webnovel

Hubungan yang Tak Terdefinisikan

"Kamu bahagia ga sih selama sama aku?"

"Dulu, dulu aku bahagia. Tapi kamu berubah"

"Berubah?"

"Iya, berubah"

"......"

"Dulu kamu perhatian, ga suka aku begini, ga suka aku begitu, ga suka aku pakai ini, ga mau aku pakai itu, benci kalau ada yang deketin aku, tapi sekarang. Sekarang, kamu lebih seperti ga peduli"

"Aku peduli"

"Dulu aku punya kamu, gaboleh dimiliki sama orang lain. Tapi sekarang, kamu ngebiarin aku. Melepaskan perasaanku"

"Terus aku harus gimana?" 

"Entah karena jarak, perbedaan waktu, atau perasaan kita penyebabnya. Tapi aku rasa, akhir akhir ini rasanya hubungan kita sia sia"

"Kamu juga berubah"

"Iya, aku tau"

"Kenapa?"

"Dulu aku bisa marah, ga suka kalau kamu di deketin orang lain, ga mau kamu liat perempuan lain, bisa nangis semaleman karena kamu, tapi sekarang aku cuma bisa bingung" 

"Iya"

"Aku cuma bisa ngerasa bingung, meski tau kamu nginep berdua ke jogja sama Naya, atau berduaan di Lobi kemarin malam, aku cuma bisa bingung"

"Maksudnya?"

"Bingung karena aku rasa aku ngga cukup bisa bahagiain kamu, ngga layak sama kamu sedangkan ada orang lain yang bisa lakuin berbagai macam hal sama kamu yang aku ngga bisa lakuin"

"Nao"

"Mungkin perasaanku berubah"

"..."

"Aku selalu cinta kamu Ri, aku tau itu. Tapi rasa bodoh karena gabisa berbuat apa apa makin buat aku ngerasa bahwa cinta itu ga cukup"

"....."

"....."

"Maaf Nao"

"Ga apa, lebih baik kita sama sama jujur kan"

"Ada rasa kecewa yang dalam saat kamu lebih milih untuk pergi kesini daripada nikah sama aku, dan itu membuatku merasa mungkin kamu ragu. Sampai butuh waktu"

"....."

"Tapi semakin aku berpikir soal ini, aku semakin tau kalau bahkan aku ngga sepadan untuk dipilih dibanding semua yang kamu punya sekarang"

"....."

"Aku yang bodoh, terlalu egois untuk terus mempertahankan kamu disini"

"Aku juga"

"..."

"Kupikir, semua akan berlalu karena rasanya biasa aja. Tapi semakin aku memikirkan kebohongan kebohongan kamu yang kecil, aku semakin takut"

"Takut?"

"Takut kalau ternyata ada banyak hal hal kecil yang kamu sembunyikan dariku, takut menghadapi kenyataan kalau hal hal kecil ini yang akan membuatku kehilangan kamu. Tapi ternyata aku seegois itu"

"Hhm" 

"Aku yang memilih untuk pergi saat kamu justru mau hidup denganku, aku yang ngga ada saat ibumu meninggal, aku yang sibuk waktu kamu tersiksa beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru, aku yang sombong saat kamu sedang berusaha keras..aku Ri"

"....."

"....."

"Aku senang kita bicara"

"Ayo kita pikirin lagi masing masing soal hubungan kita"

"Apa hubungan ini layak untuk berlanjut atau enggak Nao"

"Kamu benar"

"Aku ga apa, asal kamu bisa bahagia dengan Naya ataupun orang lain. Bagiku, asal kamu senang meski bukan dengan ku"

"Aku juga"

********

Titttttttttttttttttttttttttttttttttttttt!

Suara monitor di rumah sakit terdengar panjang, para perawat dan seorang dokter perempuan berlari sekencang kencangnya. Perempuan itu menerobos pintu, dan dengan cepat para perawat menarik tirai ruangan agar tak ada yang dapat melihat.

Tangan laki laki itu gemetar saat tiba tiba melihat tubuh orang yang ia cintai terkulai lemas tak berdaya. Bahkan detak jantungnya ikut berhenti saat mendengar suara dari layar yang ada disamping ranjang. Ia mencoba tenang, namun air matanya terus berderai. Bahkan ia hanya bisa diam saat semua perawat dan dokter berlarian kearahnya sampai seorang perawat menariknya keluar ruangan.

"Enggak, enggak , enggak boleh" Teriaknya dengan suara gemetar.

"Enggak, gak boleh, kamu gaboleh pergi, tolong, tolong" Teriaknya lagi semakin kencang agar perempuan itu bisa mendengar.

Masih teringat dibenaknya, saat satu satunya perempuan yang ia cintai tersenyum kepadanya. Mencium kening, dan memeluknya. Ia masih ingat semua itu. Bahkan nafasnya sesak, ia masih tak bisa menerima kenyataan bahwa perempuan yang tak bisa diam itu kini harus terbaring diatas ranjang bahkan lebih dari tiga bulan.

Setiap hari laki laki itu memupuk harapan akan kesembuhan yang tak kunjung nampak. Keadaan perempuan itu masih sama seperti pertama kali dirawat dirumah sakit ini. Kepala yang dibalut perban bekas operasi, kaki dan tangan yang penuh dengan luka, dan wajah yang kini sudah putih memucat. Bahkan tubuh perempuan itu kian kurus dimakan waktu. 

Laki laki itu seperti tak lelah setiap hari menunggu, berbicara sendiri dengan perempuan yang bahkan tak memberikan jawaban apapun. Mungkin sebentar lagi, ia akan gila karena menebus rasa bersalahnya.

Kakinya terus digerakkan ke lantai tanpa henti, tangannya masih gemetar. Matanya tak lepas dari ruangan tempat perempuan itu terbaring lemah. Ia berharap, dokter dan perawat akan segera keluar dan memberinya kabar baik. Mulutnya terus bergerak memohon dan berdoa. Ia menggelengkan kepalanya setiap kali pikiran pikiran buruk itu menyerang, baru ia sadar setelah beberapa lama. Tak hanya ia yang khawatir disana. Ada banyak keluarga pasien lain yang duduk menunggu, menunggu kepastian agar dapat pulang bahagia atau menangis. 

"Gimana?" Tanya seorang laki laki paruh baya dengan nafas terengah engah karena berlari.

"Dokternya belum keluar" Jawab laki laki itu.

Keheningan kembali menyelinap diantara pikiran pikiran kacau mereka, hanya doa yang bisa mereka lakukan. Tubuh mereka lemas, seperti sudah tak lagi punya tenaga untuk menghadapi kenyataan. Mereka berdua pasrah dengan air mata yang berderai. Menunggu, dan menunggu.

"Pah, pah..bangun"

"Bisa bicara?"Ucap Dokter sesaat setelah keluar dari ruangan.

Kedua laki laki itu membuntuti dokter menuju ruangannya, mereka duduk tepat didepan meja dokter menunggu sang dokter membuka pembicaraan.

"Sudah hampir empat bulan, namun tak ada perkembangan" Ucap dokter tersebut.

"Sampai kapan kalian akan mempertahankannya? kini hidupnya hanya bisa ditopang dengan alat alat medis, dan hanya soal menunggu keajaiban" Lanjut dokter.

Laki laki itu mendongakkan kepalanya, menatap dokter tersebut dalam dalam. Matanya masih memerah, namun menampilkan rasa tak suka yang amat dalam.

"Saya mau dia dirawat sampai sadar" Ucap laki laki itu tegas.

"Apa kamu ngga merasa kasihan padanya?" Tanya dokter.

"Aku tau dia masih ingin hidup, dia hanya perlu waktu untuk sembuh"

"Kamu tau, lambat laun semua organ tubuhnya tidak akan berfungsi lagi, kita hanya tinggal menunggu itu semua terjadi. Apa kalian tak merasa kasihan karena justru itu membunuhnya pelan pelan, Dan jika ada keajaiban yang bisa membuatnya sadarkan diri, ia tak akan hidup normal seperti dulu" Jelas dokter.

"Enggak! Berapapun biayanya, saya akan membayarnya. Seberapa lamapun, saya akan menunggunya, selagi detak jantungnya masih berdetak meski sekecil apapun. Dia masih hidup" Teriak laki laki itu.

"Hanya demi keegoisan mu..."

"Enggak!" Teriak laki laki itu memotong ucapan dokter hingga membuat dokter itu menghela nafasnya.

"Dia sudah kembali stabil seperti semula, namun tak ada perkembangan signifikan dalam kesembuhannya"

 

Laki laki itu berdiri dari duduknya, ia kemudian pergi kearah pintu keluar sembari membantingnya. Ia menghela nafas lega saat melihat perempuan yang ia cintai masih disana, dengan wajah yang pucat namun masih terlihat cantik, ia senang, senang karena masih bisa menatap perempuannya, masih dapat menggenggam tangannya yang mulai mengecil.

"Aku tau, kamu akan sembuh" Gumamnya.

"Tolong jangan pergi, bertahanlah" Lirihnya lagi. 

Air matanya terus berderai, mengalir ke tangannya pelan. Kali ini ia benar benar merasa tertekan karena rasa cemasnya. Entah ia harus bagaimana kalau tiba tiba mesin pendeteksi detak jantung itu tak mau lagi memberikan garis naik turun. 

Sebuah tangan tua menyentuh pundaknya, lalu mengelus elus lembut.

"Lepaskan ya nak, kasian" ucap laki laki paruh baya itu.

"Aku belum siap kehilangan pak,rasanya baru kemarin aku liat dia senyum kearahku, rasanya baru kemarin aku ketemu dia, kenalan, dan jalan jalan. Rasanya baru kemarin pa...." Ucapnya terpotong tangis.