•••
Tidak membedakan siapapun, dengan perasaan.
•••
Sungguh, saat melakukan rekam jantung rasanya begitu sakit saat capitan itu menjepit permukaan kulit di daerah dadaku. Terdengar ambigu, namun sungguh! Rasanya cukup sakit.
---
Setelah melakukan pengecekan rekam jantung, dokter Han mengatakan bahwa Jungkook harus menindak lanjutkan pemeriksaan keseluruhan. Tentunya, mengenai jantung.
Paman Sam langsung berdalih menjadi wali, ia akan menjadi salah satu orang yang bertanggung jawab terhadap Jungkook. Sejak Kim Hyunbin di angkat menjadi anggota keluarga tetap di rumah.
Cemburu? Iri? Tentu saja, perasaan itu selalu terbenam dan membentak di hatiku. Namun, bukankah dengki terhadap kebahagiaan orang itu membuat Jungkook menjadi seorang antagonis tak kasat mata.
"Jungkook kau mengalami kerusakan jantung yang cukup terbilang memasuki tahapan pertengahan yang berarti sudah cukup parah, dan ini sepertinya pernah kau alami beberapa tahun yang lalu, namun cepat teratasi, apa benar begitu?" Tanya dokter Han.
Jungkook hanya mengangguk kecil, tidak ingin melihat wajah sedih milik paman Sam adalah fakta saat ia tidak ingin mendongak.
Sesekali Jungkook melirik ke arah paman Sam yang masih terdiam.
Saat paman Sam mendengar penjelasan keseluruhan tentang diriku, aku terdiam saat melihat dari balik jendela pintu. Wajah kaget paman tidak bisa ia sembunyikan, mungkin karena sesuatu hal yang tidak meng-enakkan terjadi pada jantung ini.
"Tidak, jangan jantung lagi kumohon!"
Jungkook mencengkram pelan dada kirinya, ia benci jika ia terlihat lemah seperti ini.
Kakak tirinya saja sekali sakit yang tidak separah yang ia lihat, bisa di pastikan satu rumah akan langsung berubah drastis layaknya kapal pecah, sekaligus di tambah suara bising yang memekak gendang telinga.
Saat itu juga terkadang aku terkejut, dan menimbulkan sedikit efek kejut dan rasa sakit yang sangat di dada kiri ini.
Paman Sam terdiam menatapku, hatinya mencelos setelah mendengar semua penjelasan dari dokter Han.
Aku hanya tersenyum tipis, "Paman, aku baik-baik saja..." Aku memegang tangannya yang terlihat mengeluarkan keringat dingin. Rasa takut menghantam benak dan angan-angan miliknya, walau aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja, namun hatiku mengatakan sebaliknya.
"Tidak, Jung... Kau tidak baik-baik saja. Orang tuamu harus mengetahui hal ini," Paman Sam buru-buru mengeluarkan ponsel di saku celana miliknya.
Aku menahan tangannya, lalu menggeleng pelan. "Biar nanti aku saja yang memberitahu mereka, Paman... Kali ini saja, turuti keinginanku." Paman Sam menatapku dalam diam.
Paman Sam menggeleng cepat sebagai jawaban miliknya, "tidak, Jung... Paman tidak percaya padamu, kau pasti ingin merahasiakan hal ini dari kedua orang tuamu dan kakak-kakakmu, kan?" Tuduh Paman Sam langsung bisa membuatku menciut seketika. Apa yang ia katakan hampir 99% ada benarnya. Namun, ada saatnya akan kukatakan langsung menggunakan bibir tipis ini.
"Baik, baik... Akan kukatakan setelah semuanya membaik karena keadaan kak Hyunbin masih seperti itu, tapi ini kukatakan sekali saja jadi jika mereka tidak percaya kepadaku... Paman tidak perlu membantuku agar mereka percaya padaku, deal?" Paman Sam mengangguk setuju.
"Oke, Jung. Paman setuju denganmu, tapi jangan membuat Paman bertindak diluar dari ini, mengerti?" Aku menyeringai mengerti, perasaan bersalah juga menusuk hatiku.
"Maaf, Paman Sam... Tidak semua rahasia, harus di keluarkan sampai ke ujung akar. Rahasia ini akan kusimpan sampai keadaan mulai benar-benar lebih membaik." Batinku.
Pandanganku teralih ke arah jendela mobil, "Paman, antar aku ke sekolah saja..." Ucapku mendadak, membuat kaget bukan main.
"Jungkook, Paman tidak ingin dapat panggilan dari sekolah lagi karena kau drop dan pingsan untuk yang kesekian kalinya," gelengan tegas Sam berikan untuk tuan mudanya itu, agar ia mengerti bahwa maksud di balik ini adalah untuk dirinya sendiri.
Aku berdecih pelan, "Paman, aku tidak ingin ketinggalan pelaja—" sahutku kesal, namun lekas di potong Paman Sam.
"Jungkook, kau sudah cukup pintar dalam beberapa pelajaran... Piala milikmu sudah menumpuk, begitu pula piagam-piagam milik mu. Kali ini istirahatlah... Kau sudah berjuang melewati batas, sampai kapan kau akan memaksakan diri terus-menerus seperti ini?" Jungkook terdiam dengan penuturan panjang lebar dari paman Sam, yang di akhiri pertanyaan.
Jungkook tau bahwa ia terlalu memaksakan diri, dan ia perlu istirahat. "Sampai Ayah, Ibu, dan kakak-kakak mengakui diriku kembali paman..." Balasku dingin.
Paman Sam terdiam, ia terlampau sedih mendengar tuan muda manisnya itu tak di akui lagi keberadaannya. Jungkook memang tidak di benci seperti cerita-cerita kebanyakan, namun perhatian seluruh keluarganya jatuh kepada kakak tirinya yang hanya menderita penyakit asma. Jungkook paham bahwa asma bukanlah penyakit sepele, namun sakit miliknya juga bukan hal sepele. Sakit miliknya ini seperti akan terjadi kapan saja, dan bertaruh nyawa kapanpun.
"Baik, paman akan mengantarmu ke sekolah. Tapi, jangan terlalu memaksakan diri seperti biasanya, cukup perhatikan guru dan menjawab jika di tanya." Jungkook lega mendengar jawaban paman Sam, membuat dirinya kebawa arus kesenangan.
"Ya, paman!"
---
Di rumah...
Kim Hyunbin, ia bukanlah tipe antagonis yang berada di cerita ini. Ia menyanyi Jungkook, layaknya adik kandung. Namun, mungkin karena Jungkook sudah terlampau iri kepada dirinya, yang menyebabkan sebuah rasa kebencian dari Jungkook.
Sangking khawatirnya Ibu dan Ayah, bahkan Hyunbin diminta untuk homeschooling. Membuat dirinya nampak menyedihkan, baginya sendiri.
"Hyunbin, kau tidak perlu sekolah lagi... Ibu dan Ayah tidak ingin melihatmu kecapean lagi, mengerti?" Hyunbin hanya bisa menuruti perkataan Ibunya, lagipula statusnya disini hanyalah seorang anak angkat.
Sekarang Hyunbin tengah memandang dirinya sendiri di cermin kamar, ia nampak biasa-biasa saja. Hanya bibirnya yang nampak pucat, karena keseringan kambuh.
Hyunbin teringat akan Jungkook, ia ingat saat Jungkook membawa piala dan piagam itu. Jungkook ingin menunjukkan kepada Ayah dan Ibu, namun sialnya penyakit asma milik Hyunbin kambuh secara tiba-tiba. Membuat ekstensi semua orang teralih kedirinya.
Hyunbin merasa bersalah, saat melihat Jungkook yang hanya bisa tersenyum miris.
"Ibu, Ayah... Lihatlah aku memenangkan—"
Ibu hanya bisa menatap sekilas ke arah Jungkook, lalu dengan gerakan bibir dan jawaban yang selalu sama setiap hari dan setiap waktu. "Jungkook, kakakmu sedang sakit. Nanti saja, ya?"
"Maaf, ya sayang..."
"..." Hanya senyuman tipis yang Jungkook berikan namun begitu terlihat menyakitkan di mata Hyunbin saat itu.
"Kau sedang apa, Hyun?" Tanya Hoseok tiba-tiba, membuat Hyunbin terkejut setengah mati.
"Oh, kak Hoseok! Kau mengagetkanku," Hoseok terkekeh pelan.
"Maaf, kaka tidak sengaja, ehh sengaja deh," tawa Hoseok.
Hoseok duduk di ranjang milik Hyunbin, yang dulunya merupakan kamar milik seorang Kim Jungkook. "Jadi apa yang sedang adikku pikiran, kan?" Tanya Hoseok khawatir.
Hyunbin menatap ke arah Hoseok, "aku memikirkan Jungkook, kak..." Jawab Hyunbir jujur.
"Kenapa?" Hoseok mengernyit kebingungan.
"Karena aku, dia selalu terasingkan dari Ibu dan Ayah,"
Hoseok menggeleng pelan, "Jungkook itu kuat, dia juga sangat menyayangimu... Dia adalah sebuah pilar kebahagiaan di keluarga ini," tutur Hoseok yang memandangi kamar itu secara menyeluruh.
"Tidak, dia tidak menyayangiku kak..."
Hoseok tertawa pelan, "siapa bilang dia tidak menyayangimu? Saat pertama kali kau datang kesini saja, dia selalu menceritakan dirimu yang begitu mempesona katanya dan sangat panjang lebar," balas Hoseok.
Hyunbin mendongak menatap Hosoek yang tersenyum lebar ke arahnya, hati Hyunbin menghangat. Setidaknya ia tau bahwa Jungkook tidak membencinya.
---
Tak terasa waktu cepat berlalu, sekarang Jungkook tengah berada di kamar miliknya yang saat ini sudah berganti lantai di lantai kedua. Ia mengikhlaskan kamar kesayangannya kepada kakak tirinya, walau saat itu ada hati miliknya yang ingin mengatakan ketidak nyamanan miliknya terhadap kamar di lantai kedua.
Lantai pertama ada kamar milik Ibu, Ayah, dan semua kakak-kakaknya. Dulu ia juga salah satu dari kamar itu, namun sekarang berbeda. Jungkook menempati kamar yang berada di lantai dua yang tidak seluas seperti kamar miliknya yang sebenarnya.
Di lantai dua hanya ada studio milik kakak-kakaknya, kamarnya, dan kamar mandi.
Sebenarnya kamarnya sudah luas untuk ukuran dirinya, dan ada kamar mandi.
Namun hati Jungkook tetaplah sakit saat selalu mendengar perkataan Ayah, Ibu, bahkan kakak-kakaknya yang selalu mengatakan.
"Kakakmu sakit, Jung... Nanti saja, yaa..."
"Jungkook Ayah lelah, biarkan Ayah istirahat,"
"Jungkook kami capek, tidak ada waktu bermain denganmu,"
Apalagi masalah kamar waktu itu.
"Jungkook bertukar lah kamar dengan Hyunbin, ia selalu kesakitan... Kami akan lebih mudah mengecek keadaannya jika ia di lantai satu."
Bahkan perkataan Ayahnya itu selalu terngiang-ngiang di gendang telinga milik Jungkook.
"Huh, capek sekali..." Jungkook menaruh pulpen miliknya.
DEG!
Sakit itu datang... Jungkook mencengkram dada kirinya dengan kuat.
TBC...