Pov Devandra Sanjaya
Makan malam keluarga Sanjaya selalu saja berjalan sepi dan lambat. Padahal semua anggota keluarga inti sedang berkumpul untuk menikmati hidangan di depan mereka, namun terasa jauh. Entah kenapa berada dekat dengan keluarganya sendiri malah tak bisa menghapus kesepian di hati Devan.
"Dev, bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Mama Wina. Dan hanya dia satu-satunya orang yang peduli dan sadar akan kehadiran Devan di sana.
"Baik, Ma," sahutnya singkat.
"Wali kelasmu Raya, pacar Claytone 'kan? Kalau kesulitan belajar matematika, undang saja dia ke sini. Kalau perlu suruh dia kasih les privat di rumah."
Senyuman Devan mulai mengembang di sudut bibir tiap mendengar nama Raya disebut. "Memang boleh, Ma. Aku berencana les privat dengan Bu Raya."
"Jangan Raya, Ma. Nanti aku nggak bebas mau ngapa-ngapain. Mending kamu cari guru les yang lain saja," sergah Claytone yang tak ingin kehidupan pribadinya di rumah diusik pacar sendiri.
"Tidak bebas? Bukannya Kak Clay juga jarang di rumah. Jadi nggak masalah dong kalau Raya datang ke sini sebagai guru privatku?"
"Pokoknya jangan dia. Guru yang lain 'kan masih banyak," tolak Clay seraya meninggikan suara.
"Oh, Kakak takut ketahuan selingkuh di belakangnya? Atau malah takut terbuka topeng munafikmu itu di depan Raya?" sindir Devandra tak mau mengalah sedikit pun jika berdebat dengan kakaknya.
Brak!
Tuan Sanjaya menggebrak meja makan karena sudah tak tahan lagi mendengar pertengkaran antara kedua putra kesayangannya. "Habiskan makanan kalian. Aku tak mau ada yang membawa masalah saat makan bersama seperti ini. Kalian bukan lagi anak kecil. Berpikirlah dewasa sedikit."
"Aku sudah selesai makan." Devan berjalan menuju kamarnya agar bisa menenangkan diri.
Dia membuka ponsel untuk menemukan satu foto seorang wanita yang tersenyum di depan kelas ... foto manis Raya. Sudah lama dia suka melihat senyum Raya. Tepatnya sejak Devan masih sekolah di Singapura.
Saat itu Clay datang mengunjunginya sekalian liburan akhir tahun. Clay banyak bercerita tentang Raya, seorang guru matematika yang bekerja di yayasan milik ayah mereka. Devan bahkan tak yakin Clay bisa mencintai Raya dengan tulus karena dia tahu sifat busuk kakaknya yang suka mempermainkan perasaan wanita. Devan yakin kekasih Clay tak hanya Raya saja. Dan terbukti, di Singapura Clay membawa gebetannya ke rumah mereka di sana.
Dari situ, Devan tertarik dengan Raya dan dia mulai stalking akun media sosial milik si guru cantik itu. Saat tahu hari ulang tahun Raya, dia ingin sekali mengirimkan kado istimewa untuk Raya di Indonesia. Tapi apa? Akhirnya Devan meminta pendapat sahabat masa kecilnya di Indonesia, Luna.
Devan ingat sekali saat Luna menyarankan membeli sesuatu yang dibutuhkan wanita. Dia berpikir bra dan celana dalam adalah hal yang memang diperlukan oleh perempuan 'kan? Lalu di mana letak salahnya? Devan tak mengerti kenapa Raya malah marah menerima kado spesial itu?
***
Pagi sekali Devan sudah bersiap berangkat ke sekolah. Ini pengalaman pertama bangun pagi tanpa harus diperintah dulu oleh orang di rumahnya. Pulang ke Indonesia membuatnya rajin bangun pagi. Semua karena Raya. Ya, Devan berniat menunggu guru cantik itu di gerbang sekolah. Satu hal yang kini berubah menjadi kebiasaan.
"Pagi, Raya," sapa Devan merangkul tubuh mungil gurunya. Rambut hitam Raya masih sedikit basah dan mengeluarkan aroma khas bunga lavender yang sangat Devan suka.
"Ibu. Panggil aku Ibu Raya. Ini di sekolah, Devan. Kamu harus sopan dengan gurumu sendiri." Raya berkacak pinggang sembari melotot ke arah Devan.
"Siapa bilang ini di pasar, Bu? Baiklah, aku akan memanggilmu ... Sayang."
Gubrak!
"Ini masih pagi, Devan. Jangan buat aku darah tinggi," omel Raya sambil mengatur napasnya. "Sudahlah, sebaiknya kita jangan dekat-dekat lagi. Aku takut timbul gosip tentang kita di sekolah ini," imbuhnya masih memarahi anak muridnya itu.
Sepersekian detik Devan terpesona. Wajah Raya di segala suasana, entah sedang marah, sedang bahagia, layaknya candu bagi Devan.
"Cantik," celetuk Devan.
"He? Kamu barusan bilang apa? Kamu tidak mendengar apa yang aku sampaikan dari tadi, ya?" Raya mengipas-ngipas jemarinya berlagak seperti orang kepanasan.
"Dengar, Bu. Tapi saya tidak peduli jika ada gosip di antara kita. Memangnya salah jika kita dekat? Toh, kata Ibu sebentar lagi akan menikah dengan Kakakku. Jadi sebaiknya kita belajar akrab dari sekarang." Devan sungguh pintar beralasan hingga membuat wanita itu terdiam. Lalu Raya melangkah pergi. "Bu, kita masih punya waktu 30 menit sebelum kelas dimulai. Mau sarapan denganku di kantin?"
"Tidak, terima kasih," balas Raya tak bersemangat.
Devan tak patah semangat. Dia masih berusaha. "Bagaimana dengan secangkir kopi saja, Bu?"
Kali ini tak ada jawaban dari Raya.
"Ya sudah, kalau begitu mata pelajaran pertama saya bolos saja. Lebih baik tidur di balkon atas," akunya jujur. "Saya sudah bangun pagi-pagi hanya ingin makan bersama Ibu di kantin. Dan Anda tak menghargainya." Devan memang berniat membolos pada jam pertama jika Raya benar-benar tak meresponnya.
Raya menghentikan langkahnya. Membeku sejenak sebelum akhirnya berbalik arah. "Baiklah. Ayo kita makan di kantin."
"Asyik, Ibu yang traktir, ya." Devan berjalan riang gembira di samping Raya.
"Kamu mau pesan apa, Dev?" tanya Raya begitu mereka tiba di kantin sekolah.
Devan menunjuk beberapa kue dan memesan jeruk hangat. Sedangkan, Raya hanya memesan teh manis saja.
"Makannya pelan-pelan, Dev. Memangnya kamu belum sarapan dari rumah?" Raya heran dengan gaya makan Devan yang begitu lahapnya.
"Tidak. 'Kan saya berangkat pagi ke sekolah untuk sarapan dengan Ibu." Sesekali dia terbatuk-batuk karena tersedak makanan.
Raya langsung cekatan mengambilkan minum. "Makanya kalau makan jangan terburu-buru. Ini minum dulu."
"Saya takut bel sekolah berbunyi sebelum semua makanan ini habis."
"Kan bisa dimakan nanti." Raya menyeruput minumannya.
Dan dalam pandangan mata Devan, gerakan Raya menjadi slow motion. Mulai dari bibir kecilnya menyentuh pinggiran gelas putih, hingga aliran air yang tampak dari lehernya. Rasanya seperti melihat iklan sebuah minum di televisi. Seksi sekali.
"Eh, ayo cepat dihabiskan. Katanya mau ditemani."
Devan cengengesan. "Baik, Bu. Oya, hari ini Ibu bawa bekal makanan?"
"Iya," jawab Raya pendek.
"Masak apa, Bu?"
"Orak-arik tempe tahu. Kenapa memangnya?"
"Sepertinya enak. Nanti jam istirahat, saya ditraktir makan siang ya, Bu."
Raya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Dompetku ketinggalan, Bu." Devan menunjukkan ekspresi memelas.
"Ya sudah, nanti siang datang ke ruanganku." Raya tersenyum. Dan sepanjang ingatan Devan, itu adalah senyum paling manis yang diberikan untuknya.
"Bu, sekalian tolong bayarin bensin motor saya, ya."
Pyar!
Pecah sudah wajah tenang Raya. Kini dia melenggang pergi meninggalkan bocah itu dengan emosi membuncah di dada.