webnovel

Pandangan Jauh nan Baru

Naomi tiba malam dirumahnya, ia tidak tidur sama sekali. Sibuk memastikan bahwa tidak ada satupun yang tertinggal. Sesekali ia menyeka air mata diujung matanya, bahkan beberapa kali ia menghela nafasnya dalam. Setelah memastikan bahwa semuanya rapi, Naomi melempar tubuhnya ke kasur. Ditatapnya langit langit kamar, sampai ia bosan.

"Kelak aku akan rindu tempat ini" Pikir Naomi.

Perasaannya jadi sering galau akhir akhir ini, terlebih permasalahannya dengan Rio beberapa waktu lalu. Terkadang ia sendiri merasa tidak yakin dengan keputusannya, tapi berulang kali ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak melepas kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi padanya.

Tidak banyak perlengkapan yang Naomi bawa, ia hanya tidak ingin menambah beban yang harus ia bawa diperjalanan. Matanya memicing tajam mengingat ingat lagi sesuatu yang mungkin ia lupakan.

Tinggg!

Ponselnya berbunyi, segera diraihnya ponsel yang berada jauh dari tempat ia berbaring. Ponsel berwarna biru dengan stiker wajahnya yang terpasang dibagian belakang, sejenak ia kemudian tersenyum kecil melihat pesan yang baru saja masuk.

"I Love You" Bacanya.

"Besok mau aku antar ke bandara? gak apa, aku izin kerja" Bacanya lagi.

Naomi menggelengkan kepalanya, dengan cepat ia membalas pesan Rio. "Ga perlu, kalau kamu anter nanti aku gak mau pergi" Ketiknya.

Dibalik pintu, diam diam sepasang mata sedang mengamati Naomi. Ia menatapi Naomi tapi tak berani datang untuk sekedar berbicara.

"Ayah belum tidur?" Tanya Naomi saat tersadar.

Laki laki berusia paruh baya itu hanya mengangguk, matanya bengkak seperti habis menangis. Perlahan ia menghampiri Naomi dan mengelus pundak perempuan itu.

"Hati hati disana" Ucap laki laki itu payau.

Hati Naomi seperti teriris saat mendengar ucapan itu, sekaligus hangat. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya mendengar ucapan itu keluar dari mulut ayahnya. Tapi malam ini, Naomi bisa merasakan kehawatiran yang dalam dari laki laki itu. Dan entah bagaimana, Naomi terus meyakinkan dirinya bahwa dia baik baik saja.

"Ayah disini nanti jangan macem macem ya, maaf Naomi pergi. Jaga kesehatan, kalau ada apa apa kabarin Naomi" Ucapnya.

Tangisnya pecah seketika, ia memeluk ayahnya dengan erat. Perasaan itu terus menerus menyerang Naomi, memberatkan niatnya.

"Kamu jaga diri, bagaimanapun nanti harus pulang. Hidup di negeri orang gak mudah Nao" Ucap ayahnya.

"Anak ayah, udah besar. Maafin ayah karena kamu harus terus kerja keras sampai ke negeri orang" Tambah laki laki itu.

Naomi mengangguk, sampai pelukan itu lepas dan ayahnya masuk kedalam kamar setelah mengelus lembut kepalanya. Naomi bukanlah perempuan yang lahir dari keluarga lengkap, sejak kecil ia sudah terbiasa hidup sendiri dan mandiri. Tapi bagaimanapun keadaannya, pergi jauh dari kedua orang tua tetaplah hal yang sulit.

Pertanyaan pertanyaan seperti, "Apa dia akan baik baik saja?"

"Apa hidupnya akan berjalan baik?"

"Apa aku masih punya waktu menemani masa tuanya setelah kembali?"

Atau, "Bagaimana jika ia pergi saat aku tidak ada disampingnya?"

Terus memutar dikepala Naomi, pertanyaan itu juga mengendap dikepalanya. Tak lama sejak Naomi melamun dan tertidur sejenak, alarm ponselnya berdering tanda ia harus bergegas.

Dibawanya semua tas untuk masuk kedalam mobil yang sudah ia sewa untuk mengantarnya ke bandara, saat itu Naomi hanya mengizinkan ayahnya untuk mengantar sampai depan rumah. Dan Naomi meninggalkannya dengan sebuah senyuman palsu. Senyuman yang telah dicampuri rasa sedih karena harus berpisah dari laki laki itu untuk beberapa waktu. Ada satu alasan kenapa ia tidak mengajak siapapun untuk mengantarnya sampai bandara, itu karena Naomi takut. Takut jika tiba tiba ia berubah pikiran dan menggagalkan semuanya.

*****

Sudah beberapa jam ia ada dipesawat, dan merasa bosan karena sudah hampir semua koleksi filmmnya ditonton sedangkan ia tak kunjung juga tiba. Sesekali Naomi tertidur, namun kemudian terbangun kembali karena pramugari melewatinya, atau karena beberapa orang lewat untuk ke toilet. Diputarnya musik dari ponsel miliknya, ia kemudian menatap jauh ke langit dari jendela kaca pesawat. Dan tersenyum kegirangan saat sadar bahwa ia akan tiba di Jepang.

"Aku datang, aku datang, aku datang" senandungnya didalam hati merasa senang.

Setibanya di bandara, ia mengikuti langkah orang lain karena tidak tau harus kemana. Meski sudah begitu fasih berbahasa Jepang, tentu akan berbeda jika ia berada disana langsung. Dia yang menjadi minoritas, dari sekumpulan orang orang yang memang sudah berasal dari sana.

"Naomi san, Naomi san" Teriak seseorang dari kejauhan.

Laki laki itu membawa papan nama dengan nama Naomi yang ditulis menggunakan huruf biasa, dengan tulisan "Indonesia" dibawah namanya.

Dengan cepat Naomi menyadari bahwa laki laki itu adalah orang yang diminta Naya untuk menjemputnya. Ya, Naya. Wakil perusahaan yang membantunya untuk mengurus segala keperluan Naomi hingga tiba disini.

"Saya Naomi" Ucap Naomi saat menghampiri laki laki itu.

Naomi mengikuti langkah laki laki itu, dimintanya Naomi untuk masuk kedalam mobil yang terparkir dengan rapi. Sepanjang jalan, ia tidak berbicara apapun. Naomi hanya memandangi kota itu dengan cermat. Ia merasa senang dengan hal hal yang baru ia lihat langsung, karena selama ini ia hanya melihatnya dari gambar gambar yang ia simpan.

Ia suka dan jatuh cinta untuk pertama kali. Ia cinta suasana disana, jalanannya, gedung gedungnya, pohon disana, keteraturan dan bahkan anak anak yang berlarian kesana kemari terasa lucu bagi Naomi.

"Disini ?" Tanya Naomi.

Laki laki itu mengganguk, Naomi dimintanya untuk turun dan pergi ke resepsionis. Ditatapnya gedung apartemen tinggi dipusat kota. Mulutnya tak bisa menutup saat tau bahwa apartemen itu terbilang apartemen mewah. Apartemen itu terletak dipusat kota, dan termasuk kedalam golongan apartemen dengan harga tinggi. Bukan orang orang biasa yang tinggal disana. Sebelumnya, naomi memang sudah diberitahu oleh Naya nama apartemen tempat ia tinggal. Namun ia tidak menyangka bahwa apartemen itu akan begitu mewah. Saat masuk kedalam, ia ditemani oleh seorang pelayan yang bersedia membawakan tasnya. Tanpa menunggu lama, Naomi langsung dibawa ke kamarnya saat ia menunjukkan email yang dikirimkan Naya sebelumnya.

"Lantai dua puluh satu" Pikir Naomi.

Itu adalah tanggal ulang tahun Naomi, dan ia sangat merasa kebetulan jika harus tinggal di apartemen yang berada di lantai tersebut. Setelah memastikan segala hal yang diperlukan Naomi, pelayan itu meninggalkan Naomi sendirian di apartemennya, apartemennya tidak begitu luas karena memang apartemen kelas terendah di gedung itu. Tapi meski dia ada di ruangan dengan kelas terendah, terkadang ia masih tidak percaya bahwa ia akan tinggal di apartemen yang mewah. Hanya ada satu kamar, satu toilet, dapur dan satu ruang keluarga yang dibatasi oleh kaca besar.

"Wah" Naomi kagum saat membuka gorden dari ruang keluarga. Ia dapat melihat kota terbentang luas dari sana.

Ruangannya sudah penuh dengan barang barang, seperti bahwa segala sesuatunya sudah disiapkan oleh Naya dengan sangat apik. Bahkan kulkasnya sudah penuh dengan bahan makanan sehingga Naomi tidak lagi perlu membeli makanan untuk beberapa hari. Naomi segera membereskan tas dan semua peralatan ke tempatnya, ia memang lelah tapi terlalu dini baginya untuk bermalas malasan. Esok, Naomi harus sudah mulai menjalani pelatihan selama seminggu sebelum benar benar bekerja.

Tinggg!

Sebuah pesan masuk kedalam ponsel Naomi, itu email dari Naya. Dalam pesan itu Naya menjelaskan apa yang harus ia lakukan dan apa yang harus ia siapkan besok. Setelah mencatat, Naomi membuat sebuah coklat hangat yang sudah tersedia di kulkasnya. Ia duduk diatas karpet, sembari menatap pemandangan kota yang terbentang luas dihadapannya. Tidak terasa hari sudah malam, dan yang tampak disana adalah gemerlap lampu yang terlihat seperti bintang dengan warna. Lautan bintang, yang memesonakan. Tak lupa ia memotret momen pertamanya di Jepang.

"Jauh, dan segala sesuatu yang baru" Gumam Naomi.