webnovel

Larisa Wish

Memiliki pacar kayak Reza yang tampan, pinter, tajir, perhatian dan romantis ... udah pasti jadi impian semua cewek. Tapi tidak demikian dengan tokoh utama kita yang satu ini, Larisa namanya. Menurutnya cowok keren itu yaitu cowok pendiem, irit ngomong, cuek, dingin dan punya tatapan tajam. Harapan Larisa seolah terkabul saat siswa baru bernama Arvan muncul di hidupnya. Larisa pun bertekad untuk mendekati cowok sedingin kutub utara itu, hanya untuk dijadikan sahabatnya. Yakin cuma jadi sahabat? Kalau kamu jadi Larisa ... antara cinta tanpa alasan atau cinta karena khayalan ... Cinta mana yang akan kamu pilih?

Ellakor · Adolescente
Classificações insuficientes
310 Chs

CHAPTER TUJUH

Di saat siswa lain berhamburan melewati gerbang sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing ketika bel tanda sekolah berakhir berdentang, Larisa justru duduk di pos security disertai wajah cemberutnya.

"Non, kok mukanya cemberut gitu? Kenapa?" Tanya Pak Agus, security baik hati yang mengizinkan Larisa duduk di pos jaganya setiap kali gadis itu menunggu jemputan.

"Sebel aja, Pak. Harusnya saya udah di rumah sekarang, tapi ini malah harus duduk di sini nunggu jemputan yang belum datang," jawab Larisa kesal, jika dilihat dari wajahnya yang memerah menahan emosi.

"Memangnya pacar Non Icha kemana? Tumben telat jemputnya?"

"Masih di kampusnya, Pak. Masih sibuk ospek."

"Ooh, coba ditelepon aja, Non. Kalau dia masih lama, bilang aja Non pengen pulang naik taksi. Saya jadi gak tega lihat Non nunggu lama di sini."

Tanpa kata Larisa mengangguk. Bukannya dia belum menghubungi Reza, sebenarnya sejak tadi dia sudah bertukar pesan whatsapp dengan kekasihnya itu. Tapi untuk menelepon, memang belum dia lakukan.

Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan kini kesabarannya sudah habis. Kini dia memutuskan untuk menelepon Reza, tak peduli meskipun ada kemungkinan pria itu sedang sibuk di kampusnya. Lagi pula salah siapa yang memaksa untuk selalu pulang bareng? Larisa gemas sendiri dengan tingkah laku pacarnya yang terlalu posesif itu.

Tak lama berselang setelah dia menempelkan ponselnya di depan telinga. Akhirnya telepon itu tersambung.

"Hallo, beib. Maaf, kamu nunggunya kelamaan ya?" Ucap Reza ramah di seberang sana.

Larisa ingin mengumpat, namun mendengar nada lembut dari sang pacar, dia tak tega untuk mengumpatinya. Lagi pula Reza itu terlalu baik padanya. Larisa tak pernah tega untuk memarahinya, semarah apa pun dia pada Reza. Ditambah Reza yang memang tidak pernah sekalipun memarahinya selama mereka menjalin hubungan, menjadi salah satu alasan Larisa tak berani meski hanya sekedar membentak.

"Iya, Honey. Kok kamu lama banget sih? Aku udah satu jam lebih lho nungguin kamu," jawabnya, meski terkesan jutek tapi tak ada nada membentak sedikit pun.

"Maaf sayang. Ini aku bentar lagi selesai kok. Lagi mau penutupan dari senior. Kamu tunggu ya, bentar lagi aja. Gak apa-apa, kan? Nanti aku beliin kamu coklat deh yang banyak."

Larisa mendengus, selalu saja Reza tahu cara mendinginkan suasana hatinya yang sedang panas. Larisa siap menyahut, berniat bersabar menunggu Reza sebentar lagi, jika saja ekor matanya tak sengaja melihat sosok Arvan yang baru saja berjalan melewati gerbang sekolah.

Tanpa sadar dia bangkit berdiri dari duduknya. Pandangannya mengikuti ke arah mana Arvan pergi. Di saat semua siswa di sekolah itu mengendarai mobil mewah mereka saat pulang, Larisa heran karena barusan melihat Arvan malah berjalan kaki.

"Icha sayang."

Larisa tersentak, dia bahkan sampai melupakan obrolannya dengan Reza hanya karena melihat sosok Arvan.

"Eh, maaf sayang. Kayaknya aku pulang naik taksi aja deh."

"Lho kenapa? Aku beneran bentar lagi pulang kok."

"Hm, aku gak enak badan. Pengen cepet-cepet istirahat. Maaf ya, aku pulang duluan."

Tanpa menunggu respon dari Reza, gadis itu memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Lantas dia berpamitan secepat kilat pada Pak Agus sebelum dirinya berlari melewati gerbang.

Dia ingin mengikuti Arvan yang dia yakini memasuki area warteg yang terletak di samping gedung sekolah. Tanpa pikir panjang, Larisa mendatangi warteg itu.

Dan benar saja, dia melihat Arvan masih ada di sana. sedang mengobrol dengan bapak pemilik warteg seraya memegangi sebuah sepeda.

"Kok dia bawa-bawa sepeda sih? J-Jangan bilang dia datang ke sekolah pake sepeda itu?" Gumam Larisa, kaget bukan main.

Semua siswa yang menuntut ilmu di Gardellia International High School merupakan anak-anak dari keluarga tajir nan kaya raya. Tidak ada satu pun dari mereka yang tidak membawa kendaraan mewah saat ke sekolah. Bahkan yang mengendarai motor saja tidak ada, semuanya sama rata membawa mobil super mewah. Kecuali beberapa siswa yang memang diantar jemput oleh sopir pribadi seperti Larisa contohnya, yang selalu diantar jemput oleh kekasihnya.

Dan seorang Arvan hanya membawa sepeda ke sekolah ini? Larisa tak habis pikir. Pemuda itu sepertinya menitipkan sepedanya pada pemilik warteg, sesuatu yang wajar karena di area sekolah hanya ada tempat parkir yang dikhususkan untuk mobil.

Saat Arvan mulai mengayuh sepedanya, Larisa terenyak kaget. Semua lamunan dan keterkejutannya buyar seketika. Cepat-cepat dia menghentikan taksi yang kebetulan melintas di depannya.

"Mau kemana Neng?" Tanya si sopir taksi.

"Itu Pak, tolong kejar cowok yang naik sepeda itu," ujar Larisa, dia menunjuk ke arah Arvan yang sudah cukup jauh darinya.

Taksi yang ditumpangi Larisa pun mulai melaju, mengikuti Arvan yang tengah sibuk mengayuh sepedanya.

Sepanjang jalan, Larisa tak melepaskan pandangannya dari sosok Arvan, dia takut kehilangan jejak pemuda itu. Dalam hati tak hentinya bertanya, siapa sebenarnya Arvan? Mungkinkah dia bukan berasal dari keluarga kaya seperti siswa lainnya? Dia heran kenapa Arvan bisa menuntut ilmu di sekolahnya yang terkenal dengan biayanya yang selangit.

Bukan Larisa merendahkan remaja-remaja yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, dia justru merasa iba pada mereka yang memiliki otak cemerlang namun hanya karena masalah biaya, mereka jadi tak bisa menuntut ilmu di sekolah elit tersebut.

Dia penasaran pada latar belakang seorang Arvan sekarang. Terlebih saat dirinya mengingat kepribadian Arvan yang tertutup seolah dia menghindari siswa lain. Dia ingin mencari penyebab kenapa Arvan bisa bersikap sedingin itu pada sekitarnya. Mungkinkah karena faktor ekonomi? Itulah alasan Larisa memutuskan untuk mengikuti pemuda itu sekarang.

Saat tiba di lampu merah, taksi yang ditumpangi Larisa berhenti tepat di samping sepeda Arvan yang juga sedang menunggu lampu merah itu berubah menjadi hijau.

Larisa memperhatikan wajah Arvan, hatinya terenyuh dikala melihat keringat yang bercucuran membasahi wajah tampan pemuda itu. Teriknya matahari serta jauhnya jarak yang harus pemuda itu tempuh, Larisa yakin Arvan pasti kelelahan sekarang. Dia semakin iba melihat Arvan, meski rasa kagum terselip juga di dalamnya.

Larisa sempat berpikir untuk turun dari taksi dan menghampiri pemuda itu. Mengajaknya duduk dan beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelah pemuda itu. Akan tetapi, mengingat sifat Arvan yang akan langsung mengusir dirinya begitu melihat keberadaannya, Larisa mengurungkan niat itu.

"Pak ... belok kiri, Pak. Jangan sampai kehilangan jejak ya, Pak," pinta Larisa panik, saat lampu merah berubah menjad hijau dan sepeda Arvan sudah melesat jauh meninggalkan taksinya. Dia melihat dengan jelas ketika Arvan belok ke sebelah kiri.

Larisa mengembuskan napas lega saat taksi yang ditumpanginya berhasil menyusul Arvan. Sepedanya berada tepat di depan taksinya.

Dan ketika Arvan tiba-tiba menghentikan sepedanya di depan sebuah gedung bertuliskan Methamorposis club, Larisa seketika mematung. Untuk apa Arvan berhenti di sini? Mungkinkah dia akan masuk ke club itu? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di kepala Larisa.

"Neng, kok anak muda itu masuk ke dalam club?" Tanya sang sopir taksi, menyadarkan Larisa dari lamunannya.

"Saya juga turun di sini saja, Pak."

"Neng mau masuk ke dalam? Jangan Neng, di sana berbahaya lho. Apalagi Neng masih sekolah begini. Gak baik Neng masuk ke club. Itukan tempat buat orang-orang dewasa."

Larisa terkekeh, dia memaklumi kekhawatiran sang sopir taksi yang jika ditilik dari penampilannya, sepertinya dia seumuran dengan ayahnya.

"Gak apa-apa, Pak. Saya bisa jaga diri kok. Saya ada urusan sama temen saya yang tadi," jawabnya seraya menyerahkan uang sebagai ongkos. Larisa pun keluar dari taksi setelahnya.

Sebelum masuk ke dalam gedung, Larisa membuka tas ranselnya. Dia keluarkan jaket rajut miliknya dan bergegas memakainya untuk menutupi atribut sekolahnya.

"OK, Icha. Semangat. Di dalam gak ada apa-apa kok. Mereka juga manusia kayak lo," ujarnya, menyemangati dirinya sendiri.

Jujur sebenarnya inilah pertama kalinya dia memasuki club seperti ini. Tempat yang biasanya dimanfaatkan orang-orang untuk bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Mungkin juga nantinya akan ada pria hidung belang yang mengganggu dirinya. Larisa yakin dia akan tetap masuk ke dalam. Dia harus mencari tahu apa yang dilakukan Arvan di dalam sana.