webnovel

TENTANG PERNIKAHAN

"Pernahkah lo berpikir tentang ... penikahan?"

Keenan Mahendra melirik ke atas, mengalihkan tatapannya dari benda perak cantik di tangannya ke orang kepercayaannya sejak dulu sekaligus akuntan pajak yang dibayarnya jauh lebih mahal daripada semestinya. Sekalipun tahu kawan lamanya yang selalu berperasaan halus dan sedikit neurotik itu takkan menghargai humor pahitnya, ia harus mengutarakannya dengan roman muka yang tidak berubah. "Memang kenapa, Billy, apa lo mau melamar gue?"

"Ha-ha-ha." Billy Permana mendorong pintu bertuliskan "Mahendra Corporation, Headquarters" dan menahannya terbuka untuk Keenan. "Sungguh, apa lo pernah memikirkannya?"

"Elo kan tahu pendapat gue tentang pernikahan." Mengucapkan kata-kata itu saja membuat Keenan tegang. Ia tahu teman dekatnya sekalipun tidak bisa memahami perasaannya yang terdalam terhadap subyek tersebut dan beratnya rasa sakit yang harus ia pikul akibat kegagalan pernikahan orang tuanya, karena itu Keenan hanya mengangkat bahu dan menjawab asal-asalan. "Pernikahan bertentangan dengan prinsip-prinsip gue."

"Oh, yeah, yeah. Elo produk orangtua bercerai, statistik tidak mendukung faktor resikonya, bla bla bla. Gue jadi menguap lebar-lebar." Pintu tertutup di belakang mereka. "Tapi bagaimana dengan keuntungan-keuntungan lain?"

Keenan melirik ke kantor sebelah luar yang sibuk di markas besarnya, benaknya beranjak ke hal-hal lain. "Di zaman seperti ini, seorang laki-laki bisa mendapatkan keuntungan-keuntungan semacam itu tanpa kerugian akan mengalami pernikahan yang hambar."

"Gue sedang berpikir soal anak."

Ibu jari Keenan membelai-belai ujung bulat sepatu bayi berukuran kecil itu. Ia ingin mempunyai seorang anak, seorang putra untuk meneruskan nama Mahendra atau seorang putri untuk merasakan detak jantungnya dengan jari-jarinya yang lembut. "Sebenarnya, Billy, gue ingin memiliki seorang, atau bahkan dua orang pewaris, tapi harga untuk mendapatkannya--pernikahan--adalah sesuatu yang nggak bersedia gue bayar."

"Seperti yang pernah dikatakan orang bijak kepada gue. 'Di zaman seperti ini, seorang laki-laki bisa mendapatkan keuntungan-keuntungan semacam itu tanpa kerugian akan mengalami pernikahan yang hambar.'"

"Gue bukan tipe orang yang mengadopsi dan membesarkan seorang anak sendirian, Billy." Dengan sigap mereka bergerak di antara ruwetnya meja, komputer, dan barang-barang lain. Keenan tidak bisa mengabaikan tapi juga tidak menanggapi semangat yang diam-diam menyertai kedatangannya. "Gue terlalu sibuk untuk bisa melakukan pekerjaan dengan baik, dan mengapa kita melakukannya--membesarkan anak, khususnya--jika lo tidak bisa melakukannya sebaik mungkin?"

"Elo bisa mempekerjakan seseorang."

"Untuk mengandung anak gue?" Gagasan itu mencetuskan sewujud letupan di benaknya yang kacau balau. Ia mempekerjakan orang untuk semua hal lain yang penting baginya--menjalankan bisnis-bisnisnya, merawat rumah-rumahnya. Ia bahkan memiliki seorang pelatih pribadi untuk memastikan tubuhnya tetap berada dalam kondisi terbaik, walaupun ia jarang memerlukan motivasi eksternal untuk itu. Ia mempekerjakan yang terbaik dan membiarkan mereka berbagi ganjaran sekaligus tanggung jawabnya. Bisakah ia dengan sederhana membawa konsep itu maju selangkah lagi?

"Maksud gue mempekerjakan seseorang untuk membesarkan anak." 

Itu juga. Jika ia menemukan wanita yang tepat untuk mengandung anaknya, bukankah wajar jika wanita itu juga akan menjadi orang yang tepat untuk membesarkannya? Menyingkirkan penghalang yang tak berguna, mengenyahkan semua yang tidak menyumbang pada pertumbuhan--itulah filosofi bisnisnya. Mengapa tidak menerapkannya pada keputusan yang lebih pribadi tapi penting ini? Dan praktis pula. Menghindari kacau dan pedihnya perceraian, langsung menuju tujuan akhir yang tak terelakkan dari setiap perkawinan--hak asuh bersama. Jika ia bisa menemukan wanita yang tepat, itu mungkin akan berhasil.

"Yah, lo jelas sudah memberikan sesuatu untuk dipikirkan, Billy." Ia berhenti di luar kantor bagian dalam yang ditempati sekretaris pribadinya.

"Sejujurnya, Keenan, lo akan mempertimbangkannya?"

"Memiliki anak?"

"Bukan, pernikahan."

"Pernikahan?" Keenan mendengus muak. "Kenapa gue harus mempertimbangkan itu?"

"Demi cinta, demi persahabatan, ditambah lagi demi kepentingan pajak." Mata Billy yang mirip manik-manik menatap temannya seakan-akan sedang mengawasi bakteri di bawah mikroskop. "Pernikahan dan anak-anak menghasilkan keuntungan pajak, lo tahu, kan."

Keenan menyelipkan perhiasan kecil yang tadi di main-mainkannya ke dalam sakunya dan berkilah, "Apa lo tidak mendengar, Tuan Billy, tentang CPA dan sejenisnya? Orang kaya tidak membayar pajak."

"Oh, gue tahu semua tentang orang kaya, kawan. Gue belajar dan mengamati lo secara dekat dan gue bisa mengatakan ini kepada lo --- gue belajar sesuatu yang menarik."

"Begitukah?" Keenan tergelak sendiri.

Walaupun pengamatan sahabatnya tentang uang dan pengaruhnya pada orang-orang yang terlalu sibuk mengumpulkannya memang menyenangkan, Keenan tidak punya waktu untuk itu sekarang. Kejadian tak menyenangkan tadi pagi saja telah membebaninya dengan suatu hal yang tak terselesaikan, padahal ia tidak suka pekerjaan yang tidak selesai. 

Ia mengangkat tangannya untuk membungkam pidato berisi kecaman tajam Billy selanjutnya, lalu memukul meja sekretarisnya dengan kedua telapak tangan dan lengan dikuatkan. Dipicingkan matanya untuk memberi komando pada sekretarisnya.

"Helena, segera hubungi kedai kopi di bawah dan tanyakan pada mereka apakah ada orang di sana yang melihat seorang wanita muda ...," ia meluruskan punggung, mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendapatkan gambaran yang tepat, "...kira-kira setinggi ini." Ia mengulurkan tangannya setinggi dagu. "Dengan sejumput rambut keriting tersangkut di salah satu sisi kepalanya."

Billy merengut.

"Kacamatanya miring sebelah, membawa payung yang tertekuk parah, dan mengenakan ... apa namanya?" Ia menunjuk pergelangan tangannya, lalu jawaban itu menyentaknya dan ia menjentikkan jarinya. "Mengenakan gelang berbandul perak."

Helena, terlatih untuk bertindak cepat dan tidak mengutarakan pertanyaan, sudah mengangkat gagang telepon dengan salah satu tangannya dan mengambil sebatang pensil dari belakang telinganya dengan tangan satunya lagi.

"Cari tahu apakah mereka tahu sesuatu tentang dia. Apa dia sering datang ke sini? Bekerja di gedung ini? Kalau perlu, cari tahu apakah ada orang yang melihat ke arah mana dia pergi."

"Ya, Pak," kata Helena, dan mulai memencet tombol-tombol telepon dengan penghapus di pensil itu.

"Oh, dan jika kedai kopi itu tidak punya jawaban apa pun, coba tanya kios koran di lobi."

"Ya, Pak."

"Dan kalau itu tidak berhasil, kamu turun dan melihat apa yang bisa kamu pelajari dari Heri, si tukang semir sepatu."

"Baiklah, Pak. Apa pun yang kamu katakan."

"Temukan dia dan ada bonus besar untukmu jika kamu berhasil, Helena." Ia mengepalkan tangannya di meja wanita itu, berbalik, lalu berjalan ke arah kantornya sendiri yang luas.

'"Berurusan dengan lo selalu soal uang, bukan?" Billy praktis menekan sepatunya kuat-kuat melewati pintu, langkah-langkah kakinya secara dramatis diredam oleh karpet yang mahal sewaktu mereka memasuki tempat menyendiri pribadi dari wilayah bisnis Keenan yang super besar. 

"Gue sama sekali tidak paham apa yang lo bicarakan, Billy," kata Keenan, memuntir-muntir sepatu bayi di sakunya dengan ibu jari dan jari telunjuknya.

"Lo menemukan seorang wanita, dan tak diragukan lagi merupakan objek penaklukan lo yang selanjutnya--"

"Penaklukan?" Keenan menyeringai pada diri sendiri mendengar istilah konyol itu. "Elo membuatnya terdengar seperti gue berencana memanjat sampai ke puncak wanita itu, menancapkan bendera gue, dan mengklaim sebagai teritori pribadi gue."

"Yeah, memang begitu kan? Mengesampingkan semua metafora seksual yang mungkin--"

"Ya, sebetulnya begitulah gue memilih metafora seksual gue. Di samping." Keenan mengempaskan diri ke kursinya, jok kulitnya berdecit sewaktu ia duduki. Diambilnya bandul kecil yang telah memulai kekacauan hari ini.

Billy mengabaikan lelucon itu, yang bagaimana pun juga bukan suatu kejutan bagi Keenan. "Ketika lo melihat apapun yang lo inginkan, apakah itu bisnis lain, kesempatan baru, atau seseorang, lo jadi mengira yang harus lo lakukan untuk mendapatkan keinginan lo adalah menyodorkan uang kepada mereka, atau kepada dia. Dan begitu lo dapatkan mereka, lo menutup kesepakatan dengan uang yang lebih banyak lagi. Kemudian lo menancapkan bendera lo, kawan. Elo menancapkannya dalam-dalam, lo menancapkannya dengan baik." 

Keenan mengangkat alisnya. "Gue tidak tahu reputasi gue dalam hal semacam itu begitu termasyhur."

Lagi-lagi, Billy mengabaikan sindiran Keenan. "Dalam bisnis, lo melakukannya dengan nama perusahaan lo, penekanannya pada pemberdayaan karyawan dan paket-paket keuntungan." 

"Harusnya gue ditembak."

"Dengan teman-teman lo, elo melakukannya dengan loyalitas dan kemurahan hati, dan jangan lupa, pekerjaan."

"Gue takkan memimpikannya." 

"Lebih dari satu orang malang yang kebetulan tumbuh di lingkungan lo, atau pergi ke kampus yang sama dengan lo, atau bahkan seorang anak yang biasa mengantarkan surat kabar lo, elo hadiahi dengan pekerjaan bergaji tinggi dan rekening menggelembung, termasuk gue." Billy mulai melangkah, kakinya yang panjang dan kurus membawanya dengan cepat melintasi satu ujung ruangan itu ke ujung lain. "Lo juga melakukannya dengan beramal. Lo membelikan peralatan dan menyerahkan bantuan dana pada mereka. Minggu itu saja lo meluncurkan program beasiswa di universitas kita dulu."

"Itu? Gue hanya ingin mengembalikan beberapa kesempatan yang membantu gue untuk berhasil. Itulah cara gue untuk melengkapi diri, membungkus segalanya dalam sebuah paket kecil yang rapi." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menekan tombol interkom kantornya. "Helena, sudah ada hasilnya?"

"Belum, Pak,"  balas suara di seberang.

"Yah, hubungi aku segera setelah kamu menemukan sesuatu."

"Ya, Pak."

Di mana gadis itu?  Bagaimana mungkin ia bisa menghilang begitu saja?"

"Dan wanita juga," oceh Billy. "Elo juga melakukannya dengan wanita. Khususnya wanita itu."

"Gue tidak bisa mencegahnya. Kebetulan gue memang menyukai wanita." Keenan duduk kembali di kursinya, melirik Billy dan tersenyum. "Itu faktor genetis, kata orang."

Billy bahkan tak tersenyum sedikit pun.

Keenan tidak peduli. Pikirannya ada di tempat lain--bersama gadis itu. Ia masih bisa melihat sorot lugu terpesona dan marah di matanya yang berkilat-kilat, semburat merah yang menghiasi kulitnya yang berwarna kuning langsat.

🎗🎗🎗🎗🎗