webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Adolescente
Classificações insuficientes
287 Chs

Sebuah permintaan

Aku hendak pergi ke sekolah seperti biasa, namun dari kejauhan sudah nampak terlihat Choco berdiri disana. Aku ragu untuk terus melangkahkan kaki menuju halte bis mengingat apa yang sudah dia katakan di telepon kemarin siang. Tapi aku harus menunggu bis datang untuk pergi ke sekolah, sungguh sial. Kenapa dia harus berdiri disitu?

"Rose, aku ingin bicara."

"Aku harus ke sekolah, jangan menghalangiku." Aku segera menghindari Choco yang hendak menyentuh tanganku dan menjaga jarak dari hadapannya. Choco tampak terkejut melihat sikapku.

"A-apa kau, takut padaku?" tanya Choco terbata-bata.

"Aku sudah katakan, aku harus ke sekolah." Aku menegaskannya kembali dan kulihat bis sudah menuju ke halte.

"Aku ingin bicara, kenapa kau tidak mengerti?" nada bicara Choco terdengar begitu marah hingga beberapa orang dan siswi yang menunggu bis bersamaku menatap ke arah kami.

Begitu bis telah sampai di halte aku bergegas masuk ke dalam dan meninggalkan Choco begitu saja. Aku tidak berani menoleh ke arah belakang untuk melihat Choco, entah kenapa ada rasa takut dari hatiku melihatnya pagi ini. Bukan lagi rasa bahagia atau senang. Ini sungguh hari yang berat, di sekolah aku kehilangan fokus dan konsentrasi untuk belajar, mencerna semua mata pelajaran di sekolah.

Hingga kembali tiba di rumah, aku hanya bisa terdiam dan memikirkan yang saat ini sedang terjadi padaku. Apa yang harus aku lakukan? Rasanya seperti ada yang kurang, sepi tanpa kabar dari Choco. Akan tetapi, seolah batin kami saling terikat. Panggilan telepon mendarat di layar ponselku betapa hati ini terkejut bercampur senang dalam hati ketika nama Choco yang terbaca olehku.

"Ha-halo…" jawabku.

"Rose, maafkan aku. Aku sungguh minta maaf, kalaupun kau memintaku untuk bersujud padamu kini aku akan lakukan."

"Apa yang kau bicarakan?" balasku.

"Aku sungguh tidak bisa mengendalikan apa yang aku katakan padamu kemarin. Aku sedang… Eng… Aku sedang di party temanku, dan kami menghabiskan banyak alkohol."

Aku terdiam. Napasku terasa berat, aku tidak tau harus menjawab apa lagi untuk menanggapinya.

"Rose, mari kita menikah saja."

Aku tersentak. "Hey, apa yang kau katakan?" napasku menderu hebat.

"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Apa kau sungguh tidak tau itu, Rose?"

"Apa kau masih dalam pengaruh alkohol?"

"Tidak, tidak, Rose. Tidak… Aku sedang berdiri dan menatap ke rumah mu."

Degh! Hatiku tersentak kembali. Menikah? Oh tidak. Ini tidak pernah aku pikirkan akan sejauh ini, yang kupikirkan hanyalah pendidikanku berhasil dengan memuaskan dan aku akan menggapai cita serta harapan kedua orang tuaku nantinya. Pikiranku kembali berkecamuk saat ini.

"Rose…" panggil Choco.

"Apa kau tau kita berbeda keyakinan, Cho?"

Hening. Tanpa suara, yang terdengar hanya deru napasnya yang seolah naik turun menahan suatu hal.

"Maafkan aku." Kembali aku berbicara.

"Apa kau ingin aku mengikuti keyakinan mu dan keluarga mu?"

Kini giliranku yang terdiam membisu.

"Rose, apakah mereka akan menerimaku?'

"Apa kau sungguh-sungguh?" untuk sejenak aku merasa ini pertanyaan konyol. Harusnya aku tidak bertanya hal ini.

"Ya, asal… Kita segera menikah."

"Itu tidak mungkin, Cho. Kau tau aku masih dalam dunia pendidikan. Aku masih ingin melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang jauh lebih tinggi nantinya demi harapan kedua orang tuaku."

"Ayolah Rose, mengertilah."

"Apa yang harus aku mengerti, hah?"

"Kau… Kau ini wanita, kau tidak perlu menuntut ilmu setinggi langit sedang nantinya kau hanya akan menjadi seorang ibu, kau hanya perlu mengurus suami mu. Kau hanya akan sibuk di dapur untuk memasak enak demi anak dan suamimu."

"Kau sungguh gila,Choco." Aku berbicara begitu saja tanpa berpikir kembali.

"Rose…"

"Choco! Aku sungguh kecewa padamu. Apa kau sadar apa yang kau katakan baru saja?"

"Heh, ternyata kau memang tidak mencintaiku. Rose…"

Aku menarik napas dalam-dalam. mengaturnya untuk menahan emosi yang kini sudah sampai di atas kepalaku.

"Bukankah kau harusnya senang aku akan menuruti mau mu dan orang tua mu, aku rela untuk meninggalkan keyakinanku pada Tuhanku demi cintaku padamu. Tapi kau…"

"Tsk, ini sungguh gila." Aku mematikan panggilan telepon Choco begitu saja.

Sungguh, hatiku bagai di cabik-cabik. Sakit, sungguh sakit. Aku tidak menduga, sungguh. Dia yang begitu aku sukai, aku jatuh hati padanya, aku selalu terhibur dan bahagia setiap kali bersamanya harus merasa kecewa berkali lipat seperti ini. Kenapa? kenapa dia melakukan ini padaku? Dia bahkan tidak lagi menghargaiku sebagai wanita yang dia cintai.

Air mata mengalir dengan derasnya. Di satu sisi aku benar-benar merasa di rendahkan olehnya sebagai seorang wanita. Sesaat kemudian, suara ketukan pintu kamar mengejutkanku. Aku segera menyapu air mataku dan membukakan pintu, kini ibu berdiri di depan dan menatapku dalam-dalam.

"Apa lagi yang terjadi kali ini?" tanya ibu padaku.

"Bu, aku…"

"Katakan pada ibu, ibu mendengar kau berbicara dengan nada marah."

Aku menundukkan kepala.

"Katakan, Nak."

"Bu, apakah seorang wanita tidak boleh sukses? Apakah seorang wanita tidak pantas memiliki gelar atau jabatan yang tinggi? Apakah seorang wanita tidak boleh berkarir?" aku berbicara pada ibu tanpa bernapas.

"Hey hey… Tenang lah, katakan pada ibu siapa yang memiliki pikiran sempit seperti itu?" ibu memelukku untuk menenangkanku.

Tangisanku pecah dalam dekapan ibu.

"Sssttt… Cup cup cup, tenanglah, Nak. Jangan menangis seperti ini, kau membuat ibu bingung dan takut. katakan lah pelan-pelan dan jujur pada ibu ada apa?"

Aku melepaskan dekapan ibu lantas menggenggam tangannya. "Bu, Choco…" ucapanku terhenti sejenak ketika ibu menguatkan genggaman tangannya padaku.

"Apakah dia yang membuatmu seperti ini?"

Aku menarik napas sedalam mungkin. "Bu, dia mengajakku menikah."

"Apa? Gila, kau… KAu masih sekolah." Ibu tampaknya sedikit shock juga kesal mendengar hal ini.

"Dia ingin berpindah keyakinan dan menikahiku asalkan… Aku berhenti dari sekolah dan menikah dengannya."

"Oh Tuhan, apa dia sudah gila?" ibu kembali mengomel.

Tak tanggung-tanggung aku menceritakan semua, semua yang Choco katakan padaku tadi dan ibu benar-benar penuh dengan emosi kali ini. Dia hendak pergi untuk menemui Choco di tempat nya bekerja. "Ibu, tolong. Kumohon, jangan lakukan itu. Tidak perlu ibu memarahinya, Bu. Ini hanya kan membuat ibu malu saja nanti."

"Tapi, Nak…"

"Bu, please… Rose mohon, jangan lakukan itu."

"Lantas apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan masih menyukai laki-laki yang tidak meghargaimu seperti nya?"

Aku tersentak kembali menatap wajah ibu. Aku tau, hanya ibu yang mengerti dan mengetahui akan perasaanku ini pada Choco yang sudah lama aku pendam dalam hati. Aku menggelengkan kepala dengan pelan, tapi dalam hatiku yang terdalam rasa itu masih ada. Aku tidak tau dengan cara apa menghapusnya kembali saat ini.

"Bu, aku akan melupakannya. Aku akan menjauhinya, aku tidak ingin bertemu lagi dengannya."