Aku sudah berusaha berkata jujur sejujurnya kalau aku tak mendapatkan perhiasan itu dengan cara haram.
Tapi wanita dengan rambut setengah memutih itu tak percaya, ia bahkan dengan tega membiarkan ku tidur di gudang malam ini.
Tubuhku dilempar paksa, dan mendarat sempurna di ubin dengan permukaan kasar.
Rumah tua dengan ubin alakadar, juga atap asbes, rumah semi permanen dengan ukuran sederhana itu sudah kami tinggali lebih dari 10 tahun.
Ibu hanyalah seorang janda yang ditinggal kan ayah, ia hanya mampu menyewa rumah sederhana itu untuk kami hidup.
Berprofesi sebagai buruh serabutan membuat hidup ku terbiasa susah. Bahkan sampai kini, walau aku sudah bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan besar, tapi hidup kami masih di bawah kata berkecukupan.
Semua itu karena almarhum ayah yang meninggalkan segudang hutang. Dan aku kini bertugas untuk mencicil hutang ayah.
Sekotak perhiasan milik Shierly itu harus diambil paksa oleh ibu, aku pun tak berani menentangnya.
Aku hanya bisa merelakan perhiasan itu, dan kini aku terdiam dalam bingung. Bagaimana caranya aku bisa menggantikan perhiasan milik Shierly?
Aku benar-benar takut jika Shierly marah dan tak terima, sementara aku tahu itu adalah perhiasan asli yang tak mungkin bisa aku beli.
Mungkin butuh waktu lima tahun penuh untuk membeli perhiasan itu.
Aku hanya bisa bersandar pada balik pintu dengan kaki terlipat. Ku coba menyekah air mata dan ku tarik nafas panjang.
Aku tak ingin terus menangis, ingat masih ada hari esok, ucapku pada diriku sendiri.
Seperti biasa pintu itu akan dibuka oleh ibu tepat pukul 5 pagi, dimana ibu sudah bersiap untuk berangkat kerja. Sebagai asisten rumah tangga.
Aku pun segera mandi dan bersiap berangkat kerja. Tapi sebelum itu aku harus memastikan jika keadaan rumah sudah rapi, tak ada cucian piring kotor, tak ada tumpukan baju di kamar mandi juga lantai yang sudah bersih.
Kulirik jam di dinding, dan mata ku melotot, bagaimana tidak ini sudah pukul 6.30, jantungku makin tak karuan, aku harus segera bergegas. Jika tidak aku akan terlambat.
Sampai-sampai aku mengenakan sandal jepit agar aku bisa berlarian dengan cepat, dan sepatu pantofel itu dibungkus dengan plastik hitam dan ku tenteng menaiki bus.
Dengan cuek aku tak menghiraukan sekitar, aku berdiri dengan setengah menjinjit, karena tinggi ku yang hanya 155 senti untuk menggapai pegangan.
Benar saja, kondisi dalam bus yang penuh dan sumpek, bahkan aku harus berdesak-desakan mempertahankan posisi ku, belum lagi di setiap pemberhentian halte, semua orang akan saling sikut menyikut berusaha masuk secara paksa.
Ku lihat halte pemberhentian tujuan ku, yang tak jauh lagi kurang lebih 2 halte lagi, aku mulai mendekat pada pintu keluar dengan berpegang pada reli-reli bus.
Tak elak sesekali aku memegang penumpang lainnya, untuk menopang tubuhku agar seimbang. Dan tak lupa ku ucapkan 'Maaf'.
Ini kali pertamanya aku datang mepet, biasanya aku lebih awal. Tapi karena cucian baju yang menumpuk juga karena aku terlambat bangun setengah jam membuat aku harus berkejar-kejaran dengan waktu.
Akhirnya aku selamat dan langkah lebar kuambil, aku berlarian agar lebih cepat sampai di kantor. Walaupun nafasku sudah terengah-engah.
Huhh.. hah..
Security itu hampir menutup pagar, dan aku dengan cepat melambaikan tangan, "Pak tunggu!" teriak ku sekuat mungkin.
"Cepat Bu Tiqah!" ucap kedua security itu kompak.
Aku pun segera masuk tapi salah seorang security menghentikan ku, "Loh kenapa?" tanya ku kesal dengan nafas masih tak beraturan.
"Pakai dulu sepatunya!"
"Oh," jawabku dengan wajah jutek, dan segera kuraih kantong kresek hitam di dalam tasku yang berukuran cukup besar.
Mata ku membelit seketika, dan jantungku berhenti sejenak.
"Kenapa?" tanya Security itu dengan memperhatikan ku.
Aku diam, dengan wajah mulai pucat, keringat sebesar jagung itu mulai menetes di balik baju juga dari dahi ku.
"Mati!!"
"Ha?" 2 menit lagi!" ujar Security itu memperingati ku.
Aku pasrah, dan hanya memilih menyudut di ujung pagar yang tinggi nya 2 kali lipat dari tinggi badan ku.
"Please biarin aku masuk!" pinta ku pada security.
Security itu memasang wajah aneh, ia tak mengerti dengan wajahku yang memelas.
"Cepat non sebelum--,"
Mobil Pajero sport putih bersih lewat, dan pagar itu terbuka lebar. Ketiga security berlarian kompak membukakan pagar lebar-lebar.
Dan itu saatnya aku menyelinap masuk. Aku berlari sekencang mungkin. Dan akhirnya aku berhasil.
Huh… hahh
Nafas ku kembali terengah-engah, bahkan 3 kali lipat lebih sesak dari sebelumnya.
Dengan cepat ku pencet lift dan aku bersyukur bisa sampai di meja kerja tepat waktu. Tak kurang semenit pun.
"Tiq, Tiq!" panggil Tita pada ku, padahal aku masih ingin duduk, kaki ku capek sekali sedari tadi harus berlari dan berlari, belum lagi berdiri di bus.
"Bentar," tunda ku pada Tita.
Tita memelototkan matanya pada ku, dan aku masih tak menghiraukannya, aku memilih untuk merogoh botol minum ku dalam tas.
Glegg..
Dua teguk cukup untuk membasahi tenggorokan ku yang kering, dan kini aku terasa hidup kembali.
Untung saja sahabat ku Tita bisa diandalkan, ia selalu membawa sepatu dua, dan aku bisa meminjamnya untuk hari ini.
Huhhh,
Hela nafasku legah, dan aku bersiap untuk bekerja. Di perusahaan ku mewajibkan untuk 7 menit awal kita akan berdiri bersama dan berdoa serta melakukan sedikit peregangan. Gerakan simple untuk menghilangkan nyeri pada pinggang.
Aku berdiri, dan bersiap,
Brukkk,
Saat aku berbalik, betapa terkejutnya aku, mendapati seorang laki-laki, bertubuh tinggi besar, kulit putih dan mata besar serta kumis tipis, druangCvuvyyvyygvvuCvvvyvvVgvbhv tampan tapi wajahnya terlihat tak ramah, dengan sorot mata tajam ia tepat berada di depan ku.
Membuat aku benar-benar kaget. "Astaga!" ucap ku, dengan ikut membelitkan mata.
Sementara sahabatku Tita yang ada di seberang meja, ia menatap ku dengan fasih. Ia bahkan ikut tegang.
Aku hanya bisa meneguk ludah, dan memilih untuk menunduk, aku tak tahu siapa laki-laki yang sedang menatapku tajam.
Ia masih setia di depan ku dengan menyorot tajam penampilan ku. "Kau!"
"Sa--saya Ashilla pak!" jawabku.
"Maksud ku kau gadis yang tadi menyelinap masuk!" ucapnya dengan lantang.
Membuat aku tercengang dan tak bisa berkata-kata. Ternyata laki-laki itu adalah orang yang ada di dalam mobil putih tadi, jangan-jangan dia--
Aku mengangguk, "Ke Ruangan ku Sekarang juga!" seru nya dengan nada serius.
Aku kembali mengiyakan, "Ba--baik pak!" jawabku dengan suara lirih menahan takut.
"Mati, apa salahku?" tanya ku dalam hati, dengan mengikuti langkah laki-laki tinggi besar itu.
Kami menuju lantai atas, dan aku tak tahu akan dibawa kemana, aku hanya mengikut saja dengan sesekali melirik kiri dan kanan.