****
"Lo yakin sama ini tempat?" Tanya Nana yang sekarang di bawa oleh Arif kesebuah tempat yang belum pernah ia datangi.
"Yakin, gue kan udah pernah ke sini sebelumnya" jawab Arif.
"Pas lo ketemuan sama bang Joe?"
"Iya, dan saat itu juga terakhir kali gue ketemu sama dia"
Nana merasa sedikit khawatir, tapi melihat wajah Arif yang begitu yakin dan penuh harapan, ia terus saja mengikuti kemana Arif membawanya.
Meski tak jauh dari jalan Raya, hutan ini tetap saja terlihat menyeramkan jika dimasuki, pohonnya sangat menjulang tinggi, cahaya matahari yang masuk pun hanya sedikit melewati celah celah ranting pohon.
"Tadi kak Gema mau di bawa kemana Rif?" Nana mengajak bicara Arif terus agar perjalanannya tidak sedikit sunyi dan menakutkan.
"Check up biasa, para dokter masih terus berusaha buat nemuin penyakitnya kak Gema, mereka hebat"
"Meski sia-sia aja ya"
Arif menatap Nana dengan tatapan sedu tapi tetap diikuti dengan senyum tipisnya. "Iya Na"
"Jadi, si Bandi ini..."
"Wardi Na, bukan bandi"
"Iya Wardi" ralat Nana. "Kenapa dia tinggal di tempat kaya gini?"
"Gue nggak sempet nanya hal itu, tapi lo bisa nanyain langsung nanti ke dia"
"Orang baik kan?" Wajah Nana menunjukan penuh keraguan.
"Tenang aja, kalo dia jahat pasti gue udah mati sekarang Na dan nggak dia tolongin waktu itu"
"Itu nggak ngebuktiin apa-apa Rif" bantah Nana. Arif sudah menduga saat Nana membantah seperti ini, pasti dia mulai berpikiran hal gila dan teori konspirasinya.
"Na, ini bukan sinetron, yang dimana ada orang nolongin ternyata dia jahat dan ada maunya"
"Kan gue cuma berpikir realistis aja"
"Kayanya lo lebih ke paranoid deh"
Nana menyipitkan kedua matanya dan menatap Arif tajam "Gue nggak sepenakut lo ya"
"Idih, ngeselin banget muka lo" sahut Arif karena merasa geli melihat wajah temannya itu.
"Rif ini tar siang kita masuk kerja loh, dimana sih rumahnya? Pegel gue jalan terus..." rengek Nana yang sudah merasa tak tahan lagi untuk berjalan
"Wardi!" Panggil Arif sedikit teriak dan melambaikan tangan.
Tepat di hadapan mereka berdua sudah ada Wardi yang sedang merapihkan beberapa kayu kering di halaman depan rumahnya.
Wardi yang mendengar namanya di panggil langsung menengok dan melihat siapa yang memanggilnya. Ia lalu membalas lambaian tangan Arif kepadanya.
"Arif, ada apa pagi-pagi sudah di rumah saya?" Tanya Wardi.
"Iya, ada yang mau saya obrolin"
Wardi melirik kesamping Arif, ia melihat Nana yang menatapnya heran. Mungkin di benaknya sudah penuh dengan pertanyaan.
Arif yang sadar, langsung memperkenalkan Nana pada Wardi.
"Oh iya, ini teman saya Nana. Dia ikut nemenin saya ke sini" ucap Arif memperkenalkan.
Nana lalu menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Nana"
"Maaf, kotor tangan saya" tolak Wardi dengan halus karena tangannya memang sangat kotor.
Nana mengangguk pelan mengerti.
"Ayo masuk, saya buatkan minuman dulu" ajak Wardi dengan ramah.
"Kenapa sih Na?" Heran Arif yang melihat temannya terus memperhatikan Wardi.
"Nggak apa-apa, ayo masuk" Nana berjalan masuk lebih dulu meninggalkan Arif.
****
Arif dan Nana duduk di kursi kayu ruang tamu, sudah hampir 5 menit Nana juga terus memperhatikan setiap sudut rumah Wardi.
"Norak deh lo, kaya nggak pernah liat rumah kaya gini aja" senggol Arif pelan menyadarkan Nana.
"Nggak Rif gue cuma bingung aja, ini rumah tuh dibilang modern juga enggak, tapi di bilang jadul juga enggak. Unik gitu"
"Iya, saya renovasi beberapa, tapi tetap menjaga bentuk asli rumah ini" jawab Wardi yang datang membawa minuman.
"Hmmm, pantes aja, rumahnya bagus" puji Nana.
"Terima kasih"
"Jadi lo dari tadi bengong karna mikirin ini rumah" tanya Arif berbisik.
"Ayah gue kan kerja di properti, gue sering banget di tunjukin rumah rumah aneh dan unik, ini rumah sih investasi yang bagus menurut gue"
"Tapi sayangnya saya nggak bisa jual ini rumah" balas Wardi yang mendengar.
"Eh iya maaf, bukan itu maksudnya" jawab Nana gugup karena merasa bodoh bicara seperti itu.
"Iya iya nggak apa-apa, saya ngerti kok"
Wardi kini mengalihkan pandangannya pada Arif. "Jadi, ada keperluan apa Rif?"
Arif sempat menarik napasnya pelan sebelum bicara, ia sangat berharap Wardi bisa mengerti dan membantunya.
"Kakak saya sudah sadar, tapi dia tidak bicara" ucap Arif.
"Kenapa?" Bingung Wardi.
"Saya rasa ada sesuatu yang membuatnya bungkam, membuatnya dipaksa untuk nggak bicara"
Wardi terlihat mengalihkan pandangannya ke arah lain, beberapa kali juga ia menghela napasnya. Wajahnya terlihat khawatir, entah apa yang dia pikirkan.
"Kamu rasa? Atau kamu lihat?" Tanya Wardi yang mulai serius.
"Kamu bisa tau?" Bingung Nana, ia sendiri terlihat kaget.
Wardi mengangguk pelan. "Saya sama seperti Arif, bisa melihat sesuatu yang tidak bisa orang lain lihat"
Nana terdiam, tapi kini ia tau alasan Arif begitu percaya dan yakin pada Wardi. Karena mereka memiliki kemampuan yang sama, hanya saja Wardi mungkin lebih beruntung karena bisa mengendalikannya.
"Saya sempat melihatnya, makhluk itu, seperti menjahit mulut kak Gema, tapi saya nggak tau itu nyata atau tidak, rasanya sedikit kabur" jelas Arif ragu.
"Tunggu, saya juga bisa melihat makhluk itu, apa itu artinya saya juga punya kemampuan seperti kalian?" Ucap Nana memotong pembicaraan.
"Bukan" bantah Wardi.
"Lalu apa?"
"Mungkin yang kamu lihat itu karena makhluk itu sengaja ingin menunjukan dirinya, tapi yang di alami Arif berbeda"
"Berbeda?"
Arif hanya diam dan mendengarkan penjelasan Wardi.
"Ya, kamu pasti hanya sekilas, tapi yang kami alami seperti nyata, benar kan Arif?" Wardi kini berbalik menatap Arif.
"Iya, seolah saya punya dua dunia, saya nggak bisa bedain mana yang nyata"
Wardi tersenyum lega saat Arif bicara seperti itu. Tapi Arif sendiri merasa aneh kenapa Wardi tersenyum.
"Kenapa?" Bingung Arif.
"Secara tidak sadar, kamu udah tau artinya" ungkap Wardi.
"Maksudnya?" Nana ikut ikutan penasaran.
"Ya, seperti yang Arif baru aja bilang, seolah ada dua dunia, dan itu memang benar, saat itu kamu memang sedang ada di dunia yang berbeda"
Arif dan Nana saling melirik, sedikit tak mengerti maksud dari Wardi.
"Saya nggak ngerti, gimana bisa?" Tanya Arif.
"Jadi gini, terkadang kita nggak sadar kalau diri kita ternyata sudah berpindah dunia, portal itu ada dimana mana, tapi untuk orang yang tidak sadar, mereka akan keluar dengan begitu saja tanpa di minta. tapi jika kita sadar, akan sedikit sulit untuk keluar dari dunia itu" jelas Wardi.
"Dan setelah ini, kamu Arif, akan sedikit sulit untuk keluar dari dunia itu" lanjut Wardi yang membuat Arif merinding mendengarnya.
Arif tertunduk lemas, ia terus berpikir apa yang harus ia lalukan sekarang.
"Ja...jadi saya harus gimana?" Tanya Arif dengan penuh harapan.
"Kamu harus tau mau mereka itu apa"
"Saya nggak tau mau mereka apa" Arif menggeleng kan lemas kepalanya.
"Mereka cuma punya dua alasan kenapa melakukan ini"
"Apa aja alasannya?" Nana orang pertama yang sangat penasaran dengan penjelasan Wardi.
"Pertama, karena mereka ingin menggantikan hidup kita, dengan kata lain mereka ingin menjadi diri kita. Dan kedua, karena mereka di panggil untuk suatu urusan" jelas Wardi.
"Keduanya masuk akal, tapi yang mana alasannya?" Nana berpikir keras.
"Gimana kalo keduanya?" Ucap Arif menatap Nana lekat.
Semua alasan yang dijelaskan Arif terasa masuk akal, mungkin saya dengan semua bukti yang sudah Arif temui, itulah mau dari mereka.
"Wardi, tolong bantu kakak saya" mohon Arif pada Wardi.
"Tolong gimana sih Rif?" Bingung Nana.
"Na, gue paham, mungkin aja setengah jiwa kak Gema ada di dunia sebrang, makanya dia nggak bisa ngomong dan gerak seperti itu"
"Gimana caranya Rif? kita nyari perkumpulan bapak lo aja nggak nemu, apalagi nolo..."
"Perkumpulan?" Wardi memotong pembicaraan Nana.
"Iya, bapak Arif itu masuk perkumpulan aneh yang punya buku tua dengan tulisan Jawa kuno yang aneh juga, tapi Arif nggak bisa inget semua itu"
"Boleh saya liat?" Pinta Wardi.
"Bo...boleh, bentar saya udah simpen beberapa fotonya di ponsel saya"
Nana lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukan pada Wardi semua yang sudah Nana dan Arif temukan selama ini.
Wardi terkejut, wajahnya pun berubah sedikit takut melihatnya. Arif dan Nana pun menjadi sedikit bingung dibuatnya.
"Ini sebuah kesalahan" ucap Wardi lemas.
"Kesalahan?" Sahut Arif dan Nana serempak.
"Saya pernah denger perkumpulan ini, mereka disebut Kejawen. Yang saya tau mereka sangat taat dengan agama dan Tuhan, tapi beberapa pengikutnya ada yang meragukan itu semua dan mulai menyembah hal lain untuk hal hal pribadi" Wardi menjelaskan dengan sangat detail.
"Bapak kamu tergabung dengan penganut kejawen, tapi dia juga salah satu orang yang meragukan anutannya"
"Lalu, buku yang mereka bawa itu apa maksudnya? Semuanya berbeda" tanya Nana.
"Kamu pernah dengar kotak dybbuk?"
"Ya pernah, kotak yang menyegel banyak roh jahat kan?"
"Betul, buku ini semacam kotak itu, dia menyegel beberapa roh jahat yang berbeda beda di dalamnya, untuk tujuan tertentu"
"Jadi itu alasannya saya juga di hantui sama mereka?" Ucap Nana merinding mengetahui yang sebenarnya terjadi.
Wardi hanya mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan oleh Nana.
"Maaf, hanya segitu yang saya tau, saya nggak bisa bantu lebih" ucap Wardi tiba-tiba.
"Kita nggak tau lagi harus kemana, saya mohon, bantu kak Gema" Arif memohon kembali pada Wardi.
"Saya udah nggak bisa lagi ngelakuin itu"
Arif terdiam dan berpikir tentang yang Wardi ucapkan.
"Kamu bisa masuk kedunia itu dengan mudah, iya kan?" Tanya Arif mendesak Wardi.
"Hah? Dia bisa?" Kaget Nana.
"Iya Na, dia pasti bisa, cuma dia nggak mau, kenapa? Kenapa kamu nggak mau?"
"Resikonya besar Arif, di sana bisa membuat pikiran kita kacau, dunia nyata dan astral seolah berhubungan"
"Kalo gitu, ajari saya, biar saya yang masuk"
Kini Wardi yang dibuat kaget, jarang sekali ada orang yang ingin diajari. Kebanyakan malah menghindar.
"Nggak bisa" tolak Wardi kembali.
"Tapi..."
"Kalian pulang sekarang" pinta Wardi baik baik.
"Saya nggak tau lagi harus berbuat apa"
"Saya tau!" ucap Wardi yang menenangkan Arif. "Saya tau apa yang harus dilakukan, yang perlu kamu lakukan sekarang hanya menunggu saja, dan pulang"
"Sampe kapan?"
"Kalo udah tepat waktunya, saya yang akan temui kamu duluan"
Arif mematung, pria ini sedikit aneh. Entah apa maksud dia, ingin menolong atau tidak saja sangat sulit ditebak.
Arif dan Nana terpaksa keluar dari rumah Wardi, Arif rasa Wardi sedang merencanakan sesuatu, tapi tidak tau apa itu.
"Berapa kali ya kita diusir kaya gini?" Decak Nana kesal.
Yang mengerikan bukan saat melihat makhluk itu, tapi saat sadar makhluk itu ternyata selalu bersama kita.
****