webnovel

Dalam Kegelapan Perasaan itu Terlihat Jelas

Tinggg!

Ponsel Naomi sudah berbunyi sejak pagi, hari ini hari libur. Aktivitasnya berubah drastis sejak Kubo mulai menjauhinya. Laki laki itu tak lagi datang hanya untuk sekedar sarapan atau menikmati makan malam bersama Naomi. Waktu yang mereka habiskan bersama juga kini hanya sekedar perihal pekerjaan. Sesekali Naomi ingin bertanya, namun perasaannya takut jika ia mengacaukan usaha Kubo untuk melupakannya. Ia ingin Kubo melupakan perasannya pada dirinya, dengan begitu ia akan begitu mudah melupakan semua yang pernah Kubo ucapkan padanya.

Ditatapinya langit langit kamar, sudah sejak lama ketakutannya pada ruangan yang sempit hilang. Ia lebih sering tidur dikamar, ketimbang disofa. Dan jam kerjanya mulai teratur karena ia sudah mulai terbiasa. Kamar itu harum bebungaan karena pengatur udara yang ia beli beberapa waktu lalu. Cahaya matahari mulai masuk melalui celah celah gorden, meski hari sudah hampir siang namun kamarnya masih gelap karena tertutup rapat. Ia menarik lagi selimutnya sampai dada, merasa kedinginan.

"Ih Apaan Sih" Gumam Naomi kesal karena ponselnya bergetar.

Kepalanya mengeleng beberapa kali saat menutup mata, karena ia bisa melihat jelas wajah Rio yang begitu dekat saat itu.

"Baru bangun" Ucap Naomi manja saat mengangkat panggilan video dari Rio.

Diujung sana, tubuh Rio juga masih dibalut selimut. Dengan wajah polos tanpa kacamata.

"Jelek" Ledek Naomi.

"Kok jelek"

"Hahahaha"

"Hari ini mau kemana?" Tanya Rio.

"Jalan jalan, kemana ya. Mungkin ke Kyoto" Jawabnya.

"Jangan lupa sarapan, makan yang banyak"

"Coba kamu kesini ya, nanti aku ajak jalan jalan terus" Ucap Naomi manja.

"Iya nanti, kalau aku udah punya cukup uang"

"Kapan?"

"Kapan kapan"

Naomi tersenyum, tak lama sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Mengganggu koneksi panggilan videonya.

"Udah dulu ya, ada telpon masuk. Takut dari kantor" Pamit Naomi.

Naomi menutup telpon videonya, dan mengangkat telpon masuk dari nomor yang tidak dikenal. Ia terdiam saat mendengar suara seseorang diujung telpon. Seseorang yang ia kenal. Tak lama setelah menutup telpon, Naomi berajak dari kasurnya dan bersiap untuk pergi keluar.

******

Di balkon Kyoto tower, Takai menikmati teh hangatnya. Sembari memandangi Kyoto dari ketinggian lebih dari seratus meter. Sudah sekitar setengah jam ia duduk menunggu seseorang. Matanya yang tajam mengamati setiap sudut Kyoto, menatapi orang yang berlalu lalang terlihat lebih kecil daripada semut. Lampu lampu jalan terus berubah warna seiring berjalannya waktu. Dengan suasana sore hari yang teduh.

Dari arah belakang, berdiri Naomi dengan rok yang panjanganya tiga perempat kaki dan kaos oblong serampangan miliknya. Tak lupa tote bag canvas berwarna putih kebanggaannya. Tulisan ditas miliknya begitu menjelaskan kepribadiannya sendiri "I'm Ambitious", rambutnya yang sudah panjang dibiarkan terurai berantakan.

Ia berjalan kearah Takai dan berhenti tepat disampingnya. Ikut menatapi Kyoto dari ketinggian. Sesekali ia berdecak kagum pada pemandangan Kyoto sore itu. Matahari sudah mulai turun, hari sudah mulai gelap. Namun Takai dan Naomi masih memandangi Kyoto sembari tak saling menyapa. Hanya keheningan yang menemani mereka selama beberapa jam duduk disana.

"Lagipula dia tak menyukaiku" Ucap Takai memecah keheningan.

"Pertunangan kami hanya sebatas formalitas publik, kerjasama dua perusahaan agar bisa saling menguntungkan" Tambahnya.

"Dan dia juga sama sekali tidak peduli pada perasaanku" Lanjutnya.

"Tapi meski begitu, aku harap kamu tidak akan merubahnya menjauh dariku" Takai menghela nafas.

Naomi menoleh kearah Takai, ia melihat perempuan itu, dengan mata yang menggenang dengan tangan yang sedikit gemetar. Bahkan diruangan yang gelap, Naomi bisa melihat raut wajahnya yang sedih. Perasaan yang nampak begitu jelas, akhirnya Naomi mengerti kenapa perempuan itu memintanya untuk bertemu dan berbicara secara langsung dengannya.

"Tipikal hubungan orang orang kaya. Aku dengar, kalian bersahabat sejak kecil" Ucap Naomi berhati hati.

Takai mengangguk, "Bagiku, dia lebih dari sahabat. Mungkin aku salah paham soal sikapnya padaku, tapi lebih dari itu dia adalah harapan kecil bagiku. Sebuah sinar kecil, didalam ruangan yang gelap. Hangat dan menenangkan" Lirihnya.

Ada setitik cahaya dimata Takai yang berbinar saat mendengar perempuan itu bercerita soal Kubo, meski Naomi tidak tau jelas tentang apa yang pernah terjadi diantara mereka, namun Naomi bisa mengerti perasaan yang besar milik Takai untuk Kubo. Disana juga, ia merasa begitu bersalah karena telah membuat Kubo salah paham pada sikapnya. Bertemu dengan Takai, membuatnya mengerti posisi Kubo saat ini.

"Meski menyukainya, aku tidak bisa mengatakannya" lanjut Takai.

"Aku selalu khawatir, hubungan kami akan berubah kalau aku benar benar mengatakan bahwa aku suka dia" Tambah Takai.

"Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku tidak bisa menyerah, tapi sepertinya dia tak begitu peduli"

Naomi tak tau harus bersikap apa, sampai akhirnya ia menghabiskan teh yang disajikan untuknya dan berpamitan. Sebelum pulang, ia hanya menoleh sekali.

"Kalau kamu menyukai dia, cukup katakan saja. Perihal persahabatan kalian yang akan jadi sama atau tidak, percayalah bahwa semuanya tidak akan lagi sama. Karena cinta, takkan bisa berdamai dengan hubungan persahabatan" Ucapnya saat itu.

*****

Naomi berjalan kaki menyusuri malam ramai di Kyoto, ia memutuskan untuk menikmati sebentar keramaian kota yang baru dilihatnya dari atas Kyoto tower sebelum kembali ke Tokyo dengan bus. Perempuan itu berhenti didepan halte bus yang akan membawanya pulang. Lalu ia mendengus lega sembari tertawa. Menertawakan kebodohannya sendiri.

Masih hangat dipikirannya raut wajah Takai saat itu, ia sendiri tidak mengerti bagaimana perasaannya. Terkadang ada sedikit perasaan yang terselip didalam dirinya seperti perasaan suka pada Kubo, atau perasaan sesak saat tau bahwa Takai benar benar menyukai Kubo. Ia sendiri tidak mengerti, sejenak pikirannya menjadi berkecamuk.

Memikirkan raut wajah Takai, perempuan itu terlihat begitu putus asa saat menceritakan hubungannya dengan Kubo. Bagi Naomi, meski mereka ada diruangan gelap, perasaan Takai pada Kubo begitu jelas dapat dilihatanya. Sebuah perasaan ingin memiliki, namun juga perasaan takut yang amat besar. Takai tak bisa berhenti berharap bahwa mungkin ada harapan kecil untuk memulai hubungan lebih dari sahabat, namun ia juga takut bahwa persahabatannya akan berakhir kalau kalau Kubo tak dapat menerima perasaannya. Perasaan yang sudah terajut begitu lama, dan semakin rumit dengan kehadiran Naomi didalamnya.

"Baiklah" Gumam Naomi.

Keputusannya malam ini sudah bulat, ia duduk dikursi bus sembari memejamkan matanya dan mencoba tidur. Perjalanan selama tujuh jam menantinya untuk sampai esok pagi di Tokyo. Pikirannya melayang layang memikirkan cara agar dapat menghindari Kubo dan menahan perasannya yang kecil agar semakin tak membesar. Ia tak ingin Kubo salah paham lebih besar padanya, dan menyebabkan hubunganya menjadi lebih rumit lagi.

*****

"Belum tidur?" Sapa Rio saat melihat Naya masih berdiri diroftop.

Rio menaruh gelas kopinya dimeja dan menyalakan rokoknya lalu kemudian ikut duduk disana.

"Masih ada projek yang harus diselesaikan, aku cuma lagi nyari angin segar" Jawab Naya.

Perasaan Naya sudah sedikit tenang setelah beberapa hari, ia sudah bisa kembali menjadi profesional dan bersikap biasa pada Rio. Mencoba terus melepaskan perasaanya pada Rio hanya akan mebuatnya semakin merasa sakit, hingga akhirnya ia hanya akan menyerah pada perasaannya dan membiarkannya mati sendirian dilubuk hati Naya yang paling dalam karena sikap dingin Rio padanya. Setiap kali ia bertemu dengan Rio, dan setiap kali perasaan sukanya kembali pada Rio. Ia akan cepat cepat membunuhnya dengan mengingat kembali apa yang pernah ia lihat di hotel beberapa waktu lalu.

"Naomi, apa kabarnya?" Tanya Naya.

"Hmmm, dia makin sibuk sekarang. Harusnya kamu lebih tau keadannya daripada aku. Dulu juga kamu ada diposisi itu" Jawab Rio.

"Tahun kedua memang sulit" Gumam Naya.

"Kamu terlihat begitu menyukainya" Ucap Naya pelan.

Rio mengangguk, ia tersenyum memandang jauh kedepan seperti seolah olah ada Naomi disana. Matanya berbinar, pipinya mulai memerah karena memikirkan Naomi.

"Naomi itu lucu, dia itu warna yang tidak bisa dideskripsikan" Ucap Rio.

"Warna?" Tanya Naya penasaran.

"Iya, dia terlihat begitu berbeda. Membawa warna baru yang tidak pernah kulihat sebelumnya, harapan, kebahagiaan, rasa senang, rasa kecewa, ambisi, senyuman, dan apa yang dia lakukan untukku. Dia merubah segalanya, merubah warna kehidupanku" jelas Rio.

Naya hanya bisa menatap wajah laki laki itu, ia bisa melihat wajah Rio dibawah bulan yang bersinar terang. Malam itu, entah kenapa meski berasa diruangan yang terbuka dada Naya begitu sesak. Ia melihat Rio yang berbeda dari biasanya. Ia melihat wajah Rio yang memancarkan kebahagiaannya. Bahkan hanya mengingat perempuan itu bisa membuat Rio merasa sebahagia itu.

"Kamu terdengar begitu menyukainya" Ucap Naya lagi.

"Perasaan suka pada Naomi tidak lagi bisa kudeskripsikan Nay, bukan lagi perasaan cinta, atau sekedar suka. Tapi sudah berubah menjadi sebuah perasaan yang menjadi bagian hidupmu. Kamu tidak bisa hidup tanpa perasaan itu"

Mata Rio masih memandang jauh kedepan, bahkan tanpa sadar Naya menitikkan air mata mendengar Rio mengatakan itu dihadapannya. Dengan cepat ia mengusap air matanya. Kepalanya terangkat keatas, dengan sekuat tenaga ia tetap berusaha untuk mengatur agar suaranya terdengar biasa saja.

"Aku harus masuk, masih ada yang perlu aku kerjakan" Pamit Naya.

Naya masuk kedalam kamarnya, ia membanting pintu dan duduk dengan kasar dikasur. Ia ingin melupakan raut wajah Rio yang baru saja dilihatnya. Raut wajah Rio yang mendeskripsikan dengan jelas perasaannya pada Naomi. Rasa cinta yang begitu dalam.