webnovel

Bab 19

Pagi ini Arni telah menyiapkan sarapan pagi untukku, dan kedua anaknya. Mereka nanti akan kuantar untuk pergi ke sekolah. Dan, fokusku saat ini melihat Ningrum serta Narko, yang tampak sibuk melahap makanannya dengan semangat.

Aku benar-benar ndhak pernah melihat ada anak yang makan makanannya sampai selahap ini. Bahkan mereka menghabiskan makanan yang ada di piring dengan sangat cepat. Setelahnya, mereka akan menjilati jemari mereka. Lalu, diam-diam melihat ke arahku untuk sekadar memastikan apakah aku akan memerhatikan mereka apa endhak. Jika sudah tahu aku melihat ke arah lain, maka diam-diam mereka mengambil lauk yang mereka suka.

"Bagaimana sarapannya, manteb, toh?" tanyaku kepada Ningrum, dan Narko.

Keduanya tampak terkejut, kemudian tersenyum begitu lebar. Aku yakin, jika keduanya sungkan. Tapi, ekspresi itu benar-benar terlihat sangat lucu.

"Enak benar makanan ini, Juragan. Seumur-umur, Biung belum pernah memasakkanku daging kerbau yang digule seperti ini. Makan opor ayam saja satu tahun sekali kalau ada sedekah bumi. Setiap hari makannya hanya tahu tempe, dan ikan asin," kata Ningrum yang berhasil membuat dadaku terasa sesak.

Padahal, makanan seperti ini adalah makanan harianku. Padahal makanan seperti ini membuatku bosan. Tapi mereka....

Gusti, berat benar hidup mereka selama ini. Kukira mereka akan makan dengan cukup mengingat kata Paklik Junet Muri adalah anak dari keluarga yang cukup terpandang, dan kaya. Aku pikir jika polemik keluarga Arni hanya pada kelakuan Muri kepadanya. Namun nyatanya....

"Memangnya bapakmu ndhak pernah membelikanmu lauk seperti ini, Ndhuk?" tanyaku hati-hati.

Ningrum dan Narko tampak menggeleng dengan cepat. Kemudian, mata bulat Ningrum memandangku dengan begitu polos. Mata yang membuatku ndhak bisa lepas dari pandangan lugunya itu.

"Ndhak pernah, Juragan. Kata Emak, setiap kali Bapak panen di kebunnya, seluruh uangnya diberikan kepada Simbah Kakung. Jadi, kami ndhak kebagian."

Sungguh, Bapak macam apa, toh, Muri ini? Bagaimana bisa dia begitu tega menelantarkan istri beserta anak-anaknya hanya karena sifat berat kepada orangtua? Ini benar-benar kelakuan yang ndhak bisa termaafkan.

"Lha wong Kang Mas Narko minta dibelikan radio saja ndhak dibelikan, Juragan."

"Radio, buat apa?" tanyaku lagi.

"Buat mendengarkan ludruk, Juragan, yang ditayangkan setiap rabu malam jam tujuh. Jadi, Kang Mas harus datang ke rumah tetangga sebelah untuk mendengarkan. Meski sering diusir oleh tetangga kami."

"Hus, Ningrum. Kamu ini bicara apa, toh!" kata Narko yang tampaknya malu.

Aku tahu jika Narko ini lebih pemalu dari Ningrum. Sebab usianya telah menginjak remaja. Berbeda dengan Ningrum yang masih polos, yang masih belum membedakan mana yang boleh dan ndhak boleh diceritakan.

"Sudah, Narto, ndhak usah kamu omeli adikmu itu, toh. Dia hanya bercerita apa adanya...," kubilang. Ningrum mengangguk kuat-kuat. "Ya sudah, bagaimana kalau nanti sepulang sekolah kita beli radia? Mau?" tawarku. Dengan senyuman lebar, agar mereka ndhak sungkan.

"Mau!!!" Ningrum menjawab dengan cepat. Sementara Narto tampak malu-malu dia mengangguk.

"Dan kamu, Ndhuk. Nanti sekalian beli beberapa rok baru, ya."

"Mau!!!" jawabnya lagi semangat.

Gusti, andai bisa. Ingin sekali bocah lucu ini kujadikan sebagai anak. Agar aku bisa melindunginya dari rasa sakit yang diciptakan oleh keadaan. Andai, aku benar-benar ndhak ingin jika bocah kecil ini bersedih. Apalagi sampai ia menangis.

Ningrum langsung beranjak dari tempat duduknya, memelukku erat-erat dengan senyum merekahnya itu.

"Terimakasih banyak, Juragan. Kenapa endhak Juragan saja, toh, yang jadi bapakku. Kalau Juragan yang jadi bapakku, pasti aku dibelikan rok baru, dan makan makanan enak setiap waktu," gerutunya.

Kuangkat tubuh mungil Ningrum agar dia berada di pangkuanku, kemudian kucium pipinya yang mulus itu sekilas.

"Kamu mau aku jadi romomu, Ndhuk?" tanyaku. Ningrum tampak mengangguk kuat-kuat. "Kalau aku jadi romomu, aku ini akan jadi galak, lho."

"Ndhak akan," jawabnya membantah.

Aku melotot, dia malah tertawa.

"Aku tahu Juragan. Sosok yang ndhak pernah bisa marah. Jadi Juragan ndhak akan galak sama aku," lanjutnya. Aku tertawa mendengar ucapan polos itu. Bagaimana bisa, toh, dia yakin kalau aku ini ndhak bisa marah. Memangnya dia pikir, aku ini orang suci?

"Kalau sama kamu aku ndhak akan bisa marah, toh," kubilang.

"Kenapa, Juragan?"

"Karena kamu itu lucu,"

"Lucu saja?" dia tanya. Aku kembali tertawa.

"Lha minta dibilang apa, Ndhuk?"

"Aku ini cantik," lagi, ucapannya kembali membuatku tertawa. Kucubit hidung mugilnya, dia mengaduh kesakitan, sampai hidungnya berwarna merah.

"Iya, kamu gendhukku yang paling cantik sedunia," dan jawabanku tampaknya membuatnya puas. "Ya sudah, aku mau mandi dulu, ya, Ndhuk. Setelah ini akan kuantar kalian ke sekolah."

Aku langsung pergi ke kamar mandi, setelah mengambil handukku, melepaskan kaus lengan pendekku, dan hanya mengenakan sarung. Masuk ke dalam kamar mandi sambil bersiul seperti biasa, menanggalkan sarung, dan....

Aku hampir melompat, tatkala melihat sosok yang memandangku dengan tatapan serupa denganku.

"Lho, Kang Mas!" katanya. Yang nyaris melompat.

Aku benar-benar ndhak menyangka, jika di dalam kamar mandi telah ada Arni yang sedang mandi. Membasuh seluruh tubuhnya tanpa mengenakan busana.

Kutelan ludahku dengan susah. Kemudian pura-pura ini ndhak terjadi. Mencoba meraih sarungku untuk kembali kupakai kemudian pergi. Tapi, lagi-lagi, jantungku dikagetkan oleh ketukan pintu seseorang.

Arni, yang tampak gugup. Langsung mendekat ke arahku dan memeluk tubuhku erat-erat. Seolah ia takut, jikalau di luar ada suatu hal yang berbahaya.

"Juragan, mandinya masih lama?" tanya Ningrum dari luar.

Arni langsung memandangku, sementara aku hanya bisa berdiri dengan kaku. Bingung, apa yang harus kulakukan, sebab sebagaimana laki-laki pada umumnya. Tubuh, dan naluriku bekerja dengan sangat luar biasa. Terlebih, tatkala ditempeli dengan tubuh polos Arni.

"Oh, yang ada di kamar mandi Emak, Ndhuk!" jawab Arni yang sepertinya tahu jika aku ndhak menjawab.

"Lho, lha Juragan mana, toh? Katanya tadi mau mandi karena mau mengantarkanku, dan Kang Mas Narto sekolah!" kata Ningrum ndhak sabaran.

"Mungkin lagi di belakang, Ndhuk. Tunggulah saja barang sebentar!" Arni jawab lagi.

Setelah itu ndhak ada jawaban. Pertanda jika Ningrum sudah ndhak ada lagi di situ.

Arni memandangku lagi, sementara kedua tangannya masih melingkar manis di tubuhku.

"Maaf, aku ndhak tahu kalau kamu sedang mandi...," kataku yang masih diam di tempat. Tanpa berani bergerak sedikit pun. Tapi, Arni ndhak menjawabi ucapanku. Malah-malah dia diam membisu di tempatnya sama sepertiku tadi. Apakah dia sedang terkejut? Atau, dia merasakan sesuatu yang ada di tubuhku telah bangkit? Sialan! "Mandilah dulu, aku akan... keluar."

"Kenapa?" tanyanya yang berhasil membuatku mengangkat alis.

Apanya yang kenapa? Aku benar-benar ndhak paham.

"Kita sudah sama-sama dewasa, lantas kenapa? Apa salahnya? Bukankah setelah aku bercerai dengan Kang Muri kita akan menikah?" katanya yang berhasil membuat napasku tiba-tiba sesak.

Arni tampak berjinjit hendak mencium bibirku, tapi secara spontan wajahku kupalingkan darinya. Dia tampak kecewa, tapi aku masih diam saja.

"Kenapa, Kang Mas? Apa kamu ndhak mencintaiku? Apa ucapanmu dulu untuk menikahiku setelah aku berpisah dengan Kang Muri, hanyalah janji semu?" tanyanya lagi.

Gusti, aku benar-benar ndhak tahu dengan apa yang kulakukan sekarang. Terlebih, aku benar-benar ndhak tahu dengan jalan pikiranku sekarang. Sebagai seorang laki-laki aku benar ingin menerkam Arni saat ini juga. Tapi, hatiku seolah menolaknya mentah-mentah.

Kini, Arni memegang bagian sensitif tubuhku. Dan itu kembali berhasil membuatku menahan napas. Kurengkuh dia erat-erat tubuhnya, sambil kukecup pundaknya sekilas. Kemudian, aku pun berkata, "Maaf, aku masih belum bisa,"

*****

"Juragan bisa pulang sebentar, toh? Setelah kepergian Juragan, Ndoro Larasati sakit keras,"

Setelah mengantar Ningrum ke sekolah, rupanya Paklik Sobirin sudah mengguiku sedari tadi di rumah.

Aku tahu sejatinya jika dia cukup hafal dengan tabiatku. Itu sebabnya, dengan sangat mudah dia bisa menemukanku di sini. Sebab, sudah beberapa kali dia kuajak ke sini ketika pikiranku suntuk. Dan sekarang, dia menemuiku benar-benar dengan kabar yang ndhak baik.

Biungku sakit, dan itu karenaku. Rasanya ingin benar kukutuk diriku sendiri, karena telah menjadi anak durhaka untuknya.

Biung, maafkan aku.

"Sakit apa, Paklik? Bukankah Romo telah mengusirku? Bagaimana jika aku ke sana lalu diusir lagi oleh Romo. Itu akan menjadi perkara yang percuma," kubilang.

Paklik Sobirin tampak memandang sinis ke arah Arni, tatkala Arni keluar membawa minuman beserta mendoan. Kemudian, dia memandangku lagi, setelah Arni pergi.

"Juragan benar-benar salah kaprah, keblinger!" katanya dengan intonasi yang cukup tinggi. "Seharusnya Juragan ndhak melakukan hal bodoh sampai sejauh ini."

"Aku tahu, Paklik. Sangat tahu," kubilang. "Namun demikian, aku bisa apa, toh? Jika sumber kebencian, dan apa yang telah dilakukan Muri kepada Arni semata-mata karena dia cemburu buta kepadaku. Lalu, menurutmu. Apa yang harus kulakukan?"

Sejenak, Paklik Sobirin tampak diam. Dia memandang sisi jendela dalam diam. Aku tahu, Paklik Sobirin juga kecewa kepadaku.

"Juragan tahu, toh, kalau biung Juragan itu adalah perempuan yang paling keras kepala di dunia...," katanya, kembali membuka suara. "Setelah Juragan pergi, Ndoro Larasati menangis terus, beliau terus memohon, dan berlutut kepada Juragan Nathan agar mau memaafkan Juragan. Sebab bagi Ndoro, yang salah bukanlah Juragan Arjuna. Tapi, Ndoro sendiri. Karena dulu telah berlaku curang itu sebabnya dibalas hal yang serupa oleh Gusti Pangeran. Bahkan, setelah kepergian Juragan, Ndoro sama sekali ndhak mau makan, dan minum. Sampai-sampai Juragan Nathan dibuat menangis. Juragan ndhak tahu harus bersikap apa. Di sisi lain beliau sangat mencintai Ndoro Larasari dan ndhak ingin menyakiti hatinya, dan di sisi lainnya kesalahan Juragan benar-benar ndhak bisa dimaafkan."

"Bisakah kita pergi sekarang untuk menemui Biung, paklik? Aku benar-benar takut terjadi sesuatu padanya."

Setelah berpamitan dengan Arni, aku pun langsung menuju Kemuning. Meski aku sendiri ndhak yakin apakah Romo akan menerimaku apa endhak. Atau bahkan, aku sudah sangat siap jika nanti di sana aku akan menerima sebuah tamparan, tendangan, atau bahkan perlakuan yang lebih buruk dari pada itu.

Ndhak berapa lama, kami akhirnya sampai. Paklik Sobirin membuka pintu mobil untukku. Sedikit berlari, dia pun mendekat ke arahku.

"Ndhak akan terjadi apa-apa, percayalah, Juragan," katanya.

Tanpa menoleh aku langsung masuk ke dalam rumah. Mengabaikan pandangan beberapa abdi dalem kepadaku. Sekarang, tujuanku adalah, tepat di kamar yang berada di bagian ujung itu. Di kamar yang saat ini telah dikerumini beberapa abdi dalem dengan tangisan mereka. Sepertinya, Biung benar-benar merana karenaku.

"Juragan...." kata para abdi dalem kemudian mereka membuka jalan untukku.

Aku berdiri tepat di depan pintu kamar Biung yang ditutup rapat-rapat. Tanpa menoleh kepada para abdi dalem sekadar menawarkan seulas senyum.

"Bisa kalian pergi dari sini? Aku ingin menemui Biung."

Mereka langsung undur diri, tapi Bulik Sari, dan Bulik Amah masih setia berdiri di sini.

"Kalian juga, Bulik," kataku kepada mereka.

"Ngapunten, Juragan. Kami hanya ingin bilang jika Juragan Nathan ada di ruang kerjanya. Jika Juragan sudi, bisakah Juragan melipur Juragan Nathan juga? Sebab beliau pun belum memakan apa pun sejak kejadian itu."

Aku mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar Biung. Di sana, tampak Biung yang terbaring di ranjangnya. Kemudian, ada Manis yang menungguinya dengan sabar.

Sebelum aku melangkah mendekat, kutelan ludahku yang mendadak mengering. Bagaimana aku harus bersikap dengan Manis sekarang?

"Arjuna...."

Aku langsung melangkah saat Biung menyebut namaku. Sementara Manis memiringkan wajahnya melihat kedatanganku. Kulirik dia sekilas, tampak jelas ada gurat sedih di sana. Aku yakin, dia pun menangis karena ini. Aku yakin dia pun terluka karena ini. Dan lagi-lagi, itu karenaku.

"Biung ndhak apa-apa? Biung sakit apa?" tanyaku.

Biung langsung memelukku erat-erat, tangisannya terpecah dalam pelukanku. Dan jujur, ini benar-benar menyakitkan. Bahkan selama aku hidup, aku ndhak pernah melihat Biung menangis. Sebab bagi Romo, air mata Biung adalah hal utama yang ia jaga agar endhak jatuh.

"Kenapa kamu seperti ini, toh, Jun. Kenap—"

"Jangan bahas dulu, Biung...," kataku. Memotong ucapan Biung. "Katanya Biung belum makan sama sekali, toh?" tanyaku. Biung masih diam dengan deraian air matanya. "Manis, tolong ambilkan bubur untuk Biung, aku akan menyuapinya."

Manis langsung beranjak dari duduknya, melakukan apa yang kupinta kemudian membawakannya kepadaku.

Pelan, kubujuk Biung agar dia mau makan barang sesuap saja. Agar tenaganya kembali dan dia bisa sehat lagi.

"Pahit," katanya. Merajuk seperti anak kecil.

Manis lantas memberikan Biung teh manis hangat, agar mengaburkan rasa pahit yang ada di mulutnya.

"Nah kalau begini, ndhak pahit lagi, Ndoro," kata Manis dengan senyuman hangatnya.

Sungguh perempuan satu ini, aku sangat berterimakasih kepadanya. Karena telah sabar dan telaten mengurus biungku sedari dulu.

"Lebih manis karena yang memberi minuman Manis," kataku. Biung tersenyum. Tapi, Manis ndhak tersenyum sama sekali.

"Maafkan Juna, Biung. Arjuna sadar jika Arjuna telah melakukan kesalahan besar. Mengambil keputusan sepihak, dan itu sangat merugikan nama baik keluarga," kataku pada akhirnya. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam, sebab rasanya sangat malu jika saat ini aku menatap mata Biung.

Manis tampak hendak pergi, sebab aku tahu. Jika dia merasa ini bukan tempatnya mendengarkan perbincangan keluarga ini. Tapi, tangannya kutahan. Karena bagiku permintaan maaf ini bukan sekadar untuk Biung, melainkan dia juga.

"Lantas apa kamu benar akan berniat menikahi Arni?" tanya Biung kepadaku.

"Dia bersuami, mana mungkin aku menikahinya, Biung."

"Dan berita jika Arni ingin bercerai dengan Muri sudah merebak di seluruh kampung, Juna. Katanya, setelah dia lepas dari Muri, kamu yang akan menikahinya. Apa itu benar?"

Aku diam ndhak bisa menjawab ucapan Biung. Sungguh aku sama sekali ndhak menyangka. Bagaimana bisa beritanya sampai sejauh ini.

"Jangan pernah merebut, jika kebahagiaanmu ndhak mau direnggut. Itu adalah kata yang sering diucapkan oleh romomu dulu kepada Biung, saat Biung terlena dengan cinta. Lalu, sifat keras kepala Biung membutakan segalanya. Dan kamu tahu apa yang terjadi setelah Bing berhasil membuat romomu Adrian berpisah dari istri-istrinya, Juna?"

Aku menggeleng menjawabi ucapan Biung. Sungguh, aku membenci setiap Biung membahas masalah ini. Sebab luka yang Biung dapat, selalu menganga kembali dengan begitu nyata.

"Biung kehilangan romomu untuk selamanya. Gusti Pangeran menegur Biung, karena telah menjadi perebut yang sangat kejam. Biung hanya, Biung ndhak mau kamu mengulang kesalahan yang Biung lakukan, Juna. Jujur, jikalau Arni telah menjadi janda, Biung dengan senang hati menerima keputusanmu. Asal jandanya Arni bukan kamu yang mengakibatkannya. Apa kamu paham dengan maksud biungmu ini?"

"Ndoro bisakah aku pamit sekarang? Aku hendak pergi ke rumah pintar," kata Manis menengahi percakapanku dengan Biung.

"Biung, aku mau mengambil air. Tunggulah sebentar, ya," kataku. Keluar menyusul kepergian Manis.

Aku ingin menjelaskan sesuatu kepada Manis. Agar dia ndhak salah paham lagi kepadaku. Tapi, aku juga bingung. Apa yang harus kujelaskan kepadanya sekarang?

"Manis, tunggulah barang sebentar. Aku ingin bercakap denganmu," kubilang.

Tapi Manis mengabaikanku, membuatku terpaksa menarik tangannya dan membawanya masuk ke kamar Rianti. Menguncinya dari dalam agar ndhak ada orang lain yang tahu.

"Aku ingin berbincang denganmu,"

"Ada apa, toh? Kamu mau bicara apa? Aku sedang sibuk sekarang," jawabnya. Cukup dingin sampai membuatku tahu jika saat ini Manis benar-benar telah membenciku.

"Masalah aku dan Arni, aku ingin menjelaskannya kepadamu. Aku ndhak mau kamu salah paham."

"Kamu jelaskan bagaimana, toh, Juna? Semuanya sudah jelas begitu, lho. Dan aku turut bahagia sebab kamu telah bersama perempuan yang selama ini kamu damba," ucapnya.

"Aku jatuh hati denganmu, Manis. Bukan dengan Arni," kataku.

Tapi, Manis malah tersenyum sinis. Dia bersedekap kemudian menatap mataku lekat-lekat.

"Jangan suka mengumbar janji, jika niatmu untuk menyakiti. Ini hati bukan tempat bermain laki-laki yang ndhak tahu diri."

Setelah mengatakan itu Manis langsung pergi. Meninggalkanku dengan bodoh di sini. Sial, memang. Bagaimana bisa hidupku bisa sekacau ini?

Aku hendak pergi, tapi di depan pintu sudah ada Romo Nathan berdiri dengan angkuh di sana. Tatapannya tajam, seolah dia ingin mengulitiku saat ini juga.

Gusti, apakah dia mendengar percakapanku dengan Manis? Jika benar dia mendengar, pastilah akan banyak hal yang harus kujelaskan kepadanya agar dia ndhak marah lagi.

Romo, jujur... aku ndhak pernah berniat untuk menyakitimu.