"Terus begitu! Jangan melambat!"
Kuayunkan pedang kayu melawan Bibi Valeria.
Seperti yang dijanjikan Bibi Valeria kemarin, hari ini aku mulai berlatih bela diri.
Perkataan Bibi Valeria kemarin benar-benar bukan isapan jempol belaka.
Dia benar-benar keras melatihku.
Entah sudah berapa lama aku disuruh mengayunkan pedang kayu seperti ini.
"Yook, majuuu, munduurr, tangkiiss!"
Sama sekali tak ada waktu yang ia berikan untukku istirahat.
Pakaianku sudah banjir keringat.
Napasku juga sudah hampir habis berkali-kali.
Seeettt!!
Bibi Valeria menusukku tepat di dada.
Harusnya aku menangkis saat ini.
Tapi tubuhku sudah sangat lelah.
Aku tak bisa mengimbangi kecepatannya.
"Ohok...!!"
Aku terpental ke belakang.
"Ayo, berdiri lagi! Kita masih belum selesai ini!"
Ini hanya perasaanku saja atau Bibi Valeria seperti melampiaskan emosinya padaku?
Aduh... Dadaku masih sakit karena tusukan barusan.
Bibi Valeria sama sekali tidak menahan dirinya.
Padahal ini baru hari pertama.
Besok-besok bakalan seperti apa?
"U... Ugh..."
Aku berusaha untuk berdiri kembali.
Ah sial... Aku sudah tidak kuat.
Aku tidak sanggup berdiri lagi.
"Ohok...! Ohok...!"
Napasku sesak sekali.
Mataku berkunang-kunang.
Samar-samar kulihat Bibi Valeria berjalan mendekatiku.
Gawat... Masa aku akan dipukul lagi?
Ah... Pandanganku mulai kabur.
Semakin gelap...
Semakin gelap...
...
Aku terbangun di sebuah ruangan.
Apa aku pingsan tadi...?
Sepertinya iya.
Latihan dari Bibi Valeria benar-benar keras...
"Kau sudah bangun?"
Paman Igor duduk di samping ranjangku.
Tumben sekali dia peduli dengan keadaanku.
Sampai-sampai menungguiku seperti ini.
"Haah... Dia itu benar-benar berlebihan..."
Pasti yang ia maksud adalah Bibi Valeria.
"Baiklah, sepertinya tugas jagaku sudah selesai. Kalau kau bisa jalan, segera temui Valeria di luar."
Glek...
Apa maksudnya aku harus melanjutkan latihan lagi?
Kalau iya... Aku benar-benar sudah tidak sanggup.
Bisa-bisa aku mati duluan sebelum bisa sekuat Bibi Valeria.
"Paman Igor... Tolong aku..."
Semoga Paman Igor mengerti dengan keadaanku sekarang.
Aku sudah tidak kuat lagi kalau disuruh melanjutkan latihan.
"Ha? Apa?"
Kutatap Paman Igor dengan wajah yang kubuat se-memelas mungkin.
"Aku... Tidak sanggup lagi."
Paman Igor hanya menghela napas pelan.
"Sudah, kau temui saja Valeria di luar sana."
Oh tidak...
Jangan...
Jangan pergi...
Paman Igor!!
DIa pun keluar.
Ya Tuhan... Apa yang harus aku lakukan...?
Aku tidak menyangka latihannya bakal sekeras ini.
Kukira Bibi Valeria akan menahan dirinya sedikit saat melatihku.
Tapi kalau diingat lagi, dia memang bilang kalau dirinya tidak pandai mengukur kapasitas seseorang.
Dia juga bilang dia bukan guru yang baik.
Sepertinya aku salah telah memintanya melatihku.
Dukdukdukduk...
Kudengar suara orang berlari ke sini.
"Andre...!"
Sudah kuduga.
Itu Bibi Valeria.
Duh, apa yang harus aku katakan...
Nggak mungkin kan aku langsung berhenti di hari pertama.
Tapi kalau latihannya begini terus akunya yang nggak sanggup.
Sepertinya aku harus terus terang kepadanya.
"Anu... Bi..."
"Syukurlah kamu tidak kenapa-kenapa! Maafkan aku ya Ndre...!!"
Eh...?
Bibi Valeria memelukku sambil meminta maaf.
"Hii... Ahu... Ngghakk hisa nahaasss..."
"Hah?"
Bi, aku nggak bisa napas.
Pelukan bibi terlalu keras...!
Tolong!
"Hei, kalau kau memeluknya seperti itu, yang ada tulangnya patah semua."
"Ah, maaf!"
Bibi Valeria melepaskan pelukannya.
Kulihat seseorang berdiri di pintu masuk.
Wajahnya terlihat tua dan ada luka di mata kirinya, tapi masih terlihat gagah.
Badannya tegap dan berotot.
Posturnya sangat bagus untuk seorang pria.
Terima kasih, siapapun kau.
"Jadi kau Andre?" Tanyanya padaku.
Aku mengangguk pelan.
"Aku David. Mulai saat ini, kau akan berlatih denganku." Katanya sambil tersenyum lebar.
David...?
Seperti bukan nama orang sini.
Dan lagi, aku akan berlatih dengannya?
Lalu bagaimana dengan Bibi Valeria?
"Sepertinya aku berlebihan saat melatihmu tadi. Seperti katanya, mulai sekarang kau akan berlatih dengannya ya."
Aku membayangkan latihan seperti apa yang akan dijalani bersama pria sangar ini.
Seketika aku merinding membayangkannya.
"Hahahaha! Tak usah takut begitu! Aku tidak seperti Valeria! Aku jamin kau akan lebih betah saat berlatih denganku!" Katanya sambil tertawa.
Bibi Valeria hanya tersenyum kecut mendengar perkataannya.
Tapi sepertinya ia orang yang lebih berkompeten dalam mengajar.
Kalau dia percaya diri seperti itu, mungkin aku tidak perlu ragu.
"Tidak apa-apa kan Andre, kalau kau belajar bela diri darinya?" Tanya Bibi Valeria.
"Ya, tidak apa-apa bi." Kataku bersemangat.
"Sepertinya kau senang ya bisa lepas dari ajaranku." Kata Bibi Valeria sambil tersenyum kecut.
Glek...
Ya bukannya gimana-gimana.
Bibi sendiri kan yang bilang kalau bibi bukan guru yang baik.
Bibi Valeria menghela napas.
"Ya sudahlah. Mungkin aku memang benar-benar tidak cocok mengajari seseorang."
Tidak apa-apa bi.
Paling tidak bibi sudah berusaha.
Aku sangat mengapresiasinya.
"Oke kalau begitu, mohon bantuan untuk ke depannya, Andre!" Kata Paman David sambil mengulurkan tangannya.
"Mohon bantuannya, Paman David!"
Aku menjabat tangannya.
"Anu... Jangan panggil aku paman. Aku jadi terdengar tua sekali. Panggil aku David saja."
"Baiklah, Pak Guru David!"
Kami berdua tertawa bersama.
Bibi Valeria tersenyum melihat kami berdua.
Ia tampak lega sekali.
...
Keesokan harinya, aku memulai latihan dengan David.
"Nah, kau seimbangkan kakimu seperti ini."
"Begini?"
"Tidak, bukan begitu. Seperti ini."
David benar-benar mengajariku dengan sabar.
Ia berulangkali membetulkan posturku yang salah.
Setiap kami latihan, ia juga selalu mengajariku berbagai teknik sampai aku mahir.
Latihan bersamanya benar-benar berbeda dengan latihanku bersama Bibi Valeria.
Dengannya, aku dilatih untuk tidak hanya pandai bertarung secara fisik, namun juga pandai untuk memikirkan langkah apa yang mesti diambil saat bertarung.
Aku juga tidak langsung diajarkan memegang senjata.
Saat ini, aku selalu dilatih untuk menggunakan fisikku sepenuhnya sebelum memegang senjata.
Memang melelahkan, tapi setidaknya ini lebih enak daripada saat latihan bersama Bibi Valeria.
Terlebih, aku sepertinya cocok dengan David.
Orangnya tidak terlalu kaku dan enak diajak ngobrol.
Dia sering sekali tertawa keras saat aku mengutarakan lelucon.
Tapi lelucon yang ia lontarkan padaku sama sekali tidak lucu, malah membuatku merinding karena saking tidak lucunya.
Tak terasa, sudah hampir setengah tahun aku berlatih dengan David.
Kemampuanku masih payah, tapi sudah sangat berkembang jika dibandingkan dengan dulu.
Ngomong-ngomong, aku juga belum pernah bertanya pada David mengenai namanya.
Nama David itu bukan seperti nama orang sini.
Apa dia dari negeri lain seperti Elora dan keluarganya?
"Pak guru. Sebenarnya pak guru ini asalnya dari mana? Nama pak guru terdengar seperti bukan orang sini."
"Sudah kubilang berulangkali langsung panggil aku David saja. Ah terserah kaulah. Aku? Yaa, bisa dibilang aku bukan orang asli sini."
"Lalu, dari mana pak guru berasal?"
"Di sebelah utara dari negara ini, di seberang lautan sana ada sebuah daratan. Dari situlah aku berasal."
Daratan di seberang lautan? Aku baru tahu di sana ada manusia juga.
"Bagaimana pak guru bisa sampai ke sini?"
"Hmm... Bagaimana ya? Panjang kalau diceritakan semua. Intinya aku bisa berada di sini karena kecelakaan."
Singkat, padat, dan tidak jelas.
Pak guru ini gimana, penjelasan pak guru malah semakin membuatku penasaran.
"Kecelakaan?"
"Aduh, gimana ya... Ini kisah yang sangat panjang. Kau yakin mau mendengarnya?"
Aku mengangguk dengan semangat.
"Baiklah kalau begitu..."
Setelah ini adalah chapter kisah David saat masih berada di Dragnite. Disarankan untuk membaca Flowers of Battlefield terlebih dahulu agar mengerti referensi-referensi yang ada di chapter ini.