webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Adolescente
Classificações insuficientes
287 Chs

Mazen, si Playboy

Satu minggu berlalu, aku masih mendapatkan pesan dari laki-laki yang hingga saat ini aku tidak ketahui. Dia terus saja mengirim pesan singkat, terkadang dengan pujian, dengan nasehat, dan rasa inginnya yang begitu menggebu untuk bertemu denganku.

Semakin lama aku semakin merasa dia seperti peneror bagiku. Tentu saja, aku merasa gelisah juga takut. Aku juga merasa kesal lantaran sedikit terganggu olehnya.

Pagi ini, seperti biasa aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sampai di halte bus. Lagi dan lagi, aku harus melewati jalan di depan rumah kak Janet, karena hanya itu jalanan yang terdekat yang bisa kutempuh menuju halte bus.

Kulihat kak Janet tengah menyapu halaman rumahnya, haruskah aku menyapanya? Ah, rasanya aku sangat enggan. Dia tidak ada bedanya dengan Choco, hanya bisa melimpahkan kesalahan padaku saja.

Aku terpaksa berjalan dengan langkah tegap tanpa menoleh padanya. Aku tidak peduli meski hubungan kami akan semakin renggang atau saling membenci sekalipun. Memang apa salahku? Choco hanya laki-laki tidak beruntung yang berani mengecewakanku dan meminta perlindungan kak Janet.

Langkahku semakin kupercepat untuk segera melewati jalanan rumah kak Janet. Rasanya sangat pegal, keringat mulai membasahi bagian kepalaku dengan langkah kaki yang begitu cepat sejak tadi.

Hingga kini aku sampai di halte bus tempatku biasa menunggu bus jurusan ke sekolahku. Aku masih harus menunggu selama 10 menit untuk penjemputan bus datang menghampiriku.

Disela penantianku, terdengar suara klakson motor datang dari arah samping lalu berhenti tepat di depanku. Sontak aku melonjak mundur satu langkah dari arah motoe tersebut.

Aku mengumpat dalam hati dan menoleh ke arahnya, ternyata dia adalah teman Reno, laki-laki yang pernah kutemui beberapa waktu lalu.

"Hai, Rose..." sapanya dengan tersenyum manis padaku.

"Ha-hai," sahutku menyambutnya dengan terbata-bata. Ah, rasanya kedua kakiku seperti tidak menginjak bumi saat ini.

"Kau menunggu bus?"

"Hem, iya. Aku... Sedang menunggu bus." dengan terbata-bata aku menjawabnya.

"Mmh... Mau kuantar saja?"

Apa? Dia mau mengantarku? Ke sekolah? Hello, kita tidak saling mengenal.

"Ti-tidak perlu, aku... Naik bus saja," jawabku kembali dengan kikuk.

Kulihat dia tampak kecewa meski tetap mengulas senyuman padaku. Beruntung, bus yang kunantikan datang lalu berhenti di depanku.

"Maaf, aku harus pergi ke sekolah." aku melangkah pergi dari hadapannya lalu segera menaiki bus yang akan mengantarku sampai di sekolah.

Dia kembali hanya tersenyum tanpa kata. Aku tidak berani menoleh ke belakang, aku bisa memastikannya dia masih berdiri di belakang menatap bus yang kutumpangi.

"Ish... Dasar kau, Rose. Kau bodoh!" aku memukuli keningku sendiri dengan gemas.

Sampai di sekolah, aku bergegas menuju ruang kelas. Sampai di tengah pintu, salah satu teman kelas laki-lakiku menghadangku.

"Minggir! Aku mau masuk!" ujarku mencetusnya.

"Rose, apa kau masih berpacaran dengan laki-laki yang dari kota itu?"

Sial! Dimana dia mendengar hal itu? Apakah teman-teman yang menceritakannya? Dasar mulut ember!

"Rose..."

"Minggir! Aku mau masuk!" cetusku mengulang ucapan tadi.

"Jawab dulu, apakah mau benar-benar putus dengan laki-laki dari kota itu?"

Aku terkesiap mendengarnya, namun aku harus berpura-pura tetap tenang dan santai.

"Ya, aku sudah putus. Apa kau puas?" rasanya sangat sesak aku menjawabnya demikian.

"Mmh... Kau mau pacaran denganku?"

Kembali aku terkesiap, tapi kali ini sepertinya aku ketahuan olehnya saat aku mengerjapkan kedua mataku. Dia menyeringai usai mengucapkan hal itu padaku.

Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya untuk berpindah dari hadapanku. Aku berhasil mendorongnya dari depan pintu kelas.

"Aku sedang tidak ingin berpacaran. Sebentar lagi hari pelulusan, aku ingin fokus belajar."

"Rose, kau keterlaluan! Aku sudah lama menyukaimu, apa kau masih tidak peka akan hal itu?"

Aku mengacuhkannya, itu harus! Aku tahu itu, jika selama ini dia mengincarku, dia menyukaiku, dia ingin memilikiku. Tapi, laki-laki sepertinya yang terkenal suka menggoda dan memacari adik-adik kelas di sekolah ini, apakah aku harus menerimanya sebagai pacar? Oh, tidak!

Dia Mazen, teman sekelasku. Sejak duduk di bangku SMP kami selalu satu kelas dan satu jurusan. Dia cukup populer di sekolah, khususnya diantara semua teman-teman wanita.

Dan itu yang membuatku enggan menerimanya sebagai pacar. Rasa tidak percaya diri, juga rasa takut akan teror dari tatapan mereka para teman wanita yang mengincarnya. Tentu akan membuatku tidak nyaman di sekolah ini.

Sebentar lagi aku akan menuju akhir dari sekolah ini. Aku harus lulus dengan nilai dan predikat terbaik, lalu aku akan meyakinkan ayah dan ibuku untuk membiayai kuliahku nanti.

"Rose..." panggil Mazen kembali menghampiriku. Hingga beberapa teman sekelas sudah melangkah masuk dan melihat Mazen duduk di sisiku.

"Mazen, tolong! Jangan terus mencandaiku."

"Aku tidak sedang bercanda, aku benar-benar menyukaimu, aku ingin kau menjadi kekasihku sebelum nantinya kita akan berpisah dengan hari pelulusan."

Seketika aku menoleh menatap wajahnya. "Apa maksudmu berpisah?"

"Ya... Kalau kita lulus nanti, bukankah aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi?" balas Mazen menjawabnya.

"Apaan sih? Kamu pikir aku ini barang? Kau hanya akan menjadikanku pacar sementara, begitu?"

"Tsk... Rose, aku tidak berkata demikian. Kau sungguh sensitif," balasnya mengataiku.

"Huuuuu... Mazen, kau keterlaluan!" seru teman-teman yang lain meledeknya. Sehingga dia tampak terlihat malu lalu beranjak pergi dari hadapanku.

Sial! Dia tidak ada bedanya dengan Choco, dia menyebalkan! Sungguh menyebalkan, ah... Aku ingin sekali marah, seakan semua rasa kesal dan rasa sakit ini penyebabnya hanya satu, karena Choco.