webnovel

KISS NOTE : WINNER (Indonesian Version)

Apa yang akan kau lakukan jika suatu hari sebuah buku ajaib memilihmu? Apakah kau akan terus menggunakannya ?? Tapi, selalu ada resiko dari semua yang kita dapatkan secara cuma-cuma bukan? Yakinkah kau akan sanggup menanggung resiko itu? Ini adalah sebuah kisah buku peninggalan jaman Joseon yang keberadaannya tak tertulis dalam sejarah . Lee Jinwoo, Kang Seunghoon, Dong Mino, Choi Seungyoon dan Kwon Taehyun. Kisah mereka berlima akan segera dimulai.

Siti_Mariani_0391 · Urbano
Classificações insuficientes
27 Chs

BAB 2

-Taehyun-

Meski aku adalah yang termuda diantara empat orang lainnya tapi jangan coba-coba meremehkanku. Aku yang paling ahli menjabarkan suatu keadaan dalam dunia bisnis yang bahkan tidak bisa dijabarkan dengan detil oleh pengamat bisnis manapun. Bahkan Seunghoon-hyung tak bisa menandingi kepintaranku dalam bidang ini, karena itulah harga saham keluarganya tak bisa lebih tinggi dari harga saham perusahaan ayahku yang berada di posisi kedua, tepat di bawah perusahaan keluarga Seungyoon. Benar, perusahaan grup Kang dan perusahaan grup Kwon adalah perusahaan The Big Three (Big3) bersama perusahaan grup Choi yang berada di puncak.

Aku memimpin perusahaan yang didirikan kakekku, bukan karena aku mengikuti keinginan ayahku saja, Kwon Jiyong, tapi karena aku menginginkannya. Ah, perasaanku tak begitu baik setiap kali aku menyebut namanya. Walaupun kenyataannya dia adalah ayah biologisku yang sah.

Setiba di rumah, tidak ada yang paling ingin kutemui selain ibuku tapi saat aku memasuki kamarnya, aku tak menemukan ibu di sana. Saat aku akan keluar dari kamarnya, sebuah pigura besar yang berada di ujung ruangan mengambil perhatianku. Berjalan mendekat ke pigura besar yang telah berada di ruangan ini selama dua puluh tahunan, umur pigura ini hampir sama denganku dan kenyataan itu membuatku merasa marah.

"Wanita seperti apa dirimu ini hah? Kau telah membuat ibuku menderita selama ini bahkan selembar fotomu masih menyakitinya padahal kau sudah tidak ada di dunia ini."

Nanar kutatap foto wanita dalam pigura itu. Ia adalah mantan kekasih ayahku, Yoon Eunhye. Tidak banyak yang kuketahui tentangnya karena aku tidak mau membuat ibuku sedih, yang aku tahu cerita kematian wanita ini yang menurut teman ayah tragis.

20 tahun yang lalu

"Kenapa tidak mau melakukannya? Kenapa tidak mau dioperasi?" Kwon Jiyong langsung meninggikan suaranya begitu masuk ke ruang perawatan kekasihnya, Yoon Eunhye. Ia kalap begitu mendengar penjelasan dokter tentang pembatalan operasi Eunhye.

"Oppa, kau semakin manis jika sedang marah seperti ini. Lagipula aku kan sedang sakit, bukannya terus-terusan bersikap manis, kau malah memarahiku." Eunhye tersenyum dengan bibirnya yang tak lagi berwarna merah muda. Kemoterapi membuat staminanya naik-turun bahkan merontokkan rambut panjangnya hingga pada satu titik ia memilih untuk mencukur semua rambutnya, kini Eunhye menutupi kepalanya dengan topi rajut dengan banyak warna, hari ini ia memakai topi rajut berwarna krem.

Mendengar ucapan Eunhye, Jiyong hanya diam dan mulai berjalan mendekat ke ranjang dimana Eunhye duduk, "Maaf." Ucapnya singkat.

"Cuaca di luar panas membuatku ingin makan es krim. Oppa, ayo kita makan es krim. Ya-ya-ya?" Eunhye mengubah nada suaranya menjadi lebih imut untuk membujuk kekasihnya menuruti keinginannya.

Meski ingin sekali menolak, Jiyong tak memiliki kemampuan itu. Pada akhirnya, ia membiarkan Eunhye menguasainya, "Rasa cokelat, kan? Tunggulah."

"Oke." Sebuah kerlingan diberikan Eunhye untuk Jiyong.

Tak butuh waktu lama, Jiyong sudah kembali membawa es krim pesanan Eunhye. Awalnya mereka saling menggoda dan penuh tawa, Jiyong bahkan menarik Eunhye masuk ke dalam pelukannya. Namun hanya dalam hitungan detik, tangan Eunhye terkulai lemah. Es krim yang dipegangnya jatuh ke lantai. Tidak ada ucapan terakhir atau selamat tinggal, membuat dada Jiyong terasa sangat sesak. Ia bahkan tak mampu menangisi kepergian Eunhye karena sesak.

Pintu kamar bergeser, Choi Seunghyun dan ketiga temannya masuk. Jiyong tak bergeming dengan kedatangan sahabat-sahabatnya.

"Ah, maaf. Kami mengganggu kalian." Goda Seunghyun.

Tak melihat reaksi kedua orang itu, Seunghyun kembali mengeluarkan suaranya. "Apa Eunhye sedang tidur?"

"Bagaimana bisa dia tertidur dan tidak sadar es krimnya jatuh?" sambung Seunghyun.

Tak ada tanggapan dari Jiyong, pria itu masih merasakan kesesakan di dadanya hingga ia tak tahu harus bagaimana selain tetap berada di tempatnya dan merangkul Eunhye yang sudah tak bernyawa.

"Ya! Kwon—"

Seunghyun baru akan memarahi Jiyong yang tak menggubrisnya, saat Dong Youngbae menarik bahunya untuk mundur, "Hyung, Eunhye sudah pergi."

Meski berbisik, suara Youngbae masih terdengar oleh Jiyong. Seperti sebuah tamparan, ucapan Youngbae akhirnya memecahkan kesesakannya. Suara isak tangis Jiyong terdengar semakin keras memenuhi ruangan. Youngbae, Seunghyun dan Daesung bergerak cepat memisahkan pasangan itu. Seunghyun meraih jasad Eunhye dan membaringkannya di atas ranjang, Youngbae dan Daesung memapah Jiyong ke sofa yang berada di depan  ranjang Eunhye. Sementara Seungri berlari keluar mencari perawat atau dokter untuk memastikan keadaan Eunhye.

Kwon Jiyong benar-benar bersedih saat ini. Ia tengah merasa kehilangan.

Seunghyun mendekati Jiyong. Ia menepuk pundak sahabatnya, berharap mereka berbagi beban saat ini.

Cerita tragis yang kudapat dari presdir Dong Youngbae saat aku menemuinya dan menanyakan tentang wanita itu. Ayahku adalah manusia paling menyedihkan yang menyiksa ibu dengan tetap memasang foto wanita lain di kamar ibuku. Tidak ada foto lain selain foto wanita itu di kamar ibu.

Aku membenci ayahku karena dia mengabaikan ibu. Ayah tidak pernah menganggap ibuku ada di sampingnya. Bahkan dia menyebutku sebagai anak yang terlahir karena sebuah kesalahan. Mereka berdua menikah karena dijodohkan. Ia menyebut kelahiranku sebagai kesalahan karena ia dalam keadaan mabuk berat ketika tidur dengan ibu. Jika tidak dalam pengaruh alkohol, dia tidak mungkin sampai melakukannya. Begitu katanya.

Ibu selalu, setiap hari, selama ia hidup dengan ayah menyiapkan semua keperluan suaminya seorang diri, termasuk soal makan. Namun suaminya tak pernah sekalipun selama ia hidup dengan ibu, menggunakan apa yang disiapkan ibu, memakan apa yang dimasak ibu. Ayah lebih memilih memakai apa yang disiapkan pelayan rumah ini, memakan apa yang dimasak koki rumah ini. Pria itu benar-benar membuatku muak melihat tingkahnya. Jika bukan karena ibu sangat mencintainya dan tetap ingin berada di sampingnya meski ia diperlakukan seperti itu, sudah lama kubawa ibu pergi meninggalkan pria tua itu, bukan cuma pria itu tapi juga negara ini.

Semua sikap dan ucapanku yang kasar, kupelajari darinya.

Aku tak pernah dekat dengannya, tidak sekalipun ia bermain denganku saat kecil. Aku bahkan ingat beberapa kali ia menolak ajakanku untuk berlibur. Hanya ibu yang melakukan semuanya, ia bahkan mengambil peran ayah hanya agar aku tak merasa kehilangan sosok ayah.

Ibuku, Park Shinhye. Wajahnya selalu tersenyum ketika melihatku, padahal aku tahu selalu ada tangis yang ia sembunyikan. Seperti ayah yang memasang foto wanita lain, aku juga melakukan hal yang sama. Kupasang foto ibu dengan pigura besar, satu-satunya foto dimana senyum ibuku terlihat tulus dan tanpa beban.

Aku, Kwon Taehyun. Putra tunggal dari pernikahan Kwon Jiyong dan Park Shinhye yang dipaksakan. Aku tidak percaya dengan yang namanya cinta membawa kebahagiaan, karena aku tak pernah melihat ibuku bahagia meski ia mencintai.

*          *         

-Seunghoon-

Aku menuruti semua yang dikatakan ayahku karena aku harus melindungi seseorang. Aku harus terus bekerja sebaik mungkin di perusahaan agar ayah tetap bersikap baik padanya. Aku ingin dia tetap di sampingku meski orang tuaku tidak lagi menginginkanya. Aku ingin dia tetap hidup entah dalam keadaan sehat atau tidak.

Mereka menyebutku ambisius karena tidak ada yang tidak bisa kucapai dengan kerja keras dan kegigihanku.

Aku, Kang Seunghoon. Putra keluarga Kang. Kang Daesung dan Kang Jiyoung adalah orang tuaku. Aku adalah orang yang pintar membohongi orang lain, bahkan diriku sendiri demi orang yang sedang kulindungi.

*           *         

Mino baru saja menyelesaikan operasi cangkok hati seorang pasien asal Thailand saat seorang dokter magang masuk dengan wajah panik menghampirinya.

"Profesor Dong…"

Tidak butuh waktu lama untuk mencerna apa yang terjadi karena perawat yang datang padanya adalah perawat yang ia pekerjakan secara khusus. Mino mengambil langkah berlari menuju sumber kecemasannya. Ia tak berhenti mengucap kata 'tidak' dalam hatinya bak sebuah mantra. Penuh harap sesuatu yang buruk tidak terjadi.

"Aaacckk!" suara kesakitan yang terdengar sampai keluar bahkan menggema di lorong bangsal membuat Mino menghentikan larinya.

Napasnya terdengar kasar karena ia baru saja lari dari ruang operasi yang berada di lantai 3 ke bangsal rawat yang ada di lantai 5. Sesaat kepalanya berdengung hebat, menghilangkan kesadarannya selama beberapa detik.

"Prof, anda baik-baik saja?" seseorang mengembalikan kesadaran Mino. Kini ia kembali berlari menuju sumber suara kesakitan itu. Mino menggeser pintu ruangan dengan kasar, tanpa ragu ia menyegerakan langkahnya mendekati ranjang dimana seorang wanita masih berteriak hebat.

Mino terdiam selama beberapa detik. Jelas ia merasa sama sakitnya dengan pasien ini.

"Aacckk!" teriakan yang sama seperti sebelumnya.

Mino meraih kedua bahu pasien itu dengan erat, "Aeri-ah… Ini aku, Mino. Tenanglah. Aku di sini. Bernapaslah perlahan."

"Oppa…" Suara Aeri bergetar, ia mengangkat kepalanya dan menemukan Mino tersenyum getir padanya.

Pasien yang membuat Mino berlari secara brutal di rumah sakit, pasien yang ia khawatirkan lebih dari dirinya sendiri, pasien itu Jung Aeri. Wanita yang membuatnya memutar kemudi hidupnya, wanita yang membuatnya mempelajari semua ilmu kedokteran yang ada, Jung Aeri, wanita itu.

"Ada apa? Apa kau merasa sakit? Dimana?" rentetan pertanyaan diberikan Mino pada kekasihnya dengan wajah setenang mungkin, ia menyembunyikan semua kekhawatirannya di depan Aeri.

"Tanganku…" Aeri masih menangis.

"Tanganku mulai tak bisa digerakkan, oppa." sambung Aeri.

Mino melihat keseluruhan tubuh Aeri, wanitanya terlihat begitu lemah dan rapuh. Mino bahkan menemukan raut kekesalan di wajah Aeri, ia tahu kekasihnya menahan kekesalan pada nasib yang ia hadapi saat ini.

"Tidak apa, sayang. Mulai sekarang aku akan menjadi tangan untukmu. Tenanglah, sayang." Mino memeluk Aeri yang masih menangis.

Aeri memiliki proporsi tubuh yang sempurna tapi kini semua tak ada gunanya karena sakit yang dideritanya, "Maaf karena menyusahkanmu, oppa."

"Ssttt… Jangan minta maaf, Aeri-ya. Aku akan menemukan obat untukmu, bertahanlah sebentar lagi. Kau bisa bertahan sedikit lagi, kan?" Air mata Mino akhirnya menetes sembari memeluk Aeri. Ia bisa merasakan bahwa tubuh wanitanya sangat lemah. Memiliki kekuatan untuk berteriak seperti tadi saja sudah menjadi satu hal yang Mino syukuri.

Lama Mino memeluk Aeri hingga akhirnya wanitanya tidur dalam pelukannya. Mino membaringkan Aeri dan melihatnya beberapa saat sebelum akhirnya keluar dari kamar rawat Aeri.

"Pantau terus keadaan nona Jung. Aku akan keluar sebentar, telepon aku segera jika terjadi sesuatu padanya lagi." Pesan Mino pada residen yang menunggunya di luar.

Mino berjalan menuju area parkir, ia membuka jas dokter dan melemparnya ke tempat sampah yang ia lihat. Dibukanya kunci pengaman mobil dan segera masuk ke dalam, menghidupkan mesin mobil lalu menekan pedal gas hingga mobilnya melaju keluar dari area parkiran. Mino melampiaskan semua emosinya yang tertahan, termasuk semua suara teriakan Aeri yang mendengung di kepalanya. Entah kemana Mino membuat mobilnya melaju tapi kecepatannya mulai berkurang saat masa lalunya kembali terputar.

8 bulan sebelumnya

-tuk tuk-

Aeri mengetuk meja nurse station untuk mendapatkan perhatian para perawat, moodnya sedang tak baik dan itu tergambar jelas di wahanya, "Apa kalian lihat dokter Dong?"

"Profesor Dong? Sepertinya tadi sedang di café rumah sakit." Seorang perawat yang baru masuk station menjawab.

"Apa? Huh, dasar!" cibir Aeri. Setelah mengucapkan terimakasih, Aeri berjalan menuju lift untuk menyusul Mino.

Proporsi tubuh Aeri benar-benar sempurna, terlalu sempurna untuk profesi dokter. Kecantikannya menjadi buah bibir di kalangan pegawai rumah sakit, ia bahkan dijuluki dewi Soowon Hospital, dan sang dewi ini adalah primadona kebanggaan departemen jantung. Jung Aeri adalah dokter spesialis jantung di rumah sakit yang sama dengan Mino.

Aeri memasuki café rumah sakit, matanya menyisir isi café untuk mencari Mino. Sementara Mino dengan mudah menemukan Aeri yang membuatnya tersenyum melihat raut wajah kesal kekasihnya. Aeri menemukan Mino dan segera mendatangi mejanya.

"Kenapa kau tersenyum?" Aeri bertanya dengan nada kesal.

Bukannya menjawab, Mino malah semakin menarik sudut bibirnya untuk tersenyum.

"Dong Mino-ssi!" Setiap kali Aeri merasa kesal, ia akan menggunakan akhiran –ssi di belakang nama Mino.

"Apa kau tidak merasa malu? Duduklah dulu." Mino menepuk kursi di sebelahnya agar Aeri duduk, masih dengan senyumannya dan itu membuat Aeri kian kesal.

"Oppa!" suara Aeri meninggi, ia bahkan menghentakkan kaki kanannya tanda bahwa ia tak main-main. Namun, hal itu justru menggelakkan Mino. Ia berdiri dan menangkap kedua bahu lalu menggiring tubuh Aeri untuk duduk di kursi yang ditawarkan Mino tadi.

"Santailah sebentar, sayang." Ucap Mino lembut sembari mengelus punggung tangan Aeri.

"Oppa, seriuslah sedikit. Jangan seperti ini terus, kau ini seorang dokter. Jangan karena kau bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat lalu kau bisa tenang-tenang saja. Kau bisa menggunakan kelebihan waktumu untuk pasien lain. Kau tak pernah berubah, dulu kau juga melakukan hal yang sama. Ujianmu selesai lebih cepat bahkan jawabanmu bisa saja benar semua tapi kau malah keluar saat bel berbunyi dan jawabanmu sengaja kau buat salah. Kau mengalah dariku. Aku tidak suka." Aeri mengomel di hadapan Mino.

Mino kembali tersenyum mendengar setiap kata yang Aeri keluarkan, baginya omelan Aeri bak suara merdu kotak musik yang menyenangkan perasaannya. Bahkan Mino ingin melakukan apa saja agar bisa mendengarkan omelan Aeri.

"Aku ingin menciummu segera, dokter Jung." ucap Mino.

Sontak Aeri merasa sekitar wajahnya panas. Aeri tengah salah tingkah, "Oppa! Dengarkan aku."

"Hahaha. Aku mendengarkanmu, Aeri-ya."

Aeri mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas ice Americano milik Mino, saat tangannya telah berhasil menggenggam gelasnya secara tiba-tiba raut wajah Aeri berubah. Ia terkejut dengan keadaannya, tanggannya tak sanggup menarik gelas ice Americano itu ke arahnya. Padahal gelas itu hanya berisi kurang dari setengah.Aeri mengulurkan tangannya yang lain untuk menggeser gelas itu ke arahnya dan mulai menyesap isi gelas tersebut.

Mino menyadari perubahan raut wajah Aeri karena ini bukan pertama kali Aeri tidak bisa melakukan sesuatu yang sangat ringan. Ia pernah melihat sebelumnya.

Pertama. Saat Mino melihat Aeri di lorong rumah sakit, ia selalu mencoba mengusili kekasihnya. Kali ini ia bermaksud mengagetkan Aeri, tapi belum sampai untuk mengagetkan Aeri tiba-tiba saja Aeri kehilangan keseimbangan hingga membuatnya jatuh. Bukan karena air yang menggenang ataupun karena tersenggol Mino tapi karena dirinya sendiri. Mino ingin segera membantunya saat mendengar ucapan Aeri, "Ah. Apa karena hari ini aku terlalu banyak melakukan operasi hingga lututku lemas dan membuatku jatuh?"

Aeri menggumam lalu berdiri dan membersihkan celana panjangnya, kemudian berjalan lagi seolah tidak terjadi apa-apa.

Kedua. Saat mereka makan malam berdua di apartemen Aeri. Secara tiba-tiba Aeri menjatuhkan semua peralatan makan yang dipegangnya saat berjalan menuju dapur. Seperti sengaja dilepas olehnya.

Kejadian serupa berulang beberapa kali, bahkan menjadi lebih sering. Gejala yang ditunjukkan Aeri membawa Mino pada sebuah dugaan yang mengarah ke sebuah penyakit langka. Berharap sakit yang Aeri derita bukan penyakit yang diduganya.

Selama beberapa hari Mino mencoba menemukan sakit dengan gejala yang sama namun pada akhirnya ia menemui seniornya sesama dokter untuk mencari opini lain tentang gejala yang dimiliki Aeri. Mino sampai di ruangan dengan papan nama menempel di dekat pintu, dokter Jung Hongseok, sp.s, ia mengetuk pintu ruangan dan mulai membuka ketika mendengar suara dari dalam memintanya masuk.

"Oh? Mino. Ada apa?" Hongseok mengangkat kepalanya melihat Mino masuk, ia mengarahkan Mino untuk duduk di sofa yang ada di seberang mejanya.

"Hyung…" Mino memanggil Hongseok dengan raut wajah yang kebingungan.

"Ada apa, Mino? Kau ada masalah?" Hongseok berpindah dan sekarang duduk di hadapan Mino.

"Diagnosa apa yang bisa kau berikan jika itu menyangkut syaraf motorik?"

"Banyak. Jangan berpura-pura bodoh. Kau tahu tentang itu. Lebih spesifik lagi, gejalanya seperti apa?" Hongseok tersenyum kecil namun kembali serius untuk mendengarkan gejala yang akan diberikan Mino.

"Satu waktu tak bisa menggapai barang yang ada di dekatnya, tiba-tiba terjatuh tanpa sebab, menjatuhkan barang dipegangnya secara tiba-tiba, bahkan tidak mampu menggeser dan mengangkat gelas plastik berisi kurang dari setengah. Semua dilakukannya secara reflek." Mino menyebutkan semua gejalanya dengan detil.

Hongseok mulai berpikir tentang kemungkinan diagnose yang bisa dia berikan, "Bagaimana dengan skala kejadiannya? Sering atau hanya sekali-sekali?"

"Awalnya hanya sesekali tapi makin ke sini makin sering terjadi."

"Siapa?" Seperti sudah mendapatkan diagnose, kini Hongseok ingin tahu siapa yang mengalaminya.

"Eh? Ada diagnosa lain kan, hyung? Bukan yang 'itu'?" Tanya Mino.

"Siapa dia, Dong Mino? Siapa orang yang memiliki gejala itu? Kita harus bertindak cepat." Hongsoek tak menjawab pertanyaan Mino, ia lebih ingin tahu siapa pemilik gejala itu.

"Uri Aeri, uri Jung Aeri." Jawab Mino lemah.

"Jangan bercanda, Dong Mino." Hongseok berharap Mino salah menyebut nama tapi dari raut wajahnya yang serius, sepertinya ia tak salah mendengar.

"Aku harap aku sedang bercanda soal ini tapi—" ucapan Mino terputus membuat Hongseok terhenyak.

Tiba-tiba saja ia tak bisa berpikir jernih, dadanya mulai terasa penuh. Hongseok mencoba menenangkan dirinya, membuatnya tetap bisa berpikir jernih soal ini. Ia menatap Mino, "Bawa dia padaku, bukan sebagai adik tapi sebagai pasien yang memerlukan pertolongan."

"Cepat!" bentakan Hongseok membuat Mino terkejut dan segera berdiri. Mino berjalan keluar dan bergegas mencari Aeri.

Mino menemukan Aeri di nurse station sedang bercanda dengan beberapa perawat, ia menarik Aeri dan mengajaknya berbicara ke tempat lain. Awalnya sulit meminta Aeri menemui kakaknya dengan alasan ia tak mau diceramahi terus-terusan soal kesehatannya, tapi Mino tak punya pilihan lain. Ia menceritakan bahwa pertemuan mereka memang ada hubungannya dengan kesehatan Aeri. Akhirnya mereka berdua duduk di hadapan Hongseok –kakak Aeri-.

"Berbaring di ranjang itu, Aeri-ya."

"Kenapa? Aku baik-baik saja, Oppa. Aku makan tiga kali sehari, minum tonik kesehatan dan tidak minum alkohol juga melewatkan cemilan tidak sehat seperti perintahmu." Aeri menolak untuk berbaring di ranjang karena merasa tubuhnya sehat-sehat saja, apalagi sang kakak adalah dokter spesialis saraf bukan dokter spesialis penyakit dalam.

"Berbaring saja di ranjang itu, Jung Aeri. Ini perintah." Tegas Hongseok.

Meski dengan rengutan, Aeri tetap mengikuti perintah kakaknya untuk berbaring di ranjang. Hongseok berdiri dan mulai melakukan pemeriksaan luar pada Aeri.

"Sejak kapan kau mulai sering kehilangan keseimbangan?" tanya Hongseok sambil tetap melakukan pemeriksaan pada Aeri.

"Eh? Oppa tahu? Darimana?" tanya Aeri heran.

"Anak nakal. Jawab saja pertanyaanku itu."

"Beberapa minggu belakangan ini. Awalnya hanya sesekali tapi akhir-akhir ini aku lebih mudah terjatuh tanpa sebab. Aku pikir karena aku terlalu lelah tapi belakangan ini aku tidak terlalu sibuk. Ini cukup aneh kan, Oppa?" Tanya Aeri.

Hongseok tak menjawab. Ia menyelesaikan pemeriksaan terakhir lalu duduk di kursinya dan Aeri menyusul duduk di kursi yang berdampingan dengan kursi Mino. Mino menatap serius ke arah Hongseok, mencoba menggali jawaban yang bisa didapatnya. Hongseok yang paham hanya mengangguk samar, membuat Mino terhenyak.

"Apa diagnosamu untukku, Oppa?" tanya Aeri ringan.

"Spinocerebella Degeneration, Degeneratif Syaraf atau Ataxia." Hongseok menjawab dengan raut wajah datar.

"Jangan sembarangan dokter Jung Hongseok. Kau harus memberiku beberapa tes tambahan untuk mendapatkan akurasi diagnosa. Kau bisa kutuntut atas malpraktik!" Aeri tak tenang setelah mendengar diagnosa kakaknya. Ia mulai panik.

"Aku cuma kelelahan. Aku tahu dengan baik kondisi tubuhku." Sambungnya.

"Kau bukan 'cuma' kelelahan, Aeri. Ada hal lain yang lebih dari itu." Mino mulai angkat bicara.

"Kau tak memihakku?" Aeri terkejut mendengar ucapan Mino.

"Kau harus melakukan perawatan, sayang." Suara Mino melembut, ia menatap Aeri dengan tatapan memohon.

"Tidak mau!" tolak Aeri, ia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan Hongseok.

Mino menyusul Aeri, sementara Hongseok menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Mino menarik lengan Aeri untuk menahan laju langkah kekasihnya.

"Kita lakukan tes tambahan untuk mendapatkan diagnosa yang akurat, oke?" bujuk Mino.

"Aku baik-baik saja. Kenapa kau tidak percaya padaku?" Aeri melepaskan pegangan tangan Mino di lengannya dan kembali berjalan dengan cepat. Ia hanya ingin segera tiba di ruangannya namun mengapa ia tak juga sampai di ruangannya?

"Aeri-ya… Kita harus memastikannya." Mino menyamakan langkahnya dengan Aeri.

"Aku hanya kelelahan bukan Ataxia, Mino." Tolaknya lagi.

"Karena itulah, untuk mematahkan diagnosa Hongseok-hyung kau harus melakukan tes tambahan." Mino tak ingin kalah, ia sudah bertekad untuk membuat Aeri melakukan tes tambahan dan pengobatan apapun yang terjadi.

"DONG MINO!" Aeri berteriak namun tak

mengeluarkan suara sedikitpun. Kejadian ini membuat keduanya terkejut. Aeri menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mino menarik dan meminta Aeri untuk berteriak lagi tapi sekuat apapun teriakannya, tidak ada suara yang keluar.

"Aeri…" Mino mencoba menarik Aeri masuk ke dalam pelukannya tapi Aeri menepis tangan Mino, ia berbalik dan berlari meninggalkan Mino.

Di tengah pelariannya, Aeri pingsan karena terus mencoba mengeluarkan suaranya. Mino yang masih berdiri di tempatnya, segera berlari melihat wanitanya terkulai jatuh. Dirangkulnya tubuh Aeri, "Aeri-ya? Jung Aeri!"

Sejak kejadian itu, Aeri mulai mempercayai diagnosa kakaknya dan Mino. Ia mengikuti saran kedua orang terdekatnya untuk menjalani tes lanjutan dan hasilnya persis seperti yang diduga. Ataxia. Ataxia mampu membuat penderitanya tidak bisa mengendalikan kerja syaraf motorik termasuk syaraf motorik pita suara. Aeri dirawat secara intensif setelah hasil diagnosa keluar.

Spinocerebellar Degeneration adalah penyakit Degeneratif Syaraf atau biasa disebut Ataxia. Penyakit ini menyerang otak kecil dan tulang belakang yang menyebabkan gangguan pada syaraf motorik. Penderita akan kehilangan kendali terhadap syaraf-syaraf motoriknya secara bertahap dan semakin lama kondisi fisiknya akan semakin parah.

Banyak yang menduga kalau penyakit ini disebabkan oleh virus tapi kenyataannya Ataxia bisa terjadi karena keturunan atau mutasi gen. Siapapun memiliki kemungkinan untuk terkena Ataxia. Pengidap Ataxia tidak akan kehilangan kecerdasannya dan masih bisa mengerti akan keadaannya. Ataxia adalah penyakit yang teramat serius.

Keadaan paling berbahaya dari Ataxia adalah saat berhentinya kerja syaraf motorik secara tiba-tiba, sangat beresiko bagi pasien bila ia tertawa, menangis, minum dan makan bahkan bernapas. Pasien bisa saja tiba-tiba berhenti menghirup udara, yang dapat menyebabkan pasien meninggal jika tidak segera diberi pertolongan. Belum ada cara yang tepat untuk menyembuhkan Ataxia, karena rusaknya jaringan otak belakang dan syaraf tulang belakang. Ataxia adalah penyakit langka, tidak bisa disembuhkan dan belum ditemukan obatnya.

*            *           *

Rasa geramnya pada kejadian itu membuat laju mobilnya cepat. Mino bersama mobilnya tiba di parkiran rumah sakit milik keluarga Lee. Ia sengaja mengarahkan mobilnya ke sini untuk menemui Jinwoo. Mino bergegas menuju ruangan Jinwoo, tanpa mengetuk pintu Mino langsung masuk dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa empuk ruang Jinwoo.

"Izinkan aku tidur sebentar, hari ini melelahkan." Mino menaruh lengan kirinya tepat di atas matanya yang mulai terpejam.

Jinwoo sesaat memandang sahabatnya kemudian menaruh buku yang sebelumnya dibaca, ia berjalan mendekat ke Mino dan duduk di single sofa, "Apa terjadi sesuatu dengan Aeri?"

Mino tak menjawab pertanyaan Jinwoo namun pertanyaan Jinwoo membuat matanya terasa panas. Ia berusaha menyembunyikan air matanya dari Jinwoo tapi Jinwoo tak disebut psikiater tanpa alasan. Dengan cepat Jinwoo menyadari sesuatu terjadi dengan Aeri hingga Mino harus mengatur napasnya seringan mungkin agar tak ketahuan.

"Kau bisa tidur di sini selama yang kau mau. Aku akan melakukan visit, satu jam lagi aku kembali. Kau tak perlu menungguku jika—"

"Tangan Aeri mulai berhenti berfungsi, hyung." Suara Mino bergetar, ia masih mencoba menahan tangisannya dari Jinwoo.

Jinwoo kembali duduk, tubuhnya lemas mendengar ucapan Mino sesaat. Kemudian Jinwoo mengulurkan tangannya untuk menggenggam erat lengan Mino, ia tengah mencoba membuat Mino lebih tenang dengan memberikan kekuatan. Tak ada yang lebih dibutuhkan Mino selain keberadaan seseorang yang bisa memberikannya kekuatan untuk tetap hidup.

"Aku sudah mendatangi Jerman untuk mendapatkan pengetahuan terbaru tentang pengobatan Ataxia, ke Cina untuk pengobatan herbal yang bisa digunakan. Bahkan aku terbang ke Amerika dan Jepang untuk kembali mencari kemungkinan aku melewatkan sesuatu tentang Ataxia di sana. Ini tahun 2041 tapi pengobatan untuk Ataxia belum ditemukan. Tidakkah dunia tengah mengerjaiku, hyung?" Mino meracau tentang keadaannya saat ini. Ia kemudian bangun dan duduk menatap Jinwoo dengan mata yang sudah basah.

Jinwoo bisa melihat kekecewaan Mino pada keadaan yang tak berpihak padanya.

"Kenapa hanya Ataxia yang belum ditemukan cara penyembuhannya, hyung? Kenapa para ilmuwan di Jerman, Jepang bahkan Amerika belum menemukan cara penyembuhannya, hyung? Kenapa, hyung? Kenapa?" Mino merunduk dan kedua tangannya mencengkeram erat rambutnya. Ia bahkan berteriak karena tak bisa berbuat apa-apa.

"Aku tak bisa menangis di hadapannya, hyung. Ini terlalu pedih untuk ditangisi." Mino kembali menangis.

"Aku tidak bisa hidup tanpanya, hyung. Kau tahu itu. Aku tidak mau kehilangan dia." Tangisan Mino semakin menjadi. Jinwoo hanya bisa mendengarkan semua ucapan Mino tanpa berniat menimpali, setidaknya itu yang bisa dia lakukan saat ini.

Satu hal mulai terbukti, bahwa nyawa tidak bisa dibeli atau ditukar dengan limpahan kekayaan dan kekuasaan yang mereka miliki.

*            *            *

"Jagalah kesehatan sebelum kau merasakan sakit. Hargai kesehatan itu sebelum semuanya tak berharga lagi, karena tidak ada yang bisa dilakukan jika kau sedang sakit meski hartamu berlimpah. Sebab nyawa bukan benda yang bisa kau perjual-belikan." – Dong Mino

Bersambung ....