Selesai pengajian, seluruh warga sekolah melakukan aktivitas semula. Murid-murid pun kembali ke kelasnya masing-masing, kecuali WRFams yang lebih memilih melangkahkan kaki ke arah kantin.
Ternyata, bukan hanya WRFams saja, namun anak-anak dari kelas lain juga ada disana. Anak-anak bandel yang suka bolos pelajaran, kabur dari guru yang tidak disukanya mengajar atau sekedar bersantai karena bosan. Bagi murid yang merasakan hal tersebut, kantin lah tempat yang tepat untuk pelampiasan.
"Bude, nih uangnya. Saya tadi ambil dua gorengan ya," kata salah satu murid disana.
"Iya, makasih ya," balas Bude.
"Eeh, apaan lo bayar segitu doang," tegur Denis. "Lo tadi makan gorengan tiga kan? Masa bayarnya cuma dua? Mentang-mentang tadi rame.
Siswa itu hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil cengengesan. Detik kemudian, murid tersebut merogoh kantong celananya tadi untuk mengambil uang dua ribuan dan membayar lagi sambil meminta maaf.
"Gimana persiapan ntar?" tanya salah satu murid dari jurusan tehnik.
"Iya nih, semakin hari waktunya semakin dekat," sambung yang lain.
"Kita pasti menang kan lot?"
"Santai aja, gue udah diskusiin sama anak kelas duabelas yang lagi PKL. Ada anak kelas sebelas juga yang bakal pimpin pasukan dan punya strategi hebat. Gue jamin kemenangan aa di tangan kita," jawab Denis.
"Mantap tuh lot." Aldi menunjukkan ibu jarinya.
"Tapi kita harus hati-hati juga. Karena setiap tahun kejadiannya selalu sama, pasti wilayah itu akan dijaga ketat oleh polisi," sambung Angga. "Pokoknya jangan sampai salah satu dari kita tertangkap."
"SETUJU!" seru semuanya.
"Setuju, setuju, apanya yang setuju?" tanya Pak Rustana yang notabenya adalah guru Kesiswaan. Bukan hanya itu, beliau juga mengajar pelajaran IPS di kelas AP, entah dikelas lain. Namun, bukan saatnya membahas hal tersebut. Semua murid yang nongkrong di kantin berwajah pucat, pasalnya guru yang ada dihadapan mereka termasuk guru yang tegas.
Akhirnya karena pembicaraan mereka tentang penyerangan itu ketahuan, mereka digiring ke lapangan.
Semuanya diminta berbaris rapih dengan tubuh tegak menghadap ke arah tiang bendera. Dari arah timur, panasnya matahari terasa membakar punggung mereka.
"Semuanya, HORMAAAT GRAK!" seru Pak Rustana.
Semuanya pun merubah posisi tegaknya menjadi hormat. Hukuman seperti ini biasa terjadi, bahkan lebih parah. Bukan hanya dari Pak Rustana, namun juga guru-guru lainnya. Tahun 2012, kala itu tujuan melakukan hukuman militer terhadap murid yang bersalah adalah tindakan yang tegas. Bertujuan melatih fisik dan mental murid karena kehidupan yang sesungguhnya akan terjadi saat mereka lulus dari sekolah ini.
Dan ketika kelulusan terjadi, Guru tidak bisa member apa-apa kecuali bekal ilmu untuk kesuksesan muridnya.
Pelajaran pertama dikosongkan karena ada rapat antar guru. Mungkin satu do'a yang terselip oleh siswa yang tidak senang belajar di habis sholatnya adalah "Semoga ada rapat guru." atau "Semoga gurunya gak masuk." yang paling parah "Semoga gurunya AIDS.". Wow, sungguh mulia sekalo do'a mereka. Tapi, yang dimaksud mereka AIDS itu adalah Alfa, Ijin dan DinaS ke luar kota. Jadi jangan salah paham dulu yaaa...
Kayaknya gak usah dijelasin ya bagaimana ributnya kelas paling pojok ini kalau tidak ada guru. Kalian pasti sudah tahu bagaimana berantakannya kelas ini. Namun hari ini berbeda, WRfams tidak ada.
"Woy, Woy lihat tuh WRfams lagi ngejemur," teriak Robby.
Karena penasaran, Khafi menghampiri Robby untuk melihat objek yang dilihatnya. "Bego, itu mereka dijemur bukan ngejemur."
"Sama aja lah."
Bukan hanya Khafi, murid yang lainnya yang penasaran juga berbondong-bondong keluar kelas melihat kejadian yang sakral tersebut termasuk Lia dan Nia. Meskipun WRfams angat sering dihukum oleh para guru, mereka datang hanya untuk mengejek teman sekelasnya itu.
"Iya tuh Pak, si Bolot nakal hukum aja Pak!" seru Deva.
"Lot, Lot, nambah item lo dijemur begitu!"
"Hahahahha...."
Parah ya, temannya dihukum kok malah diledekin. Mungkin ini yang namanya tertawa diatas penderitaan orang lain.
Dasar, ada-ada saja kelakan kelas paling pojok itu.
Satu jam berlalu, Pak Rustana keluar dari ruang Kesiswaan dan berjalan menuju lapangan upacara. Disana para murid yang dihukumnya masih berdiri tegak sambil hormat kepada sang Saka.
"Sudah, kalian boleh ke kelas," kata pria itu.
Anak-anak yang dihukum itu menghela nafas lega dan menurunkan tangannya. Satu jam hormat bendera dengan matahari yang sudah sedikit naik ke atas langit membuat mereka dehidrasi.
"Eit tunggu," tahan Pak Rustana ketika mereka hendak meninggalkan lapangan.
"Kenapa Pak?" tanya seorang dari mereka.
"Nih.—Pak Rustana mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan—"Kalian pasti haus kan. Ini buat beli minum. Ingat ya habis beli minum langsung ke kelas."
"Makasih ya Pak," ucap semuanya kemudian menyalimi punggung tangan pria itu.
Pak Rustana memang orang yang tegas, namun kebaikan hatinya membuat siapa pun menghormati beliau. Memberikan pelajaran sesuai dengan porsinya dan tidak berlebihan. Hukuman yan diberikannya pun untuk kebaikan mereka.
Satu jam pelajar sudah terlewatkan, jam pelajaran kedua adalah pelajaran Kewirausahaan. Dalam kelas perikanan ini Kewirausahaan sangat berpengaruh. Karena selain kita mengembang biakkan ikan, mereka juga harus tahu bagaimana cara mendistribusikannya.
Maaf ya teman-teman penulis lupa lupa ingat nama gurunya, soalnya sewaktu naik kelas sebelas beliau pensiun.
Jadi, kita sebut saja beliau Pak Seno ya...
Pak Seno datang dalam posisi semua murid berada di luar kelas, pria yang rambutnya sudah memutih itu hanya bisa menggeleng kepala mengajar di kelas ini. Melihat Pak Seno datang Sandy selaku ketua kelas menggiring teman-temannya masuk kelas. Kadang ia tidak sanggup mengatur kelas yang isinya seperti bebek ini. Berisik, susah diatur, namun kompak. Pernah sekali mereka bolos pelajaran bersama-sama. Akhirnya satu kelas kena hukuman.
Dimejanya, Pak Seno mengeluarkan sesuatu dari totebag yang dibawanya. Yaitu beberapa kopi bubuk dan cokelat.
Melihat itu, tentu saja anak-anak merasa heran. Yang dipikirkan Lia dan Nia, hari ini jauh dari hari valentine, kenapa bisa ada cokelat disana? Sementara yang ada di pikiran anak laki-laki adalah Pak Seno akan mengajak mereka untuk ngopi bareng.
"Hari ini kita belajar praktek," kata Pak Seno.
Tak lama seseorang menetuk pintu kelas. Lima murid bandel dikelas ini baru kembali setela membeli minum dari uang yang diberikan Pak Rustana. Meskipun sudah diamanatkan untuk langsung ke kelas oleh beliau, tetap saja Genk itu nongkrong dulu di suatu tempat. Pokoknya sebelum ada informasi guru sudah masuk kelas, mereka gak akan bergerak dari tempatnya bermalas-malasan.
Kelimanya masuk dan menyalimi punggung tangan Pak Seno.
"Wah ada kopi nih, kita mau ngopi ya Pak?" sompral Aldi.
Denis menoyor kepala Aldi sambil berkata, "Pale lo mau ngopi. Tapi rokoknya ada kan Pak? Hehehe..."
"Bego lo berdua, ngomong begitu sama guru," omel Angga dengan suara pelan.
"Duduk," perintah Pak Seno. Diumurnya yang sudah tua, kalau meladeni murid yang seperti ini darahnya bisa naik.
Setelah semuanya duduk Pak Seno kembali menjelaskan.
"Praktek kali ini sangat mempengauhi nilai kalian. Jadi, jangan ada yang macam-macam dengan praktek ini," ucap Pak Sino seolah-olah mengancam murid-muridnya. "Ini adalah praktek yang sangat paling dominan dalam pelajaran kewirausahaan. Mengerti?"
"Mengerti Paaak..."
"Jadi, prakteknya apa Pak?" tanya Renaldi.
"Kalian harus beli salah satu dari produk yang ada di meja saya ini. Yang satu kopi yang satu cokelat. Mungkin yang laki-laki bisa membeli kopi dan yang perempuan membeli cokelat," jelasnya.
Saat itu yang ada dipikiran sekelas adalah ini lagi ngajar kok malah jualan?
Pak Seno tersenyum seperti tahu apa yang ada di pikiran anak muridnya. Kemudian pria itu berkata, "Praktek ini bertujuan untuk mengasah strategi pemasaran kalian. Dalam berwira usaha, tentu saja kalian butuh modal untuk membuka usaha, kemudian kalian membutuhkan produk. Setelah itu kalian harus mencari cara untuk mendistribusikannya."
Ya, mau tidak mau mereka harus menurutinya karena ini sebagian dari KBM.
Entah kenapa hari Sabtu berbeda dengan hari yang lain, suasana begitu santai dan sejuk di pagi hari. Pikiran pun tidak semumet di hari-hari sebelumnya. Entah karena besok minggu atau pelajaran yang tak sepadat kemarin.
Minggu ini yang senam adalah kelas sebelas. Semua berbaris dilapangan menunggu Pak Nuridin memimpin kegiatan senam pagi ini. Sejak tahun ajaran baru, kelas duabelas belum menampakkan diri lantaran kegiatan kerja di lapangan yang menuntuk mereka untuk bekerja meskipun masih berstatus pelajar. Hal ini termasuk dalam kurikulum di sekolah kejuruan, juga salah satu syarat kelulusan.
Lalu, apa yang dilakukan anak kelas sepuluh?
Tentu saja jam kosong.
Tak ingin menyia-nyiakannya, seluruh siswa yang berstatus kelas sepuluh pun memanfaatkan waktu kosong mereka. Ada yang ke kantin, ada yang mengerjakan PR, ada yang berkelompok dan ngegibah, tak lupa ada yang merusuh di kelas.
Di kelas paling pojok itu, Fajar memilih untuk mendengarkan music lewat earphone-nya dan merebahkan kepalanya di meja. Sementara dibelakangnya, Jonnatan dan Herman melanjutkan tugas kelompok Biologi mereka. Ngomong-ngomong soal tugas Biologi, Nia dan Lia sudah mengerjakannya. Mereka menggarap tugas tersebut secepatnya karena benar kata Nia, 'Kalau ada tugas cepetan selesaiin meskipun dikumpulinnya masih lama, kalau udah selesai kan enak tinggal santai.' Begitulah.
Di kursi belakang pintu, Aidil focus dengan ponselnya.
Entah kenapa laki-laki itu jarang sekali keluar kelas kalau bukan waktunya pulang atau pindah kelas. Meskipun jarang kelihatan di luar kelas, kalau upacara, anak-anak cewek dari jurusan lain sangat senang dengannya. Bahkan ada yang sampai meneriakkan namanya.
Nia menghela nafasnya, spidol papan tulisnya baru saja dikembalikan oleh Latief dalam keadaan habis. Ini yang paling tidak disenangi oleh perempuan itu, katanya pinjam sebentar gak tahunya sudah habis baru di balikin. Untungnya saja pelajaran pertama adalah pelajaran Pak Hadi, guruAgama. Karena beliau mengajar dengan proyektor. Jadi, Spidol tidak diperlukan.
Di jam kosong ini, Lia main ke kelas lain. Gadis itu banyak kelanannya, cowok maupun cewek. Lia termasuk gadis popular sih disekolah.
Entah apa yang Nia lakukan di kelas, Denis menghampirinya.
"Ni, lo tugas Biologi udah belum?" tanya denis.
"Udah," jawab Nia.
"Lo mau gak buatin buat kita-kita?"
Nia hanya menatap laki-laki itu dengan tatapan bingung.
"Nih, gue bayar deh."—Denis menyodorkan uang sepuluh ribuan—"Tolong lah Ni, gue gak ngerti cara bikinnya."
"Tapi ntar lo harus presentasi loh, kalo gak menguasai materinya gimana?"
"Udah itu mah gampang. Yang penting bikini dulu."
Setelah dibujuk-bujuk akhirnya Nia menyetujui. Gadis itu menerima uang sepuluh ribu dari Denis sebagai bayaran mengerjakan tugas.
Pelajaran olah raga gak jauh-jauh dari main bola. Dari awal masuk hingga detik ini materi yang dipelajari Bolaaa... terus. Selesai senam, Pak Nuridin langsung kelapangan untuk mengajar kelas Perikanan olahraga. Salut ya, padahal masih keringetan karena memimpin kelas, namun beliau masih semangat mengajar.
"Semuanya, baris sini," perintah Pak Nuridin saat murid-muridnya datang.
Mereka pun berbaris di tempat yang pria itu tunjuk. Di sebuah lapangan Futsal yang digabung dengan Basket. Di sekolah Pertanian ini ada dua lapangan, yang satu digunakan untuk Futsal atau Basket yang satu digunakan untuk Volley.
Pak Nuridin sempat menghitung siswa yang baris di depannya. Pria itu heran, dari 37 siswa kenapa hanya ada 27 siswa?
"Semuanya, duduk ditempat. Kita absen dulu."
Mendengar itu semua murid yang berbaris langsung mengambil posisi duduk mereka.
"Aldi Saputra?"
Tidak ada yang angkat tangan.
"Aldi Saputra gak ada?" tanya Pak Nuridin yang dijawab dengan gelengan oleh anak muridnya.
Pak Nuridin menghela nafas panjang. Baru absen pertama orangnya udah gak ada.
"Alex Budi Setiawan?" lanjut pria itu.
Sama. Tidak ada yang mengangkat tangan.
"Alex juga gak ada???" seluruh siswa menggeleng.
"Andriyansyah? Angga Irwansyah? Angga Suryawinata?"
Lagi-lagi tidak ada yang menunjuk tangan. Benar-benar kelas ini lima absen pertama buku Absennya bersih dari tanda centang.
Tak lama, datang sepuluh murid yang langsung menyalimi guru olahraga tersebut. Ya, siapa lagi kalau bukan WRfams dan anak-anak lainnya. Di sisi lapangan itu ada kelas yang membelakangi lapangan, di depan kelas tersebut adalah kantin. Pak Nuridin tahu darimana anak-anak ini datang.
Sehabis istirahat, Sandy dan Fuad datang dengan beberapa kertas di tangannya.
Ternyata, sekolah mengadakan sebuah konten untuk muridnya yaitu 'GURU TERBAIK dan TERBURUK'. Kertas yang di pegang sandy cukup untuk satu kelas, dimana mereka semua wajib untuk mengisi beberapa pertanyaan pada kertas tersebut.
Yang harus mereka lakukan pada kertas tersebut adalah murid yang bersangkutan harus memberikan satu nama guru yang mengajar mereka sebagai Guru terbaik, Guru terheboh, guru terkocak, guru terbawel, hingga guru terburuk. Hal ini membuat seluruh siswa bingung, masalahnya apa yang mereka tulis bisa berdampak dengan mood guru yang bersangkutan.
Setelah Sandy dan Fuad membagikan kertas tersebut, detik itu juga mereka mengisinya.
"Li, lo udah ngisi?" tanya Nia pada Lia.
"Tinggal satu lagi nih," jawab Lia.
"Coba Liat," pinta Nia mengambil lembaran milik Lia untuk melihatnya. Sama dengan punyanya, tinggal kategori guru terbaik dan terburuk lah yang belum diisi.
"Weh kita kompakin aja ngisinya," kata Sandy member saran.
Iya, benar. Saran tersebut diterima dengan baik oleh teman-teman sekelasnya. Ada yang bilang STM itu terkenal dengan solidaritasnya, satu merasakan semua merasakan. Jadi, mereka akan kompak mencantumkan satu nama dalam kategori guru terbaik dan ter buruk.
"Guru yang terbaik Bu Adida aja."
Saran yang lain ingga mereka setuju Bu Adidalah Guru terbaik versi X AP.
"Guru terburuknya Pak Husein aja."
Sebagian tertawa medengar salah satu dari mereka menyebut nama Pak Husein. Pasalnya, memang benar, bagi kelas itu guru tersebut memiliki cara mengajar yang kurang efisien. Maaf ya Pak Huseeein! >.<
Setelah sepakat, mereka pun mengisi pertanyaan di kertas itu dengan jawaban yang sama. Kemudian di kumpulkan ke Sandy.