Ananta hanya bisa menangis dalam diam saat jasad Alka di evakuasi dari tempat kejadian kecelakaan beruntun yang menewaskan sekitar 15 orang. Lelaki yang sangat ia cintai itu menjadi korban keganasan sebuah truk yang ugal-ugalan dan menabrak mobil di depannya, kemudian oleng lalu menghantam mobil yang di kendarai Alka hingga ringsek tanpa bentuk.
Alka dan beberapa korban lainnya meninggal di tempat. Ya, lelaki yang baru menikahi dirinya sekitar 2 minggu itu tewas meninggalkan sejuta kenangan manis yang memerih di ulu hati.
"Sayang."
Suara ibu mertuanya membuat Ananta menengadah. Menatap dalam sayu kemudian masuk ke dalam pelukan wanita yang umurnya sudah mencapai 45 tahun itu.
"Sabar, Sayang. Ini sudah takdir dari Tuhan." Nurmala mengelus punggung Ananta dengan lembut. Mengecup pucuk kepala berkali-kali. Ia juga sangat terkejut sekaligus sedih saat mendengar kejadian yang menimpa putra semata wayangnya itu. Namun, ia harus kuat dan tegar di hadapan menantunya. Baginya, Ananta itu bukan hanya istri dari Alka, tetapi juga anak yang harus ia lindungi dan jaga serta memastikan tetap bahagia tanpa air mata.
Nurmala telah berjanji pada dirinya saat Ananta sah menjadi istri Alka. Namun, takdir sepertinya berkata lain, Ananta menangis karena kehilangan orang yang sangat ia cintai. Gadis manis yang terlahir tanpa kasih sayang kedua orang tua itu harus kehilangan suami di usia yang sangat muda, 21 tahun.
"Ma, Mas Alka. Dia meninggalkan aku. Dia bohong soal janji tetap berada di sampingku." Bulir air mata itu terus jatuh membasahi pipi Ananta hingga membuat baju Nurmala ikut basah.
Nurmala memejamkan matanya. Tuhan memiliki rencana di balik kejadian ini. Nurmala yakin walau terlalu menyakitkan bagi mereka. Seandainya ia tahu akan begini kejadiannya, ia tidak akan mengizinkan Alka ke Bandung untuk menjemput asisten rumah tangga baru mereka. Seharusnya!
Semua hanya tinggal penyesalan. Menyayat hati yang sudah terlalu bahagia awalnya. Nurmala mungkin bisa menipu publik dengan ketegarannya, tapi menantunya tidak akan mampu bertahan pada penderitaan itu.
"Selamat siang, Bu. Jasad korban bernama Alka sudah berhasil dievakuasi dan akan segera dibawa ke rumah sakit untuk tindakan lanjutan." Polisi wanita itu menjelaskan pada Nurmala.
Nurmala menghela napas pelan. Bulir air matanya akhirnya jatuh setelah sekian lama ia tahan.
"Kami akan menyusul ke sana."
Nurmala melepaskan pelukannya dari Ananta. Menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. "Sayang, kamu harus kuat. Kita akan ke rumah sakit dan setelah itu kita akan membawa pulang jasad Alka untuk kita kebumikan." Nurmala menggigit bibirnya kuat, meredam rasa sakit yang menghantam hatinya.
Ananta kembali memeluk Nurmala. "Ma, ini hanya mimpi, kan? Mas Alka tidak meninggalkan kita."
Bagaimana menjelaskannya?
"Sayang, Alka ada di hati kita. Jangan menangis lagi." Nurmala kembali mengecup kening Ananta. Memberi kekuatan bahwa semua akan baik-baik saja jika mereka bersama.
***
1 Minggu Kemudian~
"Di mana menantumu itu?"
Nurmala menghela napas saat Siska, kakak dari almarhum suaminya itu datang ke rumah.
"Di kamar, Mbak. Kenapa?" Nurmala menyajikan teh manis panas kepada Siska dan juga Relin yang merupakan keponakan dari suaminya itu.
"Di kamar? Cih, dasar pemalas," cibir Siska membuat Nurmala lagi-lagi menghela napas.
"Mbak, Ananta itu masih berduka."
"Dia kira hanya dia yang kehilangan, apa? Seharunya kamu yang jauh lebih sedih di sini, Nurmala. Alka itu putra semata wayangmu dan meninggal secara tragis. Astaga, kenapa malah menantumu yang sedihnya melebihi apa pun." Nada suara itu jelas menandakan ketidaksukaan.
Nurmala tersenyum. "Aku kuat, Mbak, tapi tidak dengan Ananta. Dia sangat mencintai Alka dan baginya Alka adalah hidupnya. Lalu musibah datang menghantam pernikahan mereka yang masih berumur dua minggu. Bayangkan saja jika Mbak berada di posisi Ananta. Apakah Mbak sanggup bertahan?"
Nurmala mencoba memberi penjelasan pada Siska. Bukan ia tidak sedih. Hatinya juga sakit karena kehilangan darah dagingnya sendiri. Ibu mana yang baik-baik saja setelah ditinggalkan putranya seumur hidup? Namun, Nurmala tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan Ananta. Ananta terlalu rapuh dan dia harus menjadi fondasi agar mereka berdua tetap bisa bertahan dan menjalankan hidup dengan baik-baik saja.
"Jangan terlalu baik, Tante. Dia itu hanya menantu bukan anak. Bisa aja kebaikan Tante dimanfaatin nantinya. Pura-pura terpuruk padahal dia punya niat mau menguasai seluruh harta kekayaan Alka." Relin mencoba menghasut.
Nurmala bukan orang yang mudah terpengaruh. Ia mengenal baik menantunya bahkan sebelum sah menjadi istri Alka. Itu juga alasan kenapa ia sangat setuju ketika Alka menjalin hubungan dengan Ananta lalu 6 bulan kemudian menikah.
Terlalu cepat sebenarnya. Ya, begitulah takdir bermain dalam hidup manusia.
"Relin. Jangan berburuk sangka gitu, ah. Gak baik loh, Nak," tegur Nurmala.
Ini hal yang tidak pernah Nurmala sukai dari Relin itu. Berburuk sangka pada orang yang belum lama ia kenal. Kemudian mengutak-atik fakta dan rekayasa hingga menjadi satu lalu mengutarakannya di depan publik. Kelakuan yang sangat buruk.
Padahal Relin itu cantik dan memili aura wajah yang sangat nyaman dipandang mata, manis sekaligus menenangkan, tapi sayang, semua itu hanya seperti topeng yang menutupi segala tingkah lakunya yang sedikit tidak layak dicontoh.
Nurmala sudah sering menangkap tingkah buruk Relin. Ya, dulu juga seperti itu. Relin dengan terang-terangan mengatakan dirinya dihamili oleh Alka, padahal itu hanya bualan semata agar Alka menjadi miliknya. Sayangnya, almarhum suaminya tidak menerima apa pun alasan Relin. Bagi papanya Alka, Relin itu keponakan dan tidak layak menjadi menantu.
Setelah kejadian itu juga, Nurmala sudah tidak terlalu peduli pada apa yang dikatakan Relin. Baginya bualan tetaplah bualan.
"Apa yang dikatakan Relin itu benar, Mala. Bagaimana kalau dia hanya pura-pura terluka? Pura-pura sedih. Padahal hatinya ingin menguasai harta kekayaan keluargamu." Siska membela anaknya.
Nurmala berusaha tersenyum mendengar penuturan kakak iparnya dan juga keponakan dari suaminya itu.
"Mbak, Ananta tidak seperti itu. Aku percaya padanya. Sangat percaya. Aku sudah kehilangan putraku dan aku gak mau kehilangan putriku." Nurmala mencoba menahan rasa sesak di hatinya. Ya, ia sudah kehilangan Alka mana mungkin ia mau kehilangan Ananta lagi.
"Kamu terlalu keras kepala Mala. Kamu akan menyesal nantinya."
Nurmala masih mencoba untuk menahan amarahnya. Kedatangan kakak dari suaminya itu merusak segala suasana. Bersyukur saja karena Ananta di kamar, jika mendengar pembicaraan seperti ini, bis jadi menantunya itu terpuruk terlalu dalam lagi.
"Jika suatu saat terjadi sesuatu seperti yang kalian katakan, aku janji tidak akan mengatakan apa pun, Mbak. Akan aku tanggung sendiri karena itu adalah pilihanku."
Kalimat itu mengakhiri percakapan yang menyudutkan seseorang begitu saja. Nurmala memilih berlalu dan membiarkan dua manusia yang suka menghasut itu menikmati kalimatnya yang sedikit menusuk.
***
Tidak ada yang tahu sama sekali, jika sedari tadi Ananta mendengar percakapan itu. Niatnya untuk menyapa Siska dan Relin terurungkan lantaran percakapan itu seolah menyalahkan dirinya pada segala hal. Ia tidak berpura-pura terluka karena pada dasarnya ia terluka karena kehilangan orang yang ia cintai secara tragis.
Dunianya kacau dalam hitungan detik. Ia harus apa sekarang? Pergi dari rumah mertuanya, tapi ia tidak punya tujuan sama sekali. Atau haruskah ia mengakhiri hidupnya saja?
Entahlah!
Aku penulis baru. Jika menemukan karya aku ini, tolong dibaca, ya dan didukung penuh. Terima Kasih.