Utari dan Ara bukanlah orang bodoh yang tidak mengerti kemana arah pembicaraan Raka, tentu saja mereka menangkap nada ancaman dalam kata- katanya.
Secara tidak langsung juga, Raka telah memberitahukan mereka kalau Liam dan dirinya sudah tahu mengenai penyiksaan yang mereka lakukan pada Naraya.
Walaupun itu bukanlah suatu kebohongan, Liam benar mengetahui hal ini, tapi sikapnya yang tidak peduli pada Naraya tidak mungkin Raka beritahukan pada Utari dan Ara.
Setidaknya dengan peringatan kecil ini, cukup membuat kedua ibu dan anak tersebut dapat menahan diri dan berhenti menyiksa Naraya untuk sementara waktu, setidaknya sampai Naraya keluar dari rumah ini dan hidup dengan keluarga Prihadi.
Bisa dikatakan pernikahan ini di tentang oleh banyak pihak, tapi setidaknya keluarga Prihadi tidak akan menunjukkan ketidaksukaan mereka dengan bermain tangan pada seorang gadis muda.
Raka dapat menjamin akan hal itu, karena dia sudah mengenal keluarga Prihadi selama bertahun- tahun dan moral mereka cukup baik.
"Tentu, tentu saja akan saya sampaikan…" Ucap Utari dengan gugup sementara Ara sengaja membuang muka, menutupi kekesalannya. "Anak itu memang sering sekali jatuh…"
Utari mencoba untuk menatrilisir suasana dan mengatakan kebohongan, yang bahkan dia sendiri tidak percayai, untuk menutupi rasa malunya karena sikap buruknya sudah ketahuan.
"Terimakasih, saya akan sangat menghargai hal tersebut." Raka berkata sopan, dia tersenyum ketika melihat mbak Minah mengantarkan minuman untuknya dan meletakkannya di atas meja. "Dengan begini, keluarga Prihadi pun tidak akan kecewa dengan penampilan Naraya nanti."
Raka terus membawa nama keluarga Prihadi untuk menegaskan kalau mereka tidak bisa macam- macam dengan Naraya karena sebentar lagi dia akan menjadi bagian dari keluarga Prihadi.
"Ya, ya… tentu saja saya akan menjaga keponakan saya dengan baik." Utari megatakan janjinya, walaupun dia tidak memiliki niat untuk menepatinya, tapi setidaknya dia harus menunjukkan kalau dia peduli pada Naraya.
Raka kembali tersenyum dengan puas sambil menyesap minuman dingin yang di bawakan oleh mbak Minah.
"Boleh saya menemui Naraya?" Tanya Raka.
"Oh, tentu saja." Jawab Utari dengan sigap. "Kamu, panggilkan Naraya sekarang." Perintah Utari tanpa kata 'tolong' ataupun panggilan nama, karena biar bagaimanapun juga mbak Minah adalah orang yang jauh lebih tua dari diri Utari, dan ini membuat Raka mengernyitkan dahinya.
Raka dilahirkan dari keluarga yang selalu menekankan pentingnya kata- kata seperti; tolong, maaf dan terimakasih, kepada siapapun juga.
Jadi, saat ia mendengar bagaimana Utari meyuruh assistant rumah tangganya yang sudah tua untuk memanggilkan gadis yang tidak dapat melihat untuk datang menemuinya membuat Raka sedikit gusar.
Bukankah Utari baru saja diperingatkan?
"Tidak perlu, biar saya saja yang kesana untuk melihatnya." Raka segera berdiri tanpa menunggu Utari mengizinkannya. "Sekalian saya ingin melihat kamar yang ditinggali oleh Nona Naraya, sekaligus bertanya apakah ada yang diperlukan. Hal ini harus saya laporkan pada pak Liam juga."
Sepertinya Raka tengah asyik sendiri menggunakan nama Liam dan Prihadi secara bergantian, tapi kalau dipikirkan lagi, tentu saja tidak masalah, karena yang dia bela saat ini adalah calon menantu keluarga tersebut, walaupun Liam hanya berniat menikahi gadis malang tersebut selama satu tahun.
"Oh, iya… tapi…" Utara gelagapan ketika harus membiarkan Raka masuk ke kamar Naraya, masalahnya adalah, kamar Naraya terletak di bagian belakang rumah di dekat dapur yang seharusnya merupakan kamar pembantu.
"Mbak Minah bisa antar saya?" Raka tidak memerlukan Utari untuk menunjukkan jalan, karena mbak Minah masih berdiri di sana.
Dan seolah mbak Minah mengerti akan tujuan Raka, perempuan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya dengan segera. "Iya, pak. Di sebelah sini silahkan."
Raka kemudian melangkah masuk ke dalam rumah dengan diiringi oleh Utari dan Ara di belakangnya, mereka masih mencoba untuk membuat Raka mengurungkan niatnya.
"Naraya sebetulnya tidur bersama Ara di kamar depan, tapi karena ingin mandiri jadi Naraya meminta kamar sendiri, dan hanya ada kamar ini yang kosong." Utari berusaha untuk memberikan alasan yang dirasa tepat olehnya dalam situasi seperti ini.
Mbak Minah tersenyum sinis saat mendengar apa yang Utari katakan. Sejak kapan Naraya tidur bersama Ara? Sungguh suatu kebohongan yang sangat tidak masuk di akal.
Raka tidak menggubris sama sekali ucapan Utari dan terus melangkah masuk kedalam rumah, melewati dapur dan sampai pada ujung lorong yang agak temaram.
Sepanjang jalan, dahi Raka tidak berhenti untuk mengernyit melihat tempat tinggal Naraya saat ini dan letak kamarnya yang berada di bagian terlupakan di rumah ini.
Mbok Minah berhenti di depan pintu kamar Naraya yang berwarna coklat tua dan terlihat lapuk.
"Naraya, ini ada pak Raka datang ingin mengobrol sebentar katanya." Mbok Minah mengetuk pintu kamar Naraya dengan perlahan.
"Iya sebentar…" Sahut suara dari dalam.
Tidak lama kemudian, Naraya muncul dengan mengenakan kaus putih dan celana training yang warnanya sama sekali tidak senada.
"Iya mbak Minah?" Tanya Naraya, namun kemudian dahinya berkerut begitu menyadari ada banyak orang yang berdiri di lorong kamarnya tersebut. "Ada apa ya? Sepertinya ramai sekali?" Naraya bergumam.
"Bisa tolong tinggalkan kami berdua saja?" Ucap Raka dan itu bukanlah sebuah permintaan melainkan perintah.
Mbak Minah seketika itu juga mengundurkan diri dan meninggalkan koridor kamar Naraya, meyibukkan dirinya di dapur.
Namun, tidak begitu dengan Utari dan Ara, mereka berdua masih berdiri terpaku di tempat yang sama, seolah tidak mendengar apa yang Raka katakan baru saja.
"Bisa tolong tinggalkan kami berdua saja?" Raka mengulangi kalimatnya dan kali ini dia menatap tajam pada Utari dan Ara.
"Memangnya kenapa kalau kami di sini? Bukankah kami juga keluarga Naraya?" Kali ini Aral ah yang berbicara.
Dia sudah tidak tahan untuk tidak mencibir Naraya. Disamping itu, rasa penasarannya benar- benar menyiksa mengenai apa yang akan di sampaikan oleh Raka kepada Naraya.
Bukankah mereka baru saja bertemu pagi ini?
"Kurang dari satu bulan lagi, Naraya tidak akan menjadi bagian dari keluarga ini." Ujar Raka dengan sengit. "Jadi, bisa saya minta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Naraya?"
Melihat ketegasan di mata Raka, membuat Utari memahami situasi dengan cepat.
"Ayo Ara." Utari menarik putri semata wayangnya yang masih ingin mendebat Raka dengan dari sana.
Setelah suasana kembali tenang dan hanya ada Raka dan Naraya saja, Naraya mengajukan pertanyaannya.
"Ada apa pak Raka?" Dia sedikit meringis saat mendengar tante Utari dan Ara yang cek- cok di hadapan Raka.
Apa mereka tidak malu?
"Sebenarnya, saya hanya ingin memberikan ini." Raka mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan meletakkannya di telapak tangan Naraya. "Pak Liam meminta saya untuk memberikan ini untukmu."