kali Elang dekat dengan Fika, rekan kerja mereka sesama dokter.
****
Elang menghempaskan tubuhnya pada kasur king size dikamar tamu kakaknya, setelah membersihkan diri ia berniat untuk tidur karena tubuhnya terasa begitu lelah setelah menjalani operasi pada salah satu pasiennya seharian ini.
Tapi baru sebentar memejamkan mata, wajah Alena dengan mata sembab menganggu pikirannya. Ia masih belum bisa mengira-ira hal apa saja yang telah perempuan itu alami. Ia hanya dapat menilai, yang pasti sesuatu yang berat terlihat dari berapa lama Alena menangis dan sorot mata perempuan itu yang menyiratkan luka. Ia tau perempuan itu sudah mencoba meredakan tangisnya, tapi air mata itu tak mau berhenti mengalir. Dan Elang merasa begitu bersalah karena hanya bisa memberikan pelukan yang nyatanya tak mampu menghentikan tangis orang yang dicintainya.
Membalik tubuhnya tengkurap, Elang mencoba untuk tidur karena ia yakin suatu saat nanti Alena akan bercerita padanya dan ia berjanji untuk menghapus luka yang bersemayam dalam diri perempuan itu.