Setiba nya di rumah, Zoe mendapati Tifani dan Alvin yang ternyata sudah ada di rumah nya, Nyonya Dila memang orang yang baik dan sangat di siplin, namun saat bicara kadang beliau suka lepas kontrol. Zoe yang baru datang langsung di serbu dengan banyak nya protes, rumah yang berantakan lah, baju kerja Dave yang belum sempat dicuci lah, dapur yang berantakan dan sebagainya.
Saat seperti itu, Zoe hanya bisa terdiam, meski pun di dalam hati kadang dia merasa kesal, tapi dia berusaha memahami wanita paruh baya itu, mungkin saja beliau lelah karena telah mengurus Tifani dan Alvin seharian ini.
Zoe memang tidak suka banyak bicara, tidak suka mengajukan penyanggahan penyangkalan, ataupun pembenaran diri. Dia tidak ingin wanita paruh baya itu akan semakin menyudut kan nya. Zoe hanya berpikir, tentang kebaikan nyonya Dila yang telah banyak membantu nya, jadi dia tak terlalu mengambil hati omongan ibu mertuanya itu.
"Kau darimana saja, kenapa lama sekali?" Tanya nya dengan nada lebih lembut saat semua kekesalannya sudah mulai mereda.
"Seperti yang ibu lihat, aku belanja bulanan." Zoe menunjuk ke arah belanjaannya yang tidak sedikit yang baru saja dia letakkan di sudut ruangan.
"Kau tahu, daritadi Tifani terus saja rewel menanyakan dirimu, aku sampai pusing di buat nya." Ternyata benar dugaan Zoe, wanita paruh baya itu di buat kesal oleh anak pertamanya yang memang super aktif. "Dia memanjat lemari, apapun di panjat nya. Mengerikan sekali anak itu." Keluh Nyonya Dila lagi.
Zoe hanya diam mendengarkan, dia tak ingin terlalu jauh menanggapi, tangannya pura-pura sibuk membereskan barang belanjaan,memindahkan barang-barang dari kantong ke dalam lemari gantung yang ada di dapur.
"Rumah mu ini harus sering-sering di bersih kan, coba lihat, tadi Alvin hampir saja memakan kotoran, astaga...." Padahal Zoe sejak tadi memilih diam, namun wanita paruh baya itu belum juga ingin berhenti mengomel.
Zoe jadi teringat akan Dave yang kadang begitu cerewet. Mungkin sifat itu menurun dari ibunya. Tak banyak yang bisa Zoe lakukan, untuk mengalihkan kekesalan wanita paruh baya itu, Zoe berinisiatif membuat kan wanita itu minuman teh hangat agar emosinya sedikit mereda. Zoe benar-benar sudah tidak tahan dengan ocehannya.
Tling... Tling....
Terdengar ponsel berdering, nyonya Dila langsung memeriksa tas nya yang tergeletak di meja ruang tamu. Dan segera mengangkat panggilan teleponnya.
"Halo...." ujar nya pada seseorang yang ada di seberang sana. "Ya... Sebentar lagi aku pulang." Lanjut nya dan setelahnya mematikan ponsel nya.
"Zoe, ibu mau pulang, ayah mu di tinggal sebentar saja tidak bisa, merepotkan sekali."
Diam-diam Zoe merasa lega saat ibu mertuanya itu bicara demikian, akhirnya dirinya bisa juga terbebas dari banyak nya rentetan protes yang membuat hati dan kuping nya panas.
"Iya... Bu, hati-hati di jalan, terimakasih sudah sudi mejaga Tifani dan Alvin tadi." Zoe mengantar nyonya Dila hingga ke depan pintu utama.
"Ingat, kau harus sering-sering membersihkan rumah, perhatikan juga makanan anak-anak mu dan suami mu, jangan suka membeli makanan langsung jadi, itu tidak bagus untuk kesehatan. Kau ini harus bisa jadi istri dan ibu yang baik."
Zoe hanya bisa tersenyum kecut, mungkin niat nyonya Dila baik, tapi tetap saja Zoe kadang merasa tertekan, dia seolah tak bisa bebas melakukan apa yang dia mau. Kenapa semua-mua harus tentang Dave, harus dirinya yang selalu di tuntut untuk menjadi sempurna, sedangkan pria itu? Ah... Entahlah, Zoe tidak ingin lanjut memikirkannya.
"Iya... Bu, Zoe akan berusaha," sahut Zoe agar wanita paruh baya itu bisa merasa sedikit tenang dan berhenti mencerewetinya. Zoe lelah, ia ingin segera beristirahat. Persetan dengan rumah yang berantakan. Pikir nya.
Nyonya Dila pulang dengan mobil pribadinya yang di kendarai oleh sopir, wanita itu duduk di belakang dan melambaikan tangan pada Zoe. Zoe memasang senyum sampai wanita paruh baya itu menghilang dari hadapannya. Baru setelah nya ia dapat menghela napas lega.
Zoe kembali masuk ke dalam, dan mendapati Tifani sedang menjahili Alvin yang sedang duduk tenang di dalam kereta dorong nya. Gadis kecil itu mencubit pipi adik nya hingga membuatnya menangis.
"Tifani, apa yang kau lakukan pada adik mu? Astaga...." Zoe buru-buru mengangkat tubuh mungil Alvin dan mendekap nya dalam pelukannya, berharap tangis nya akan segera mereda.
Setiap hari Zoe sudah sangat kelelahan mengurus dua balita sekaligus, namun masih saja terlihat salah di mata ibu mertuanya juga suaminya. Tak ada yang mau mengerti kepayahan yang ia rasakan. Bagaimana dia bisa memasak jika mengurus dua bayi begitu merepot kan. Bagaimana bisa ia menjaga rumah agar tetap bersih, sedang kan mengurus dirinya sendiri ia kadang kewalahan. Bahkan ia sendiri sampai jarang mandi. Zoe sampai lupa merawat diri nya sendiri.
Dave memang tidak pernah protes dengan apa yang Zoe lakukan, tentang membeli makanan jadi daripada memasak, tapi pria itu kadang protes tentang keadaan rumah yang kotor. Dan yang paling menyakit kan lagi adalah, pria itu menuduh Zoe adalah seorang wanita pemalas, kemudian membanding-banding kannya dengan ibu nya yang sangat rajin dan bersih.
Zoe lelah berdebat, kadang ia memilih untuk banyak diam, percuma saja memberi penjelasan jika terus saja di salah kan.
"Tifani, kau ingin apa? Kenapa kau nakal pada adik mu?" Zeo berusaha bicara dengan nada lembut pada putri kecil nya itu. Meski tubuh dan batin nya sudah sangat kelelahan, dan butuh istirahat.
Tifani hanya diam saja, anak pertamanya memang lebih pendiam sama sepertinya, Tifani sepertinya punya kesulitan untuk mengekspresikan keinginannya. Zoe kadang takut, kalo sifat bipolar nya itu akan menular pada putrinya.
"Ya sudah, Kakak Tifani jangan nakal lagi ya sama adik Alvin, kan kasihan adik Alvin jadi menangis." Bujuk Zoe lagi. Tak di sangka mata gadis kecil di hadapannya itu malah berkaca-kaca. Ya... Meskipun Tifani terlihat galak dan dingin di luar, tapi Zoe tahu, kalau hati Tifani begitu lembut dan gampang tersentuh, persis seperti dirinya. Jadi tidak perlu di marahi atau di bentak, cukup di beri pengertian dengan kelembutan, pasti dengan sendirinya hatinya akan meleleh.
Zoe kadang berpikir, kapan ya? Ada seseorang yang bisa memahaminya, seperti dirinya yang selalu berusaha memahami orang lain, memahami nyonya Dila mertuanya, memahami suaminya meski dirinya membencinya. Memahami orang-orang di sekitar nya. Namun Zoe merasa tak pernah ada satu orang pun yang bisa memahaminya. Bahwa selama ini, ia begitu merasa kesepian. Suatu hari, dia ingin bertemu dengan seseorang yang pada akhirnya bisa mengisi sela-sela ruang kosong di hatinya. Namun entah kapan.
Zoe hanya bisa berharap, sampai saat nya tiba.
Zoe membimbing Tifani dan Alvin masuk ke dalam kamar, mengajak mereka berdua untuk tidur bersama. Karena dirinya juga sudah sangat lelah. Tak lama kedua anak nya sudah tertidur lelap ketika ia nyanyikan lagu Nina Bobo. Sepertinya mereka juga sudah kelelahan karena telah bermain seharian.
Tanpa sengaja tatapan Zoe jatuh pada jam dinding yang tergantung di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Pantas saja perutnya terasa lapar, dia ingat, dia hanya mengisi perut nya dengan sepotong roti tadi pagi. Kalau Dave sampai tahu, dia pasti akan di protes habis-habisan. Bukan karena khawatir padanya. Pria itu menggunakan Alvin sebagai alasannya. Dia pasti akan berkata, wanita menyusui itu harus makan banyak, biar anak nya sehat.
Zoe bukannya tidak tahu akan hal itu namun kadang mengurus dirinya sendiri saja dirinya sampai lupa. Entah lah, belakangan ini pria itu juga sering ngomel-ngomel seperti ibu nya. Senang sekali menekan dirinya, menekan ketidak berdayaan nya. Membuat Zoe makin tak sabar untuk membebaskan diri dari neraka pernikahan ini.
Ya... Pernikahan ini terasa neraka bagi Zoe. Tapi Zoe tak ingin menyalahkan siapapun. Hanya lagi-lagi bisa berharap. Menunggu... Hingga saat nya tiba.
BERSAMBUNG.