webnovel

prolog

Prolog (500 kata)

Sudah sebulan aku tidak berjumpa dengan Om Sakti. Tante Raya bilang beliau memang kerap menjalankan tugas rahasia selama beberapa waktu. Walaupun lelaki itu hanya bicara seperlunya saja di rumah ini, tetapi entah kenapa sekalinya bersuara aku selalu terpesona dengannya.

Dan di sinilah aku, menemani anak semata wayangnya mengerjakan tugas sebelum beristirahat. Beruntung selama tinggal di rumah ini aku mengikuti saran Om Sakti dan Tante Raya untuk kursus bahasa Inggris dan komputer. Jadi aku tidak bingung ketika Sintya menanyakan tugas yg diberikan oleh gurunya.

Malam semakin larut, alunan alami suara jangkrik nyaris membuat mataku terpejam seutuhnya sebelum sileut tubuh Om Sakti datang membayangi alam warasku.

Bergegas aku menuju kamarnya. Mencari aroma alami dirinya yg mungkin tertinggal sedikit. Ya, aku masih mengingat betul pesan lelaki yang mulai mengganggu pikiranku. Walaupun dia sedang tidak di rumah, kamarnya harus selalu dibersihkan dan siap pakai ketika dia kembali.

Kubuka lemari berukuran besar ini. Terlihat seragamnya menggantung begitu saja. Begitu juga deretan jaket kulit dan jeans berwarna gelap. Baju kausnya juga sudah kulipat rapi. Lancang memang membuka lemari tanpa izin yang punya. Namun, rasa rindu ini sepertinya telah menenggelamkan separuh akalku.

Kuraih baju yg selama sebulan ini tidak dikenakan pemiliknya. Bahkan mencuri dengar kabar darinya pun aku tak tahu harus kemana. Apakah Om Sakti baik-baik saja, apa tugasnya kali ini lebih berbahaya daripada kami bertemu pertama kali. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghirup wangi tubuhnya yang tertinggal di helai demi helai benang ini. Setidaknya ada rasa tenang yang menyusup ke dalam hati.

***

Waktu menunjukkan sudah pukul satu malam, tapi mataku enggan terpejam. Beruntung besok weekend jadi aku bisa sedikit santai mengerjakan pekerjaan rumah. Dan perutku sepertinya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Harus segera diisi.

Mi instan menjadi pilihanku untuk mengganjal perut. Entah mengapa bayangan Om Sakti muncul lagi tanpa permisi. Hingga tak sadar dua bungkus mi yang aku tuangkan ke dalam panci. Ah, bagaimana caraku menghabiskannya? Mana sudah aku campurkan telur dan sayuran lagi.

Segera kutuang mi ke dalam mangkuk ukuran besar dengan piring sebagai alasnya. Asap dengan aroma mengepul semakin membuat perut keroncongan.

"Astaga. Aku kira siapa tadi." Mangkuk mi hampir lepas dari tanganku ketika berbalik tiba-tiba Om Sakti sudah ada di belangku.

"Lain kali hati-hati." Om Sakti memegang tanganku mencegah mangkuk terpelanting ke tanah. Jantungku berpacu semakin keras.

"Kapan sampai, Om?" tanyaku hati-hati. Dia mengambil mi dan meletakkannya di atas meja.

"Baru saja. Om lapar, ini boleh om makan?"

"Bo-boleh, makan aja, Om," jawabku terbata-bata.

Tanpa diminta aku segera menyuguhkan kopi panas kesukannya. Sepertinya Om Sakti sangat lapar, tidak menunggu lama mi itu sudah bersih dari mangkuknya.

Entah mengapa tanganku spontan terulur membersihkan mulut lelaki yg usianya terpaut sangat jauh itu. Keberanian itu entah datang dari mana.

Spontan aku menutup mulut dengan kedua tangan. Berbalik arah hendak ke kamar karena malu. Akan tetapi baru selangkah tangannya menangkap bahuku. Tentu saja aku terpaku sambil mengigil ketakutan. Om Sakti membalikkan tubuhku yg berlawanan arah dengannya. Dan ... lelaki itu mengecup singkat bibirku, kemudian ia berlalu sambil membawa segelas kopi ke kamarnya begitu saja meninggalkanku yang masih mencerna tragedi ciuman sesaat.