webnovel

Let Go (Omegaverse)

Bercerita tentang bagaimana para tokoh Let Go meraih kebahagiaan mereka. Baik itu lewat pencarian yang panjang, menemukan dengan mudahnya, mempertahankan yang sudah ada, maupun dengan melepaskan yang selama ini berada di genggamannya. . . Berlatar belakang "Omegaverse", dimana selain laki-laki dan perempuan ada gender kedua yaitu Alpha, Beta dan Omega. Karena berlatar omegaverse, jadi dalam cerita ini, baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya bisa hamil. So, bagi yang merasa tidak nyaman dengan tema 'homoseksual' dan juga 'male preganancy', diharapkan untuk tidak membaca cerita ini. # LGBTQ+ # Male Pregnancy # Omegaverse # 17+

Leuchtend · LGBT+
Classificações insuficientes
48 Chs

Kisses

Setelah pertemuan pertama itu, Anala dan Eckart rutin bertemu sebanyak dua kali dalam seminggu. Baik itu hanya sekedar menikmati lunch atau brunch, menonton film, atau pun sekedar berbelanja di supermarket. Tidak jarang juga keduanya terlihat bersama Nuri.

Seperti hari ini, ketiganya baru saja keluar dari bioskop setelah menonton film animasi anak-anak yang sudah keluar sejak empat hari yang lalu. Rencananya mereka tidak akan bertemu hari ini mengingat kemarin, keduanya baru saja bertemu untuk sekedar makan siang bersama.

Setelah menonton, Eckart memutuskan untuk mengajak Nala menemaninya berbelanja. Mumpung sedang di luar rumah dan kebutuhan rumah juga sudah menipis.

Nuri kini berada di dalam mobil. Sedangkan keduanya sibuk memasukkan belanjaan mereka ke bagasi mobil. Setelah memasukkan seluruh kantong belanjaan, Eckart menutup bagasi mobil dengan cepat.

"Kamu ada rencana lain setelah ini?" Tanya Eckart.

"Umm, tidak untuk dua sampai beberapa jam kedepan, tapi aku akan menjemput saudaraku dan tunangannya nanti jam sebelas malam."

"Mau makan malam di rumahku?" Tanya Eckart dengan sedikit ragu. Ini kali pertama dia mengajak Nala ke rumahnya.

"Apa boleh?"

"Tentu saja, kenapa tidak boleh?"

"Hahaha, mana aku tahu. Bisa saja aku membuat orang lain cemburu."

"Tidak, siapa yang akan cemburu pada pria tua sepertiku." Eckart tertawa pelan setelah menyelesaikan kalimatnya.

Nala yang melihat tawa itu merasakan hangat di dadanya. Baginya, senyum dan tawa Eckart sangat menawan. Dia suka.

"Tidak, kamu tidak tua sama sekali. Justru terlihat-" Nala menghentkan kalimatnya.

"Terlihat apa, hm?"

"Bukan apa-apa. Ayo, aku rasa sebaiknya kita cepat pulang." Nala berbalik mencoba pergi meninggalkan Eckart sendiri, namun Eckart menahannya. Nala pun berbalik menatap wajah Eckart karena terkejut.

"Aku terlihat apa Nala?" Tanya Eckart sambil sedikit menggoda Nala.

Nala mengalihkan pandangannya, wajahnya memanas, "Bukan apa-apa, lupakan saja."

Eckart meraih dagu Nala dan Nala terpaksa menghadap Eckart kembali. Namun matanya melihat ke arah lain. Sungguh, kelakuan Eckart tidak baik untuk kesehatan jantung Nala. Bisa saja kan sekarang jantungnya berhenti setelah berdetak melebihi kecepatan normal.

"Nala, coba lihat aku dan katakan apa yang tadi ingin kamu katakan. Jangan buat aku mati penasaran."

Nala yang mendengar kalimat Eckart mau tidak mau menatap manik Eckart. Detak jantungnya belum kembali normal, justru berdetak semakin cepat dan sepertinya Eckart bisa mendengar detak itu saking kencangnya.

"A-aku.. I-itu bukan apa-apa, sungguh."

Eckart mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Nala dengan lembut. "Lain kali selesaikan kalimatmu jangan buat aku penasaran lagi. Kali ini aku maafkan."

Eckart melepaskan tangannya yang sejak tadi memegang dagu Nala. "Ayo, kita pulang sekarang. Nuri sepertinya sudah lapar."

Keduanya memasuki mobil, Eckart di belakang kemudi dan Nala duduk di sampingnya, sedangkan Nuri duduk di kursi belakang sedang asik dengan tablet sang ayah.

"Nuri mau duduk di depan?" Seperti biasa, Nala menawarkan Nuri untuk duduk bersamanya.

Nuri menggeleng, "No, I'm okay here."

"Ah, I see." Ujar Nala kecewa. Ya, dia kecewa. Jika Nuri tidak menolak, dia sepertinya bisa mengalihkan fokusnya dan detak jantungnya pasti akan cepat kembali normal. Tapi kalau seperti ini, pastilah fokusnya tetap pada kejadian beberapa saat yang lalu.

Selama perjalanan tidak ada satupun yang berbicara, hanya ada suara dengkuran halus Nuri yang ternyata tertidur karena kelelahan. Eckart fokus pada jalanan, sedangkan Nala sibuk dengan pikirannya sambil menatap ke luar.

Sesampainya di rumah Eckart. Nuri langsung di bawa ke kamarnya di lantai dua. Sedangkan Nala membantu membawa kantong-kantong belanjaan menuju dapur.

"Sini aku bantu." Ucap Eckart yang tiba-tiba saja datang.

"Kamu mengejutkanku!" Ucap Nala kaget.

"Sorry, sorry."

Nala menghela nafas, "Don't do it again."

"Okay."

Keduanya kemudian sibuk dengan menata barang belanjaan. Mereka hanya berbicara seadaanya. Bahkan ketika menyiapkan makan malam. Keduanya tidak berbicara sama sekali.

Eckart pikir ciuman yang dia berikan tadi adalah sebuah kesalahan. Harusnya dia tidak melakukannya terlalu cepat. Sedangkan Nala justru berpikir sebaliknya, ciuman itu adalah susatu yang sudah dinantikannya sejak Nala merasa hatinya jatuh pada sosok Eckart.

"S-soal ciuman itu, aku minta maaf. Harusnya aku tidak menciummu, bukannya itu terasa terlalu cepat? Aku tidak memikirkan perasaanmu." Ucap Eckart sambil menata hidangan makan malam di atas meja.

Nala mengehentikan gerakannya. Gelas yang tadinya sedang diisi dengan air, diletakkan di atas kitchen counter. "T-tidak perlu minta maaf." Ucap Nala. "Aku menantikannya." Gumamnya pelan sekali.

Eckart tiba-tiba berbalik dan membawa tubuh Nala kedalam pelukannya, "Coba katakan lagi."

"K-katakan apa?"

"Yang baru saja kamu katakan. Cepat katakan lagi padaku."

"Tidak perlu minta maaf?"

"Bukan, tapi yang setelahnya."

Deg!

Nala tidak menyangka gumamannya tadi terdengar oleh Eckart. Sekarang dia seperti seorang pencuri yang sedang tertangkap basah. Jantungnya kembali berdetak kencang. Tak lagi bisa dipungkiri, Nala benar-benar sudah jatuh hati pada sosok Eckart.

"Nala, please. Katakan sekali lagi."

"Tidak perlu minta maaf." Ujar Nala.

"Bukan, bukan itu yang kumaksud."

"Sungguh, aku tidak mengatakan apa-apa setelahnya, kamu hanya salah mendengarnya saja. Lepaskan aku." Nala mencoba lepas dari dekapan Eckart.

"Tidak, katakan dulu, lalu aku akan melepaskanmu."

"…"

"Jangan menguji kesabaranku Nala, katakan atau aku akan menciummu."

"…"

"Nala…"

"A-aku menantikannya." Ucap Nala sambil menundukkan kepalanya. Pipinya terasa panas sekali. Dia malu, malu karena ternyata Eckart mendengar gumamannya.

"Menantikan apa Nala?"

"I-itu."

"Hm? Coba katakan dengan jelas. Tak perlu merasa gugup."

"…"

Eckart mengangkat wajah Nala. Manik sekelam malam itu kini sedang melihatnya. Wajahnya merah, matanya sudah siap menangis. Bukannya merasa bersalah, Eckart justru merasa semakin bersemangat untuk menggoda Nala.

"Coba katakan dengan jelas Anala."

Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Nala. Namun mulutnya tetap bungkam. Nala malu, malu sekali hingga rasanya ingin menangis saja saat ini.

Eckart mendekatkan wajahnya, menempelkan bibirnya pada bibir Nala yang terasa manis dan lembut. Awalnya hanya menempel saja, namun karena Eckart merasa tidak mendapat penolakan, ia mulai menjilati bibir manis itu. Tubuh Nala menegang dan entah mendapat dorongan dari mana, Nala mulai merespon apa yang dilakukan Eckart.

Kecupan itu berubah menjadi ciuman hangat dan menuntut. Suara decakan air liur mereka bahkan dapat terdengar jelas. Tangan Eckart yang tadinya berada di pinggang Nala kini mulai berani masuk kedalam t-shirt yang Nala kenakan. Tangan kirinya yang tadi bebas kini menekan tengkuk Nala untuk memperdalam ciuman mereka.

Dug!

Nala meninju kuat dada Eckart. Dia kehabisan nafas. Mau tidak mau, ciuman panas itu harus berhenti. Tautan bibir itu terlepas, menyebabkan benang saliva bening yang bertautan.

"Haah.. Haah.. " Suara Nala mengatur nafasnya setelah merasa sesak akibat kehabisan nafas.

Wajah Nala yang sedang terengah-engah itu terlihat seksi di mata Eckart. Bibirnya yang ranum sedikit membengkak dan mengkilap memnatulkan cahaya dari lampu dapur. Menggoda sekali. Eckart memajukan wajahnya, dia ingin merasakan bibir manis dan seksi milik Nala, lagi.

Nala yang merasa akan dicium lagi menahan wajah Eckart, "K-kamu harus membangunkan Nuri untuk makan malam."

Eckart yang mendapat penolakan itu membulatkan matanya dan kemudian tertunduk lesu. Nala dapat melihat telinga tak kasat mata itu sedang layu. Eckart terlihat seperti anak anjing besar yang sedang kehilangan mainan favoritnya. Nala tertawa kecil akibat bayangan yang ada di kepalanya.

Tangan Nala terulur dan mengusap kepala Eckart lembut. "Nanti kita lanjutkan lagi."

Eckart menegakkan kepalanya, matanya terlihat berninar-binar setelah mendengar kalimat yang diucapkan Nala, "Benarkah?"

Nala mengangguk malu, "Y-ya… K-kamu bisa menciumku sepuasnya, nanti."

.

.

.

".. A."

".. La."

"Nala."

Nala mencoba membuka mataku setelah mendengar namanya yang terus-menerus dipanggil, namun matanya justru langsung menyipit seketika setelah menangkap silaunya lampu yang berada tepat di atasnya.

"Nala."

"Hmmm."

"Ayo sudah hampir jam sebelas, kamu mau jemput saudaramu kan?"

Mata Nala langsung terbuka lebar. Nala langsung bangkit duduk. "Shit!" Umpatnya dan sepersekian detik menutup mulutnya, "Oops. Sorry."

"It's okay." Jawab Eckart. "So, jadi jemput saudaramu?"

"Sudah jam berapa sekarang?"

"Sepuluh tiga delapan." Jawab Eckart setelah melihat ke arah jam dinding yang menggantung di dinding di depannya.

"Bagaimana ini? Aku tidak akan sempat untuk mengambil mobilku." Ujar Nala panik dan kemudian menggigit ujung kukunya.

Eckart yang melihat itu langsung menarik tangan Nala, menjauhkan tangannya sebelum jari jempol Nala terluka akibat gigitannya. "Mari kita jemput bersama."

"Tapi, Nuri sendirian."

"Dia sudah tidur dan bocah itu tidak akan terbangun dari tidurnya hingga pagi. Jangan khawatir."

Nala menatap Eckart, "Aku merepotkanmu. Maaf."

"Tidak perlu minta maaf, kamu cukup membayarku dengan pergi ke pesta perayaan ulang tahun pernikahan Papa denganku."

"Tapi itukan pesta keluarga."

"Tidak juga, mereka juga mengundang teman dekat. So, will you?"

Nala terlihat berpikir keras, "Apa tidak apa-apa datang denganku?"

Eckart mengangguk mantap, "Jadi, jawabanmu?"

"It's my pleasure. Aku tunggu kabar selanjutnya darimu."

"Okay, jadi sekarang ayo kita jemput saudaramu, sebelum dia menunggu lama di bandara."

Nalapun pergi bersama Eckart untuk menjemput saudaranya. Perjalanan menuju bandara memakan waktu kurang lebih selama tiga puluh menit. Selama perjalanan, Nala tertidur pulas, mengingat tidurnya tadi terganggu dan juga sebenarnya Nala bukanlah 'a night owl'. Jadi ketika sudah menginjak pukul sepuluh, Nala akan langsung tidur.

Saat sampai di bandara, Nala dan Eckart duduk di bangku yang telah disediakan sambil menunggu kabar dari saudaranya. Nala menyandarkan kepalanya di bahu Eckart, matanya berusaha tetap fokus pada pintu kedatangan agar tidak melewatkan kedatangan saudaranya tercinta. Beruntung sekali malam ini suasana tidak terlalu ramai. Jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang. Jadi walaupun dalam keadaan mengantuk, setidaknya Nala masih bisa melihat dengan jelas jika nanti sosok saudaranya itu melewati pintu kedatangan penumpang.

Benar saja, tidak sia-sia dia berusaha fokus, matanya menangkap sosok yang sudah sangat dirindukannya. Nala langsung berdiri dan berlari menuju adik kesayangannya tersebut.

"AELIUS!" Panggilnya sambil berlir. Sama sekali tidak peduli pada banyaknya mata yang melihatnya.

"Oh my goodness. I miss you a lot!" Ucap Nala kembali sambil memeluk adiknya erat.

"I miss you more. So, kamu apa kabar?"

"Aku baik, baik banget." Pelukan hangat tadi terlepas, Nala melihat Aelius dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Perutmu, apa gak pa-pa?"

"Ummm.." Aelius kemudian menoleh ke belakang, seolah meminta sosok tersebut menjelaskan kepada Nala.

"Gak apa-apa kakak ipar. Kita udah konsultasi dulu ke dokter sebelum pergi ke sini, bahkan sudah sebulan sebelumnya, kita udah konsultasi."

"Syukurlah." Nala memeluk Aelius kembali. Melepas rindu yang sudah lama menumpuk.

"Ehem.." Deham Eckart yang sejak tadi berada di belakang Nala.

Nala yang menyadari bahwa dia melupakan sosok Eckart melepaskan pelukannya dan langsung buru-buru memperkenalkannya pada Aelius.

"So, Eckart kenalkan ini adikku Aelius dan my brother in law soon to be, Eckart. Dan kalian, kenalkan ini Eckart, teman dekatku."

"Eckart."

"Aelius."

"Eckart."

"Elatha."

"Elatha? Elatha Rajendra?"

"Yes, I am. Jangan-jangan, Tuan Eckart Landyn?"

"Yeah, It's me. Oh my God. Dunia sempit sekali."

"Kalian saling mengenal?" Tanya Nala yang sedang bingung.

"Ah, ya, teman bisnis dari Indonesia yang beberapa hari yang lalu aku ceritakan. Ingat?"

"Ah, ya, ya, aku ingat. Ternyata dunia memang sempit sekali."

"Oh, ngomong-ngomong kalian akan menginap di mana selama di sini?" Tanya Eckart pada Aelius dan Elatha.

Ketiganya sudah berada di dalam mobil Eckart yang kini sedang berjalan dengan santainya.

"Di apartemen Nala. Dia punya cukup banyak ruang. Buat apa Papaku mengirimkan banyak uang untuknya jika dia tidak menyewa apartemen yang bagus bukan?"

"Oh, aku tidak tahu apartemenmu seluas itu." Ucap Eckart dengan penuh arti kepada Nala.

Jujur, Eckart sama sekali belum pernah mengunjungi apartemen Nala yang kata adiknya ini cukup mewah dan memiliki banyak ruang kosong untuk para tamu menginap di sana.

"What?! Nala kamu belum mengajaknya berkunjung ke apartemenmu? Aku kira kalian cukup dekat."

Nala yang sedang duduk di kursi penumpang di samping Eckart itu langsung membuang muka, menahan rasa malunya dengan berpura-pura melihat keadaan di luar jendela.

"Belum sama sekali, bahkan setiap aku memina untuk mampir dia selalu berasalan 'apartemenku kotor, lain kali saja' atau 'apartemenku sempit, kamu pasti tidak nyaman'. Alasa klasik, huh?" Goda Eckart.

"Kakak, kamu jahat banget, undang dia sekali-sekali. Tunjukkin kemampuan masak kamu." Protes Aelius pada kakaknya.

(P.S dini Aelius berbicara menggunakan bahasa Indonesia pada Nala begitu juga sebaliknya).

"Berisik Al. terserah aku dong mau ajak dia atau enggak."

"Kamu bisa jadi omega tua renta kalau gitu terus."

"Ck… Al, dia kakakmu. Jangan seperti itu." Kali ini Elatha berusaha melerai keduanya. "Sorry, Eckart. Mereka selalu seperti ini." Elatha kemudian meminta maaf atas kelakuan Aelius dan Nala.

"Aku harap kamu cepat menikahi kakakku Mr. Landyn." Ujar Aelius.