webnovel

##Bab 9 Arena Pacuan Kuda Pinggiran Kota

Aku mengangkat bibirku sambil menyipitkan mataku untuk menatapnya dengan sinis, "Candra, kamu melakukan terlalu banyak perbuatan jahat, apa kamu takut?"

Candra mengangkat tangannya lagi dan mengisap rokok, lalu dia terbatuk sebentar. Dia menderita faringitis dan tidak tahan dengan asap rokok.

"Aku hanya memikirkanmu, aku tidak ingin kamu hidup dengan tidak keruan seperti ini. Kalau kamu setuju, aku bisa memberimu 2 miliar, kamu tinggalkan kota ini dan pergi ke tempat di mana tidak ada yang mengenalmu."

"Hahaha ...."

Tiba-tiba aku terbahak-bahak, tapi karena masuk angin membuatku batuk dengan keras. Setelah batukku berhenti, aku mengangkat mataku. Aku melihat wajah Candra menjadi pucat, dia menatapku dengan ekspresi khawatir.

"Pikiranmu terlalu sederhana, Candra. Satu juta tidak ada apa-apanya untukku. Yang aku inginkan adalah reputasimu dan Stella hancur. Selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan kalian berdua hidup nyaman!"

Dalam pandanganku, tubuh gagah Candra sedikit gemetar. Matanya yang tampan menatapku dengan ekspresi kacau, ekspresi itu seperti tertekan.

Pada saat ini, Cindy berlari keluar, "Clara!"

Dia menatapku, lalu menatap Candra. Akhirnya dia datang untuk memapahku, kemudian dia memarahi Candra, "Candra, masih belum cukup kamu menyakiti Clara? Apalagi yang kamu inginkan? Dasar bajingan, pergi dari sini!"

Cindy selalu berbicara dengan suara lembut. Bahkan di hadapan sekelompok lelaki bertubuh besar dan kasar di tempat kerjanya atau masalah yang sulit dia hadapi pun, dia tetap berbicara dengan lembut. Hanya dalam urusanku, dia bisa kehilangan kendali.

Bibir Candra bergerak, tatapan dari bulu matanya yang panjang itu dipenuhi emosi yang sulit ditebak. Akhirnya dia tidak mengatakan apa pun, dia berbalik untuk membuka pintu mobil dan melangkah masuk.

Mobil sedan hitam mewah itu melaju pergi, tiba-tiba aku kehilangan semua kekuatanku dan menyandarkan tubuhku ke arah Cindy, aku sudah tidak bisa berdiri.

Cindy ketakutan, dia memanggil namaku sambil memapahku berjalan masuk ke lift dengan susah payah.

Aku terbaring lemah selama dua hari dan di hari ketiga, tubuhku akhirnya pulih.

Tepat ketika aku akan pergi bekerja, aku menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal, "Halo?"

Aku tidak tahu siapa yang menelepon. Setelah aku dibebaskan dari penjara, Cindy memberiku nomor ini. Hanya dia dan beberapa rekan perusahaan kurir yang tahu.

"Nona Clara, apa kabar?"

Suara rendah seorang lelaki dan sedikit mengejek terdengar di gendang telingaku.

"Siapa kamu?"

Saat aku mendengar suara yang familier ini, aku tidak dapat mengingat siapa itu.

"Nona Clara benar-benar orang yang pelupa," kata orang itu, "Kamu bahkan tidak ingat suaraku. Sepertinya Nona Clara tidak terlalu ingin membalas dendam."

"Kamu ...." Di benakku tiba-tiba mengingat sesuatu, bayangan seseorang tiba-tiba muncul di pikiranku.

"Satu jam kemudian kita bertemu di arena pacuan kuda pinggiran kota, Nona Clara."

Setelah selesai berbicara, dia menutup telepon.

Jantungku berdegup dengan kencang, bagaimana Tuan Muda Kelima bisa mengetahui nomor ponselku? Tahu namaku Clara, kenapa dia memintaku pergi ke arena kuda pinggiran kota?

Bukankah dia dan Candra berteman?

Aku ingat malam itu, tatapan mata Candra yang sedingin es di kamar suite Klub Pesona Malam.

Bagaimanapun juga, pergi ke arena pacuan kuda dulu. Aku buru-buru mengambil cuti satu hari lagi di perusahaan kurir dengan alasan aku masih sakit, kemudian aku segera membuka pintu lemari dan mengambil gaun putih polos. Pakaian ini adalah pakaian pertama yang aku beli setelah keluar dari penjara. Setelah berganti pakaian, aku tidak punya waktu untuk merias wajah, jadi aku pergi begitu saja ke arena pacuan kuda di pinggiran kota.

Aku pernah ke tempat ini sebelumnya. Hobi yang paling disukai Candra di waktu luangnya adalah menunggang kuda. Selain saat aku bekerja, waktu senggang dia selalu mengajakku. Dia juga yang mengajariku cara menunggang kuda.

Di pagi hari di akhir musim semi, langit berwarna biru dan rerumputan hijau di peternakan kuda terlihat sangat luas. Sosok tinggi dengan seragam berkuda datang dengan menunggang kuda.

Aku melihat wajah tampan orang yang datang, kedua alis terlihat arogan dan mendominasi, tatapan matanya yang tajam beberapa kali melirik wajahku dengan ekspresi main-main, "Apa kamu bisa menunggang kuda?" tanya lelaki itu.

"Bisa." jawabku, aku sangat gugup hingga telapak tanganku berkeringat. Tuan Muda Kelima memintaku datang ke arena kuda. Apa itu berarti dia mempertimbangkan apa yang aku katakan?

"Bawa dia berganti pakaian berkuda dan bawa seekor kuda ke sini," perintah Tuan Muda Kelima pada pelayan di sampingnya.

"Baik," jawab pelayan itu dengan hormat, lalu berjalan ke arahku, "Nona Clara, silakan."

Aku mengikuti pelayan dan berganti pakaian untuk berkuda. Kuda juga telah dibawa, aku menginjak sanggurdi dan menaiki kuda itu dengan mudah. Pakaian putih yang aku kenakan memperlihatkan tubuhku yang lurus dan ramping. Saat aku mengangkat kepala, aku melihat tatapan aneh di mata tajam Tuan Muda Kelima, dia seakan terkejut.

"Ayo mulai."

Tuan Muda Kelima memutar kudanya, sosok tinggi itu pergi lebih dulu, kemudian aku mengejar sosok itu dengan menunggangi seekor kuda.

Kecepatan kuda Tuan Muda Kelima tidak terlalu cepat, sepertinya dia sengaja mengalah padaku yang merupakan seorang wanita. Aku memukul kuda untuk mengikuti kuda Tuan Muda Kelima, lalu seseorang dengan pakaian putih dan celana putih datang menunggang kuda dengan seorang gadis kecil di dalam dekapannya.

Tuan Muda Kelima menghentikan kuda dan menyipitkan matanya. Aku juga menahan tali kuda dan berdiri berdampingan dengan Tuan Muda Kelima. Pria yang menunggang kuda itu tidak lain adalah Candra.

Dia tidak mengenakan pakaian khusus berkuda, hanya mengenakan kemeja putih kasual dan celana panjang putih yang terlihat sangat menawan. Dia melingkarkan satu lengannya di pinggang gadis kecil di lengannya dan satu tangan lagi memegang tali kuda. Dia memandang ke bawah dan berbicara dengan gadis kecil di dalam pelukannya, tatapan matanya yang tampan itu terlihat memancarkan perhatian pada gadis kecil itu.

Tiba-tiba aku teringat dengan anakku yang aku berikan pada orang lain begitu dia lahir. Dia tidak pernah mendapatkan perlindungan ayah kandungnya. Bahkan ayah kandungnya ingin dia mati. Aku ingat Candra yang tidak berperasaan terhadap darah dagingnya sendiri. Seketika, hatiku benar-benar sakit.

"Kebetulan sekali Tuan Candra juga membawa putrimu menunggang kuda."

Mata indah Tuan Muda Kelima yang seperti manik-manik kaca langsung tersenyum.

Candra baru menyadari kehadiran kami. Matanya beralih dari wajah Tuan Muda Kelima yang tampan ke wajahku, seolah-olah dia melihat ternyata aku sedang berkuda berdampingan dengan Lima Tuan Muda yang terkenal. Terlintas aura kegelapan dari matanya.

"Ayah, paman ini sangat tampan."

Gadis dalam pelukan Candra mengangkat wajah kecilnya. Pada saat itu aku melihat bahwa alis gadis itu semakin mirip Stella.

"Julia, panggil Paman Kelima."

Saat berbicara, tatapan Candra yang penuh emosi sudah menghilang. dia berbicara dengan Julia dengan sangat lembut.

"Halo, Paman Kelima."

Mulut Julia terdengar sangat manis, wajah kecilnya tersenyum seperti senyum polos Stella.

Tuan Muda Kelima juga menyunggingkan sudut bibirnya dan berkata dengan suara yang menyenangkan, "Hmm, halo Julia."

Tampaknya aura dingin di mataku membuat Candra merasakannya, matanya menatap ke wajahku lagi, tidak terbaca emosi dalam pandangan itu. Dia hanya menatapku seperti itu.