Aisyah melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya duduk membelakanginya. Ia memastikan sekali lagi bahwa ini bukanlah mimpi belaka. Alisnya mengerut hampir tidak bisa mempercayai ini semua. Ia beberapa kali memejamkan dan membuka matanya, pemuda itu masih tetap disana membolak-balikkan buku yang dipegangnya. Senyumannya mengembang dan mata birunya berkaca-kaca. "Zargeya.... (sayang)" Mendengar suara yang tak asing itu, kemudian Shoaib sontak menoleh kearah belakang. Pemuda itu melongo melihat kehadiran Aisyah di ruangan itu secara tiba-tiba. Butuh beberapa detik untuknya meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu bukanlah mimpi. Pemuda itu membeku ditempat dengan tatapan yang tak berkedip. Kemudian Aisyah memanggilnya sekali lagi dan itu telah meyakinkan dirinya bahwa itu semua adalah kenyataan. Aisyah benar-benar berada disini, bersamanya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Shoaib terharu. Aisyah sudah meneteskan airmatanya sedari tadi. Wajahnya memerah karena perasaan bahagia. Gadis itu menggeleng tidak mengerti apa yang telah terjadi. Ia berkata bahwa ketika ia membuka matanya, ia tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, di asrama Shoaib. Gadis itu masih lengkap mengenakan mukena putihnya. Walaupun begitu, melihat wajah cantik gadis itu telah membuat adanya aliran hangat yang konstan menuju kearah bawah. Sesuatu itu seketika berkelibat dengan cepat dipikirannya. Tidak ada siapa-siapa saat ini, hanyalah mereka berdua. Ia bisa saja mengajak Aisyah untuk melakukannya atau bahkan memperkosanya jika ia menolak. Rasa rindu yang telah lama terpendam itu akhirnya akan tertebus. Gelora di dalam dadanya tak tertahankan lagi.
Namun ia tersadarkan oleh sesuatu. Kemudian ia memejamkan matanya sepersekian detik dan mengusir bayang-bayang liar itu. Ia beristighfar berkali-kali didalam hati dan mengutuk niat buruknya. Secara perlahan-lahan ia bisa mengambil alih kontrol pada hatinya dan menyeretnya pada jalur yang benar. Ia kemudian mengajak Aisyah untuk keluar dari kamar itu. Mereka berdua berdiri berhadap-hadapan di halaman depan asrama. Tinggi mereka tidak terlampau jauh. Aisyah yang memiliki darah bule, ia tidak kalah tinggi dengan Shoaib. Mereka hanya berbeda beberapa sentimeter saja. Pemuda itu tidak perlu menundukkan kepala untuk bercakap-cakap dengan Aisyah. Shoaib melihat ke kanan dan ke kiri dan memastikan bahwa ada satu atau dua orang yang duduk tak jauh dari sana agar Shoaib tidak melakukan hal yang macam-macam pada Aisyah.
Jantungnya masih berdetak dengan sangat cepat melihat kemunculan gadis itu di sini, di negaranya. "Ini semua mustahil, Aisyah. Bagaimana mungkin?" Gadis itu tidak bisa menjawab. Ia juga bingung untuk mempercayai ini semua. Mereka berdua bergeming sejenak. Apapun itu, yang terpenting sekarang adalah dimana Aisyah tinggal untuk sementara waktu. Akhirnya terpikirkan suatu tempat oleh pemuda itu. Ia membawa Aisyah pulang menaiki bus hari itu juga ke kampung halamannya. Selama di bus mereka berdua tidak berkata apa-apa. Aisyah karena rasa malunya dan Shoaib dengan hawa nafsunya. Beberapa detik saja melihat paras bule Aisyah yang cantik itu, seketika sesuatu dibawah sana menegang. Itu adalah hari terberat seumur hidupnya selama mengenal wanita. Ia tidak pernah merasakan hal yang semacam itu selama bersama dengan teman-teman wanita di kelasnya. Namun ketika bersama Aisyah, pemuda itu berulang kali beristighfar dan menenangkan hawa nafsunya yang menggelora dengan hebatnya.
Ia mempersilahkan Aisyah untuk duduk di belakang kursinya agar ia dapat menahan tatapannya untuk tidak memandang gadis itu terlalu lama. Tadi Shoaib juga sempat mengambil ghutrah dari lemarinya. Ghutrah adalah kain bermotif kotak-kotak memiliki kombinasi warna merah dan putih, sering dipakai oleh laki-laki Arab sebagai penutup kepala. Shoaib menyuruh Aisyah untuk mengenakannya sebagai jilbab dan cadar menutupi paras cantiknya itu. Apapun yang dipakainya, ia selalu terlihat cantik walaupun yang terlihat hanyalah kedua matanya saja. Mata birunya mewakili kecantikan dunia dan seisinya. Para penumpang laki-laki di bus juga bergantian memandang kearah Aisyah. Walaupun begitu, untung saja tadi ia sempat terpikirkan untuk meminjamkan Aisyah ghutrahnya. Kalau tidak, pastilah gadis itu akan menjadi mangsa puluhan mata disana.
Sesampainya di halte, Shoaib turun dan diikuti oleh Aisyah dibelakangnya. Mereka berjalan berdampingan dan Shoaib sering kali menunduk, tidak kuasa memandang mata biru itu. Aisyah tersenyum menyadari itu lalu berkata, "Anda ternyata sangat pemalu, tuan." Shoaib tersenyum dan mengangguk. Ia tidak akan jujur kepada Aisyah tentang apa yang dia rasakan dibawah sana saat ini. Ia khawatir kalau Aisyah menjadi takut dan menjauh lagi darinya. Wajah gadis itu masih tertutup oleh ghutrah dan menutupi senyum manisnya. "Maaf, rumahku tidak sebagus rumahmu di Amerika", kata Shoaib. "Tidak apa-apa. Itu bukanlah hal yang terpenting bagiku", jawab Aisyah dengan nada lembut. Sejak awal, ia sudah menerima kondisi ekonomi Shoaib. Semenit kemudian, ia teringat akan suatu hal dan meminjam handphone pemuda itu untuk menghubungi teman-temannya dan orang tuanya di Amerika.
Mendengar kabar itu tentu saja mereka terkejut. Pertanyaan yang sama tidak mampu dijawab oleh Aisyah. Untuk sementara waktu mereka semua bergeming dan memikirkan bagaimana bisa itu terjadi. Terutama orang tua dan kakak Aisyah, mereka sangat khawatir dan mencemaskan gadis itu. Namun Aisyah dan Shoaib bisa meyakinkan mereka dan pemuda itu berjanji untuk menjaganya selama di Turki. Ayahnya berkata kepada putrinya bahwa ia akan berusaha untuk meminjam uang kepada teman-temannya dan menjemput Aisyah pulang secepatnya. Gadis itu mengangguk dan menanti kedatangan ayahnya. Seusai telfon itu ditutup, Aisyah kemudian menyerahkan kembali handphone nya kepada sang pemilik. Ketika Shoaib menerima handphone itu dan memasukkannya ke saku celananya, ia dapat merasakan bekas sentuhan hangat jemari tangan Aisyah pada casing handphone itu. Kemudian perlahan namun pasti sesuatu dibawah sana menegang kembali.
Sampainya dirumah, Shoaib mengajak kekasihnya itu untuk menemui ayahnya. Adiknya yang membukakan pintu hanya bisa tertegun melihat gadis asing bermata biru datang bersama kakaknya. Aisyah menyapanya ramah dan mencubit pelan pipi kanan gadis itu. Ia mematung tidak menjawab sapaan Aisyah. Beberapa detik kemudian, pemuda itu datang bersama ayahnya dari sisi belakang rumah. Aisyah memberi salam padanya dengan suara yang renyah dan ia membuka cadarnya. Melihat kehadiran gadis itu, seketika ayah Shoaib menghentikan langkahnya dan kedua alisnya mengkerut. Tatapan terkejut dan amarahnya menjadi satu. Ia menoleh kearah Shoaib dan satu tamparan yang keras melayang dipipinya.
Aisyah dan adik Shoaib terkejut melihat respon ayahnya. Shoaib hanya diam menunduk menerima tamparan keras itu. Kemudian ayahnya memarahi Shoaib dengan nada tinggi dalam bahasa Turki, "Jadi ini keputusanmu? Kau menentang ayah dan menyuruh gadis Amerika ini untuk datang? Kau menggunakannya untuk membatalkan perjodohanmu? Ayah sungguh tidak menyangka bahwa kau akan melakukan sejauh ini." Shoaib menjawab dengan nada yang lembut dan berusaha untuk membuat ayahnya mengerti. Ia menjelaskan semuanya apa yang telah terjadi.
Namun usahanya sia-sia dan ayahnya tidak semudah itu mempercayai hal yang mustahil dan tidak masuk akal seperti itu. Ia bahkan memperolok-olok Aisyah bahwa ia adalah gadis murahan, menyusul seorang pria demi membatalkan pernikahannya. Untungnya Aisyah yang tidak mengerti bahasa Turki, ia hanya diam saja tidak merespon apa-apa. Mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut ayahnya, kemudian Shoaib memerintahkan adiknya untuk membawa Aisyah masuk ke kamarnya.
Sementara itu, ia lanjut dimarahi oleh ayahnya. Shoaib tidak sekalipun melawan, ia hanya diam dan menunduk. "Apa yang harus ayah katakan kepada pamanmu? Mau ditaruh mana wajah ayah. Pamanmu sudah menerima lamaran ayah. Ayesha pun tidak menolak. Kau tahu kan bahwa ayah sangat tidak menyetujui jika kau bersama gadis itu. Dia orang Amerika, tidak tahu budaya kita. Apa jadinya nanti jika anak-anakmu dididik olehnya? Nanti mereka akan kehilangan akar budaya kita dan menjadi orang-orang bule seperti ibunya. Mau ditaruh mana wajah ayah?
Susah payah banting keringat ayah membesarkan kalian berdua. Ayah tidak akan sudi jika sampai kau dan Mahira kehilangan budaya kita hanya karena jatuh cinta kepada orang luar. Pernikahan berbeda budaya sangatlah sulit, Shoaib. Cobalah untuk mengerti apa yang ayah katakan. Ini semua demi kebaikanmu." Pemuda itu tidak menjawab apa-apa. Wajahnya memerah karena menahan emosi. Ia harus memilih antara patuh ataukah cinta.
"Sekarang suruh gadis itu pulang, ayah tidak ingin melihatnya lagi disini." Mendengarnya, Shoaib mengangkat pandangannya dan berkata dengan nada suara yang lembut, "Ayah, dia tidak membawa apa-apa kesini. Dia tidak memiliki sepeser uangpun dan dokumen-dokumen penting lainnya. Lalu bagaimana dia bisa kembali?" Sesaat ayahnya tertegun mendengarnya. Kemudian ekspresi garangnya itu terlihat lagi, "Suruh orangtuanya menjemputnya." "Iya, ayah. Secepatnya ayahnya akan segera menjemputnya pulang ke Amerika."
"Baguslah kalau begitu. Lebih cepat lebih baik. Andai saja aku punya uang maka akan aku suruh ia pulang sekarang juga. Untuk sementara waktu, suruh dia tinggal dirumah Ayesha. Tolong kau rahasiakan semua ini dan jangan membuat ayah malu." Kata ayahnya sambil meninggalkan pemuda itu. Ia keluar untuk mengecek kambing-kambing mereka di kandang. Sejenak Shoaib melirik kearah kamar Mahira yang ada Aisyah juga disana. Ia mengurungkan niatnya untuk menghampirinya. Pemuda itu lalu langsung menuju kamarnya dan mengganti pakaiannya. Bajunya yang serba hitam itu diganti dengan baju berwarna biru laut. Baju yang dimilikinya didominasi oleh baju-baju khas Pakistan. Kemeja polos yang panjang sampai ke lutut dan celana kain polos yang memiliki warna senada dengan kemejanya.
Sedangkan di kamar Mahira, Aisyah mencoba mengajaknya berbicara. Adik perempuan Shoaib itu masih terlihat malu-malu dengan bahasa inggrisnya yang belum lancar. Namun ia dapat memahami setiap perkataan Aisyah. Belum setengah hari di Turki, Aisyah sudah merasa lelah harus berbicara dengan pelan-pelan kepada Mahira agar ia dapat memahaminya. Berbeda sekali ketika ia berbicara kepada teman-teman Amerikanya, ia berbicara seperti lajunya kereta api dan tak jarang juga ia menggunakan kata-kata yang tidak baku. Namun disini ia selalu menggunakan bahasa inggris yang baku agar Mahira dapat mengerti.
Terkadang Mahira terhipnotis oleh kecantikan paras bule Aisyah. Walaupun ia tidak membuka rambutnya, namun wajahnya sudah cukup dari segalanya. Aisyah sangat cantik dan ia sangat menginginkannya sebagai kakak iparnya dengan begitu ia akan memiliki keponakan yang imut-imut juga seperti pemain film Hollywood Tom Cruise, Leonardo Dicaprio semasa muda, ataupun seperti Kristen Stewart. "Apa yang kakak sukai dari kakakku?", tanya Mahira dengan bahasa inggris yang patah-patah. Aisyah tersenyum mendengarnya. "Lalu apa yang Mahira sukai dari kakakmu?" Gadis itu tampak berpikir kemudian berkata, "Karena dia baik, pengertian, peduli, pintar, dan...."
"Sama, aku juga menyukai kakakmu karena dia baik, pengertian, peduli, pintar, dan...." Aisyah mengajak Mahira untuk menebaknya. "Dan apa?" tanya Mahira penasaran. "Dan tampan." Mereka berdua tertawa bersama-sama. Mahira juga mengakui ketampanan kakaknya itu. Kemudian, tiba-tiba Aisyah terpikirkan oleh sesuatu. "Apakah kau tahu gadis-gadis yang pernah mendekatinya?" Ketika Mahira hendak menjawab, seketika itu terdengar bunyi pintu diketuk dari luar.
Shoaib yang telah mendengar secara diam-diam pembicaraan mereka, ia kemudian mengetuk pintu itu ketika Aisyah bertanya tentang hal itu. Mahira membuka pintu dan yang pertama kali dlihatnya adalah sosok Aisyah yang duduk di kursi belajar adiknya. Aisyah tertegun sejenak tidak berkedip melihat penampilan Shoaib dengan baju berwarna biru itu. Terlihat sangat tampan dan keren. Walaupun ia pernah melihat fotonya menggunakan baju itu, namun dirasakannya berbeda ketika melihatnya secara langsung. Detak jantung Aisyah secara konstan mulai berpacu.
Shoaib menyandarkan tubuhnya ke bingkai pintu itu lalu berkata dengan santai kepada Aisyah. "Tentang gadis-gadis yang pernah mendekatiku, mereka hanyalah main-main denganku karena aku bukan dari keluarga yang kaya raya. Akupun tidak menghiraukan mereka karena aku harus menggapai cita-citaku untuk menjadi dokter. Dan.... berjalannya waktu akhirnya aku mengenalmu." Diujung kalimatnya, Shoaib tersenyum mengingat awal-awal chat mereka berdua. Aisyah tersenyum mendengar pengakuan pemuda itu. "Apakah semua itu bukanlah sebuah kebohongan?" Shoaib menepisnya dan mengatakan bahwa semua yang dikatakan adalah benar adanya.
Kemudian ia berkata kepada Aisyah untuk tinggal sementara waktu dirumah sepupunya, Ayesha. Tanpa menjelaskan apapun padanya, ia yakin bahwa Ayesha dan ayahnya tidak akan memberitahu tentang perjodohan itu kepada orang asing. Shoaib dan adiknya mengantar Aisyah kerumah Ayesha yang tak jauh dari situ. Melihat kondisi dan lingkungan desa yang sangat berbeda jauh dengan keadaan di Amerika, Aisyah sama sekali tidak merasa jijik dan tidak pernah terlihat mengerutkan kedua alisnya. Ia merasa biasa saja disana selama masih milik Allah.
Hanya saja, satu kejadian lucu terjadi. Di pedesaan itu tak jarang terlihat ayam berlalu-lalang dengan bebasnya. Aisyah yang tidak pernah melihat ayam hidup secara langsung, ia merasa sedikit ketakutan dan menghindar. Ayam-ayam itu tak segan-segan berjalan disamping Aisyah ataupun duduk diam didepannya. Aisyah yang merasa geli seketika menghindar dan berjalan dibalik bayang-bayang Shoaib dan Mahira. Kedua kakak beradik itu tertawa melihat kepanikan gadis Amerika itu.
Yang awalnya Aisyah berjalan disamping Mahira, kemudian ia berjalan tepat di belakang Shoaib dan Mahira. Ia memegangi belakang baju keduanya. Beberapa penduduk setempat yang berpapasan juga tertawa melihat tingkah Aisyah. Walaupun tertutupi cadar, Shoaib dapat mengetahui kalau wajahnya telah memerah, ia melihat dari perubahan warna kulit Aisyah di sekitar matanya dan sebagian dahinya.
Tanpa disangka-sangka, ada seekor ayam yang tiba-tiba mengejarnya dari arah belakang. Aisyah yang menyadarinya seketika berlari kedepan meninggalkan Shoaib dan adiknya. Mereka semakin tertawa melihatnya. Aisyah tidak menghiraukan mereka dan fokus kepada ayam-ayam itu. Kemudian Shoaib mengisyaratkan kepadanya kalau sudah sampai. Gadis itu menyusul Shoaib menuju kearah kanan. Rumah itu sama sederhananya seperti rumah Shoaib. Sang pemilik rumah tak lama datang menyambut kedatangan Shoaib dan adiknya itu. Laki-laki paruh baya itu memeluk hangat mereka berdua. Ia juga bertanya siapakah gadis asing bermata biru yang datang bersama mereka itu.
Dikarenakan pesan ayahnya, maka Shoaib terpaksa untuk berbohong. Ia berkata kepada pamannya bahwa Aisyah adalah temannya yang berasal dari Amerika. Aisyah datang untuk melakukan penelitiannya di Turki. Ia meminta ijin agar Aisyah boleh tinggal dirumahnya untuk sementara waktu. Tanpa curiga apapun, maka ia mengijinkan permintaan calon menantunya itu. Dari balik tembok, diam-diam Ayesha mendengarkan pembicaraan itu. Ia merasakan ada yang aneh diantara mereka dan ia juga memendam rasa curiga dan cemburu.
Singkat cerita, Aisyah dijamu sebagai tamu dirumah itu dan diistimewakan. Ayesha yang sedari awal sudah menduga niatan Shoaib, ia tetap bersikap baik dan menyambut Aisyah dengan ramah. Disamping itu, ia tidak dapat membencinya ketika dilihatnya kedua mata biru yang jernih itu dan wajah bulenya yang cantik ketika ia melepas cadar dan jilbab yang dipinjamnya dari Mahira. Terlebih lagi sikap dan tutur katanya yang sopan. Ayesha berbagi kamar dengannya sejak hari itu. Mereka bercerita tentang topik yang umum. Aisyah memperkenalkan tentang Amerika dan Ayesha banyak bercerita tentang Turki padanya. Aisyah juga sering bertanya tentang Turki dan menunjukkan rasa keingintahuannya dan minatnya yang besar. Sejak saat itulah Ayesha mulai memberanikan diri untuk bertanya.
"Apakah Aisyah menyukai Shoaib?" Aisyah tersipu malu mendengarnya. Wajah putihnya perlahan memerah. Kemudian ia mengangguk dan berkata, "Aku menyukainya sejak pertama kali dia menyapaku di Facebook beberapa bulan yang lalu. Ketika itu ia sedang bertugas di rumah sakit dan aku masih di bangku SMA tingkat akhir." Hatinya seketika hancur berantakan mendengar pengakuan dari Aisyah. Ternyata Ayesha sudah lama tersalip oleh Aisyah walaupun ia sedari kecil sudah mengenal pemuda itu. Selera Shoaib sungguhlah tinggi. Aisyah memang sangat cocok bersanding dengannya terlebih lagi dia adalah mahasiswa dari universitas ternama di dunia, Universitas Harvard.
Sejak hari itu ia perlahan mengubur perasaannya kepada pemuda itu dan merelakan mereka berdua untuk bersama-sama. Memang sedari awal, Ayesha merasa tidak percaya diri jika harus bersanding dengan Shoaib. Dia sungguhlah sempurna dan Aisyah adalah gadis yang cocok dengannya. Ia memutuskan untuk tidak ikut campur dan menyerahkan semuanya kepada Shoaib untuk menjelaskan tentang pembatalan perjodohan itu kepada kedua ayah mereka. Ayah Ayesha masih tidak mengetahui apapun karena ia jarang berbincang-bincang dengan Aisyah untuk menghargai privasinya sebagai perempuan. Jadi ia menyuruh putrinya untuk menjamunya selama ia dan istrinya bekerja diluar rumah. Malamnya, Shoaib tidak bisa tidur karena terngiang-ngiang wajah Aisyah. Ia menciumi ghutrah yang tadi dipakai oleh gadis itu. Ia sungguh menggila akan Aisyah. Sekali lagi ia membayangkan lekuk tubuhnya hingga terlelap tidur. Perlahan namun pasti dirasakannya gadis itu berada dibawah selimut yang sama dengannya, tanpa busana.
Keesokan paginya, seperti biasa Ayesha membantu ibunya memasak makanan dan membaginya untuk keluarga Shoaib. Aisyah juga ikut membantu dan ia diajak untuk mengantar makanan itu kerumah Shoaib. Tidak ada yang berubah dari sikap Ayesha, ia masih bersikap baik dan manis. Namun tidak ada yang mengetahui betapa hancur hatinya. Ketika mereka berdua berjalan menuju rumah pemuda itu, tanpa disangka-sangka mereka berpapasan dengan Shoaib di jalan. Ayesha yakin bahwa pemuda itu sangat ingin bertemu dan melihat gadis Amerika itu walaupun hanya semalam terpisahkan.
Shoaib basa-basi sejenak menyapa Ayesha dan ia mengalihkan pandangannya ke arah Aisyah. Dari tatapan canggung Ayesha, Shoaib dapat menebak bahwa ia telah tahu semuanya tentang hubungannya dengan Aisyah. Namun ia diam saja berpura-pura tidak tau dan bersikap biasa saja. Disamping itu, ia juga merasa sedikit bersalah atas situasi yang sedang mereka alami saat ini. Ketiga anak muda itu pun bersama-sama menuju rumah Shoaib untuk meletakkan makanan itu. Setibanya dirumah, ayah Shoaib yang duduk di depan TV, ia segera menyambut kedatangan Ayesha dengan hangat. Terlihat sekali bahwa ia sedang membuat gadis Amerika itu sakit hati dan iri. Harapannya terwujud dan Aisyah tersinggung atas sikap hangat ayahnya pada Ayesha. Ia menduga bahwa telah terjadi sesuatu, bukan hanya sebatas antara paman dan keponakan saja. Namun ia tidak tahu apakah itu. Sebagai wanita, perasaannya sungguh sensitif dan peka.
Shoaib yang melihat situasi itu, seketika ia mengajak Aisyah untuk ke belakang menghindari ayahnya. Sedari kemarin ia tertarik dengan suara kambing yang terdengar dari dalam rumah. Lalu ia bertanya pada laki-laki itu. Shoaib menjawabnya dan mengajaknya ke kandang kambing yang terletak di samping rumah kecil itu untuk menunjukkannya pada Aisyah. Sesampainya di kandang kambing, mata Aisyah terbelalak lebar takjub. Pemandangan itu mengingatkannya pada masa kecilnya di pelosok desa di Amerika dulu.
Walaupun begitu, ada rasa sedikit takut dan geli ketika kambing-kambing itu berjalan menghampirinya. Ia lupa bagaimana rasanya menyentuh bulu-bulu kambing itu yang pernah dilakukannya semasa kecil. Ia sekarang juga takut jika kambing-kambing itu menggigitnya. Kambing-kambing itu terus berjalan berusaha mengeluskan tanduknya ke gadis Amerika itu. Ia berlindung di belakang punggung Shoaib dan laki-laki itu tertawa melihat ketakutan Aisyah. "Tidak apa-apa, Aisyah." Shoaib membimbing tangan Aisyah untuk mengelus bulu-bulu putih mereka. Dirasakan olehnya kulit Aisyah yang sangat halus. Itu membuat getaran tersendiri didalam hatinya. Itulah sentuhan fisik pertama mereka. Beberapa detik kemudian, gadis itu melepaskan sentuhan tangan Shoaib. Wajahnya memerah karena malu. Beberapa detik kemudian, didengarnya suara Mahira yang memanggil mereka berdua dari jendela dapur.
Aisyah dan Shoaib pun menyambut panggilan itu dan membantu adiknya. Gadis itu sedang sibuk membuat kue khas Turki spesial untuk Aisyah, tamu dari Amerika, calon kakak iparnya. Kue itu bernama Revani Semolina.