Sejak kejadian malam itu, rumah tangga Zoe dan Dave jadi semakin dingin, mereka bahkan tidak saling bicara satu sama lain.
Saat di rumah, mereka berdua bertindak seperti orang asing yang tak saling kenal. Sebenarnya, Zoe merasa lelah jika harus menjalani rumah tangga terus-terusan seperti ini.
Tapi mau bagaimana lagi?
Ingin lepas dan bercerai, sepertinya tidak mudah. Dave selalu saja ingin mempersulit dirinya.
Bahkan pria itu sempat mengancam, dan memastikan, Zoe tidak akan pernah lagi bertemu dengan kedua buah hatinya jika dia nekad mengajukan cerai.
Apa sih mau nya pria itu?
Sudah jelas-jelas tidak ada kehangatan dalam rumah tangga mereka, tapi kenapa pria itu masih saja terus ngotot untuk mempertahankannya.
Pria itu seolah-olah sedang bersiap menggali kuburannya sendiri. Apa dia tidak takut, jika Zoe akan membalas perbuatannya, bahkan lebih kejam lagi.
Seorang pria kadang berselingkuh karena mengikuti hawa napsunya, dan sedangkan wanita berselingkuh untuk memenuhi kekosongan di hatinya.
Bisa saja Dave selingkuh fisik, dan bisa saja Zoe akan selingkuh hati suatu hari nanti.
Zoe merasa penat berhari-hari ada di dalam rumah, dia ingin pergi keluar meski hanya sekedar menyegarkan mata dan pikirannya. Dia harus bisa memperbaiki moodnya, bagaimanapun caranya.
Tubuh Zoe masih sangat ideal dan langsing meski sudah memiliki dua anak, wajahnya juga masih terkesan kekanak-kanakan. Setidaknya itu adalah hal yang membanggakan bagi Zoe.
Dia teringat dengan pria yang di temui nya di super market Minggu lalu, hari ini dia berencana untuk pergi ke sana lagi untuk berbelanja, dan berharap bisa bertemu pria itu lagi.
Zoe dengan semangat memilih baju di dalam lemari, dia memilih outfit anak muda, dengan begitu penyamarannya menjadi gadis remaja usia 20 tahunan akan sangat sempurna. Dia memoles wajahnya dengan riasan tipis, saat di depan cermin, rasanya dia ingin memuji dirinya sendiri yang masih terlihat imut. Ternyata dia masih cantik, masih menarik, kenapa dia harus menghabiskan waktunya dengan bersedih?
Jika Dave bisa berbuat nakal di luaran sana, dan dengan mudahnya mengatakan semua itu sebagai kehilafan. Bearti dia juga bisa melakukannya.
Mungkin Zoe yang sekarang telah berbeda, dia bukanlah gadis naif seperti sepuluh tahun yang lalu, kali ini dia adalah wanita dewasa yang tidak akan mudah di kalahkan oleh keadaan.
Jika orang lain bisa berbuat kesalahan, kenapa dirinya harus menahan diri?
Sebelum berangkat ke super market, dia menelpon ibu mertuanya terlebih dahulu agar kedua buah hatinya ada yang menjaga.
Tapi sebelum wanita paruh baya itu sampai di sana, sebaiknya dia harus pergi dahulu, dan menitipkan kedua anaknya pada tetangga samping rumah.
Kalau tidak, wanita itu akan melihat penampilannya dan akan merasa curiga.
"Bibi, titip Tifani dan Alvin sampai neneknya datang ya? Mereka sedang tidur di dalam kamar, ini kunci rumahnya, aku titipkan pada bibi saja, nanti jika ibu mertuaku datang, bibi kasih kuncinya ke beliau saja."
"Itu urusan beres, asal jangan lupa membawakan sesuatu untukku saat pulang nanti."
"Beres."
Zoe suka orang terus terang dan tidak suka basa-basi, dan bibi Neli adalah satu-satunya tetangga yang satu frekuensi dengannya, orangnya cuek, dan tidak suka mencampuri urusan orang lain. Dan dia hanya hidup dengan seekor kucing warna orange di rumahnya. Suaminya sudah lama meninggal sebelum sempat di karuniai momongan. Untuk itu wanita paruh baya itu senang jika di mintai tolong untuk menjaga Tifani dan Alvin. Bibi Neli telah menganggap kedua anak itu sebagai cucu kandungnya sendiri.
Berbeda dengan tetangga-tetangga Zoe yang lain, yang sukanya berkumpul dan membicarakan aib orang lain, seolah-olah merasa bahwa mereka lah yang paling benar, padahal kenyataanya, mereka hanya sedang mencari alibi untuk menutupi kekurangan dan kesalahan mereka sendiri. Mereka sedang membohongi diri mereka sendiri, menyedihkan!
Zoe tak pernah berhenti tersenyum selama di perjalanan, dia ingin segera menjejakkan kakinya di super market.
Begitu mobil taxi yang di tumpangi nya berhenti di pelataran super market tersebut. Zoe dengan semangat melangkahkan kakinya masuk ke dalam.
Sesampainya di dalam, dia segera menyisir semua tempat, namun tak menemukan pria itu di mana pun. Zoe merasa sedikit kecewa. Dan dia memilih bahan-bahan makanan dengan tidak semangat.
"Nona... apa benda ini milik mu?"
Zoe segera celingukan mencari sumber suara, seorang pria sudah berdiri di depannya dengan jarak satu meter di depannya, dan di tangannya memegang popok bayi yang mungkin saja terjatuh saat dia memilihnya tadi.
"Bukan... itu bukan milikku," Zoe terpaksa berbohong, karena pria yang tengah bicara padanya saat ini adalah pria yang waktu itu, kalau tidak salah namanya ... Gin.
Pria itu tampak mengerutkan dahinya, "benar juga ya, mana mungkin gadis remaja sepertimu membeli benda seperti ini, ada-ada saja." Ucap Gin sembari meletakkan benda itu kembali ke tempatnya.
Apa katanya? Gadis remaja?
Zoe sangat girang saat pria yang di sukainya berkata seperti itu padanya. Rasanya dia tidak bisa berhenti tersenyum dalam hati.
Ehem...
Zoe mencoba berdehem, sepertinya pria itu melupakan pertemuan pertama mereka, "tuan... apa kau masih ingat padaku? Aku Zoe, kita juga pernah bertemu di sini satu Minggu yang lalu."
"Benarkah?"
Benarkan pria itu sudah lupa. Dasar pria!
"Tentu saja aku ingat, kau yang minta tolong di ambilkan spatula itu kan?"
Astaga, ternyata dia masih ingat, jadi tadi dia hanya ingin menggodanya saja.
Lucu juga pria ini.
"Hehe... iya, kau benar."
Sepertinya setelah ini jalan akan semakin terbuka.
Bersambung