webnovel

Puspas (2)

Hari sudah menjelang gelap.

Memikirkan hal yang dikatakan Budimir membuatku makin gelisah saja.

"Tiliklah keadilan dari dalam dirimu..."

...

Lewat jalan yang agak jauh aja kayaknya...

Lagian aku juga perlu mikir mengenai hal ini.

Coba lewat di daerah waktu aku nyasar aja mungkin. Itu sepertinya lumayan jauh.

...

Keadilan diriku...?

Apa yang musti kulakukan waktu aku bertemu dengan Boris lagi...?

Aku berjalan sambil memikirkan hal itu, hingga tak sadar aku menabrak salah seorang prajurit yang sedang patroli.

"Aduh... Maaf... Maaf..."

Kutengadahkan kepalaku.

!!!

Bukan prajurit yang kutabrak.

Ternyata itu adalah orang-orang berwajah seram yang pernah kutemui saat aku nyasar. Si wajah-terluka, si muda dan si brewok.

"Ah... Ah... M-maaf... Maaf...!"

Kataku dengan terbata-bata sambil berusaha untuk lari.

Namun, salah seorang dari mereka menggapai tanganku dan mencegahku lari.

"Mau ke mana kau bocah?" Kata si brewok sambil memegangi tanganku.

"Ahh... Ahh!! T-tolong, ampuni saya! S-saya tidak sengaja!"

"Hei, kami hanya bertanya. Tidak usah takut." Kata si muda.

"Apa kau tersesat lagi?" Kata si wajah-terluka.

Hah...?

Aduh, sepertinya mereka mengenaliku.

"^&#&*&*(#^!%&#(&%#."

Si muda mengatakan sesuatu yang tak kumengerti pada si brewok, membuatnya melepaskanku, akupun terjatuh.

Rasanya ingin segera lari, tapi kakiku terasa sangat lemas.

Si muda mendekatiku.

"Kau tersesat lagi?" Katanya, wajahnya sangat dekat, terlalu dekat bahkan.

"A-anu..."

"*^%@*)#!^%*#()&%#." Kali ini si wajah-terluka yang berbicara pada si muda.

"Oh." Kata si muda sambil memundurkan wajahnya.

"Kau mau ke mana? Biar kami bantu kalau kau tersesat lagi."

Oh...?

Mereka... mau membantuku...?

Entah mengapa, mereka tak terlihat semenyeramkan seperti sebelumnya setelah si muda mengatakan itu.

Penampilan mereka masih intimidatif sih...

"A-anu..."

"Hm..? Bagaimana?"

"Maaf... Tapi kali ini aku baik-baik saja. Aku tidak tersesat."

Mereka bertiga mengelus janggut mereka, agak lucu juga melihat mereka bertiga kompak mengelus janggut begitu mendengar jawabanku.

"Kau yakin? Wajahmu berkata lain."

Hah...?

Maksudnya..?

Tapi, aku kan memang tidak tersesat.

Aku sudah paham tata letak kota ini karena sudah berulangkali berputar-putar.

"A-anu... Maksudnya...?"

"Sudahlah, jujur saja. Kau ini terlihat sedang bingung dari tadi."

...?

Aku bingung bukan karena aku tidak tahu jalan.

Tapi karena penampilan kalian yang seram!

Aku bingung harus ngomong apa ke kalian, tahu.

"Anu..."

"Hm...? Bagaimana? Sepertinya gurumu yang kemarin juga tidak akan datang."

"Anu... Aku bukan bingung karena tidak tahu jalan... Tapi bingung menanggapi kalian..."

Mereka bertiga terdiam mendengar jawabanku.

"Haha... Kami menyeramkan ya." Si muda berkata sambil terkekeh pelan.

"Sudah sewajarnya kau takut." Kata si brewok sambil tersenyum lebar.

Si wajah-terluka tidak mengatakan apapun, namun kulihat senyum kecil di wajahnya.

"&$*@*$&*@!(#&**@$(**#&*&$&&%*"

Lagi-lagi mereka berbicara dengan bahasa asing...

Mereka terlihat senang saat berbicara, ada tertawa kecil juga.

"Heheh, baiklah. Kali ini kami akan membantumu. Akan kami antar kembali kau ke tempatmu."

Mereka sepertinya bersikeras untuk membantuku.

Sebenarnya aku tidak butuh bantuan sih... Tapi ya tidak ada salahnya. Mungkin aku bisa dapat petunjuk juga mengenai pertanyaan yang masih mengganjal di hatiku sekarang ini.

"...Baiklah..."

Mereka tersenyum lebar sambil memandangku. Senyum mereka masih seram sih, tapi tidak apalah. Mungkin mereka ini memang orang baik. Ada pepatah jangan menilai buku dari sampulnya saja, mungkin ini yang dimaksud.

...

... 

...Bentar... 

Itu pepatah dari mana...?

"Nah, kau mau ke mana?" Tanya si muda.

"Aku mau ke markas prajurit Plemenita. Guruku menunggu di sana."

"Markas prajurit yah..." Kata si brewok sambil mengelus dagunya.

Mereka tampak berpikir sejenak lalu mengajakku untuk segera berjalan ke tujuan.

"Ayo berangkat."

Kami berjalan menyusuri kota, ditemani dengan orang-orang yang berlalu-lalang dan jingganya sinar mentari senja yang hangat serta udara yang mulai dingin.

...

...

Kami semua terdiam.

Mereka sama sekali tidak mengobrol satu sama lain, bahkan mengucapkan satu kata pun tidak.

Aku juga canggung untuk memulai obrolan.

Terlihat juga orang-orang yang kami lewati, sebagian besar memandangi kami dengan wajah yang keheranan.

Yah... Aku paham sih.

Seorang bocah berjalan ditemani oleh 3 orang seram seperti mereka...

Tentu bukan pemandangan yang biasa ditemui.

...

...

...

Argh! Aku tidak tahan dengan kecanggungan ini! Ayolah! Katakan sesuatu!

...

Aku menghela napas. Tanpa kusadari, perbuatanku itu menarik perhatian si wajah-terluka.

"...Kau kenapa?" Katanya.

Ditanya begitu secara tiba-tiba, aku jadi sedikit panik. Apalagi yang bertanya adalah orang yang sedari tadi tidak mengucapkan apapun.

"G-gimana...?" Tanyaku.

"Kau kenapa tadi menghela napas?" Lanjut si wajah-terluka.

...

Aduh... Kujawab jujur atau nggak ya...

Masa aku bilang kalau aku eneg dengan kecanggungan ini?

Tunggu, mungkin ini waktu yang tepat untuk bertanya pada mereka mengenai hal yang kupikirkan.

Tapi aneh nggak sih bertanya pada orang asing mengenai hal ini?

"Kenapa kau sekarang diam?"

Ah bodo amat lah! Ngomong aja dah!

"...A-anu... Aku boleh bertanya sesuatu...? A-agak aneh sih... T-tapi..."

Mereka bertiga terdiam, sepertinya menungguku menyelesaikan kata-kataku.

"Glek... Anu... Aku mau tanya... Bagi kalian... Keadilan itu apa?" Tanyaku sambil gemetaran.

Mereka bertiga mengernyitkan dahi. Kompak sekali sih, lucu juga.

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya hal itu?" Tanya si brewok.

"Anu... Um..."

Kami berempat terdiam.

"Hm... Keadilan yah... Mungkin, uang?" Kata si muda.

Uang?

"Maksudnya?" Kataku.

"Yah, kami kan tentara bayaran. Asal ada cuan, kami jalan." Jawab si muda

"Jadi, kalian akan melakukan apapun asal ada uangnya?" Tanyaku lagi.

"Yah... Tergantung sih, kami sanggup atau tidak. Kalau sanggup, ya kami lakukan." Jawab si muda lagi.

"Pokoknya, kalau pekerjaan yang ditawarkan sesuai dengan upahnya, ya pasti akan kami lakukan." Tambah si brewok.

"..." Tambah si muka-terluka.

Sejenak aku termenung.

Uang ya...

Imbalan?

Keadilan... Imbalan...?

Asal imbalan sepadan, maka akan dilakukan...

Argh, aku tambah bingung.

"Kau sepertinya bingung." Kata si wajah-terluka

Ya, si wajah-terluka. Bukan suara burung.

Kutatap wajahnya, seakan tidak percaya dengan suara yang ia keluarkan.

"..."

"Y-ya... Aku b-bingung... pfftt..."

Aduh, sulit sekali rasanya menahan tawa ini. Suaranya aneh sekali soalnya! Ya ampun...

Si wajah-terluka diam saja saat kutatap seperti itu. Namun dari raut wajahnya, bisa kulihat ia sedikit kesal. Apa mungkin... Karena dia sering diejek mengenai suaranya itu?

"A-anu... M-maaf..."

Si wajah-terluka hanya mendenguskan napas saat mendengar permintaan maafku. Entah dia memaafkanku betulan atau tidak.

Tanpa kusadari, kami sudah sampai di markas prajurit Plemenita.