Liam turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Naraya, lalu mengantarkannya sampai ke pintu depan rumahnya.
Mereka berjalan dalam diam dengan Liam menggenggam tangan Naraya hati- hati.
Liam melihat keadaan rumah Naraya yang sepi dan mengerutkan keningnya, merasa ada yang janggal. "Rumah kamu memang selalu sepi seperti ini?" Tanya Liam sambil mengamati lingkungan sekitarnya.
"Hm?" Naraya mengangkat kepalanya kemudian bertanya. "Jam berapa sekarang?"
Liam melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "6.49 malam." Jawabnya.
"Mbak Minah sudah pulang, kalau tante Utari, Ara dan Angga tidak ada di rumah, biasanya mbak Minah akan meletakkan kunci rumah di sekitar sini…" Ucap Naraya perlahan.
Naraya meraba pintu rumahnya dan menggeser bangku rotan di dekatnya, saat ia akan memanjat dengan bertumpu pada kursi tersebut, Liam menarik tangan Naraya untuk mencegahnya.
"Apa yang mau kamu lakukan?" Tanya Liam dengan kening berkerut.
Nenek Asha yang menunggu mereka di dalam mobil sudah pasti menyaksikan hal ini, dan apabila beliau mendapati Liam membiarkan Naraya untuk memanjat kursi tersebut, sudah pasti nenek Asha akan memborbardirnya dengan berbagai pertanyaan dan nasehat.
Liam sedang tidak ingin mendengar itu semua.
"Mbak Minah selalu meletakkan kunci di sela ventilasi udara di atas pintu." Naraya menunjuk kearah yang dia yakini adalah tempat dimana mbak Minah biasa meletakkan kunci rumah.
Liam menyipitkan matanya kemudian menjulurkan tangannya kearah ventilasi udara, Liam bahkan tidak perlu berusaha untuk meraih kunci tersebut karena tubuhnya yang tinggi.
"Ini." Liam kemudian meletakkan benda kecil yang terbuat dari besi tersebut ke tangan Naraya.
"Oh, terimakasih." Ada tiga kunci yang memiliki bentuk berbeda, tapi dalam sekali sentuh saja, Naraya sudah bisa menebak, Kunci mana yang merupakan kunci untuk pintu rumahnya dengan mudah. "Kalau begitu aku masuk dulu."
Melihat Naraya yang hendak masuk kedalam rumah dan menutup pintu, membuat Liam secara tidak sadar menahan pintu tersebut dan membuat Naraya bingung.
"Ada apa?" Tanyanya heran.
"Apa tidak apa- apa bagimu untuk tinggal di rumah sendirian?" Tanya Liam sambil mengedarkan pandangannya ke dalam ruang tamu yang gelap, karena lampunya belum di nyalakan.
"Kenapa? Khawatir?" Tanya Naraya mencibir. Dia masih merasa sakit hati atas apa yang terjadi hari ini dan bagaimana Liam memperlakukannya.
Walaupun Liam merasakan nada tidak suka dalam suara Naraya dia mengacuhkannya saat ia kembali berkata. "Setidaknya nyalakan lampu rumahmu dulu."
"Tidak ada bedanya bagiku." Naraya kemudian mengibaskan tangannya di depan wajahnya. "Kamu lupa kalau aku buta? Gelap tidak membuatku takut."
Bohong.
Terkadang Naraya menangis setiap kali dia terbangun dari mimpi buruknya tentang kecelakaan 10 tahun lalu yang menewaskan kedua orang tuanya dan menyebabkannya buta.
Mimpi buruk itu terkadang muncul dan ketika terbangun, Naraya akan semakin takut karena di sekelilingnya sangatlah gelap sehingga dia tidak bisa membedakan apakah dia masih berada dalam mimpi atau dia sudah harus menghadapi hidupnya yang buruk?
Gelap terkadang membuatnya takut, walaupun gelap juga yang memberikan ketenangan, tempat Naraya bersembunyi dari hingar bingarnya dunia.
"Kamu lupa kalau nenek melihat kita?" Liam menjawabnya dengan asal saja. "Aku tidak mau beliau mengomentariku karena meninggalkanmu di rumah yang gelap sendirian."
Walaupun mungkin benar apa yang Liam katakan, kalau nenek Asha akan menegurnya, tapi itu bukanlah sebuah masalah besar bagi Liam.
Sejujurnya, dia merasa sedikit khawatir pada Naraya kalau harus meninggalkannya di rumah yang gelap ini sendirian, biar bagaimanapun juga dia adalah seorang gadis dan sesuatu bisa saja terjadi padanya.
Naraya mendengus dengan sebal sebelum akhirnya dia mengalah dan masuk ke dalam rumah sambil meraba dinding di sebelah kirinya, mencari saklar lampu untuk menyalakan lampu ruang tamu dan tengah.
"Sudah." Jawab Naraya. Dia terpaksa menurut karena menurut Naraya, Liam bukanlah tipe yang akan mundur sebelum keinginannya terlaksanakan, apalagi untuk masalah sepele seperti ini.
"Kunci pintunya." Ucap Liam sambil mundur dan menutup pintu rumah Naraya.
Liam tidak lantas pergi, tapi dia berdiam diri di sana sampai dia mendengar suara 'klik' dari balik pintu, yang menandakan Naraya sudah mengunci pintu tersebut, barulah setelah itu dia berjalan menjauh menuju mobil.
Nenek Asha tidak mengatakan apapun saat dia melihat Liam, tapi dari senyum di wajahnya, Liam tahu kalau beliau menyetujui tindakannya barusan.
Bukankah sebagai seorang suami, menjaga isteri merupakan suatu kewajiban?
"Nenek senang melihat hubungan kalian berdua berjalan baik seperti saat ini, tidak sabar rasanya nenek ingin menimang cicit." Ucap nenek Asha penuh harap.
"Naraya masih sekolah nek, dia bisa dikeluarkan kalau ketahuan menikah diam- diam dan hamil saat dia masih berstatus sebagai pelajar." Jawab Liam diplomatis.
Mendengar jawaban Liam ini, nenek Asha sedikit kecewa karena dia harus menunggu beberapa waktu lagi sebelum dia bisa menimang cicit yang sudah lama dia harapkan.
Salah satu alasan dan pertimbangan kenapa pernikahan Liam dan Naraya tidak diliput media dan dirayakan secara meriah adalah karena status Naraya yang masih merupakan seorang pelajar.
Sempat ada pertimbangan lain untuk menunggu sampai Naraya lulus sekolah dulu baru mereka melangsungkan pernikahan, namun Amira bersikeras bahwa pernikahan ini harus terjadi dalam bulan ini.
Wanita itu sudah tidak sabar untuk mempermalukan Liam di depan keluarga besar mereka dengan mempersunting seorang gadis seperti Naraya.
# # #
Hari ini begitu melelahkan bagi Naraya, bukan hanya secara fisik, namun secara batin pun Naraya merasakan kelelahan yang sangat.
Oleh karena itu, begitu Naraya mengunci pintu depan, dia langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya lalu berbaring di atas kasur.
Niat awal Naraya adalah hanya untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak, baru setelah itu dia akan mandi dan makan malam.
Tapi, tanpa di duga, sesaat setelah Naraya merebahkan tubuhnya di atas kasur dan merasakan bantal yang empuk, Naraya justru tertidur.
Semuanya begitu tenang dan sunyi, dan juga… gelap.
Entah berapa lama Naraya tertidur dengan posisi tengkurap dengan masih mengenakan seragam sekolahnya.
Mungkin karena kelelahan dan perasaannya terhadap Liam sedang tidak menentu maka energy Naraya terkuras habis yang mengakibatkan dia bahkan tidak mendengar saat pintu rumah terbuka dan suara Angga menggema.
Dia memanggil Naraya berkali- kali namun tidak ada jawaban.
Kesal, karena Naraya seharusnya menghampirinya, Angga berjalan menuju kamar Naraya dan hendak menggedor pintunya agar Naraya dapat menyiapkan makan malam untuk dirinya, tapi ketika Angga baru akan melakukan hal itu, pintu tersebut justru terbuka.
Naraya lupa mengunci pintu kamarnya seperti yang selalu dia lakukan.
Dan kali ini, Angga berdiri di ambang pintu, mengamati Naraya yang tengah tertidur pulas di atas kasur.
Tapi, yang manarik perhatian Angga adalah kulit mulus Naraya yang terpampang jelas di hadapannya.