Aku kembali ke sekolah seperti biasanya. Meski sampai detik ini, ibu masih bersikap dingin padaku. Ini sudah satu minggu berlalu, tapi ibu masih mengacuhkanku.
Hubunganku dengan Choco berjalan mulus, meski dia sudah mengetahui bahwa ibu tidak menyukainya, tidak membuatnya merasa harus mengakhiri hubungan kami. Dia justru semakin romantis saja, membuatku selalu tersenyum setiap saat.
Bahkan di sekolah, kabarku mendapatkan seorang pacar dari Kota dan cukup populer di sekolahnya, membuatmu lebih percaya diri dan sombong hati.
Aku menjauhi teman laki-laki sekelasku, aku hanya terus menceritakan hal-hal yang sempurna tentang Choco saja pada teman-teman wanitaku di kelas.
"Wah, kau hebat, Rose! Kau bisa berpacaran dengan cowok dari kota sana, pasti dia sangat tampan!" ujar salah satu teman dekatku di sekolah.
"Hem, yah. Dia bukan hanya tampan, dia juara atlet di sekolahnya. Dia tinggi menawan, selain itu dia jago bernyanyi dan bermain gitar. Aaah, aku jadi rindu sekali padanya." aku mulai membayangkannya lagi lagi dan lagi.
Sungguh, jatuh cinta memang berjuta rasa indahnya. Setiap detik selalu memikirkannya, andai saja jarak kami begitu dekat. Aku ingin selalu menemuinya.
"Tapi, Rose... Kau juga sangat berani. Dia itu tinggal di kota, apa kau tidak takut jika dia... Ehhem, kudengar para lelaki di kota sangat nakal. Hihihi..."
Aku tertegun seraya menelan paksa air liurku. Tiba-tiba saja aku terbayang akan sikap Choco saat terakhir sebelum dia pergi. Dia hampir menyentuh bagian dadaku, seketika aku merinding mengingatnya.
"Hai, Rose. Kau, hahaha... Kau bergidik! Hem, sepertinya kau... Hahaha, apakah kalian sudah mela..."
"Tidak-tidak, apa yang kalian pikirkan? Kami... Kami hanya berciuman, lagipula... Aku masih virgin. Dan ini sebuah kehormatan yang paling berharga sampai aku menikah nanti," jawabku malu-malu.
"Astaga, Rose! Kenapa kau begitu norak, zaman sekarang menikmati suatu hubungan dengan melakukan itu konon, akan membuat suatu hubungan menjadi semakin awet dan lengket," ujar salah satu temanku lagi. Dia berbicara begitu seraya berbisik dan cukup serius.
Aku kian bergidik dibuatnya. Pikirannya itu sungguh kotor, bukan?
"Kalian sungguh gila!" sahutku menimpalinya.
"Hahaha, lihat wajahmu, Rose. Kau tersipu malu, hahaha..."
Mereka menjadikanku bahan tertawaan mereka. Tapi obrolan mereka kali ini sungguh membuatku malu.
~
Ketika sudah sampai di rumah, aku langsung memasuki kamar dan berjam-jam hanya terdiam menatap langit kamar.
Aku memikirkan semua obrolan teman-temanku di sekolah tadi, seakan terus terngiang-ngiang ingin meyakinkanku bahwa Choco adalah laki-laki yang tidak baik hanya karena dia tinggal di kota.
Mereka pikir, pergaulan disana sangat bebas dan mereka menganggap bahkan menjadikan hubunganku dengan Choco menjadi sebuah taruhan. Bahwa Choco akan berani menyentuhku lebih dari sekedar ciuman saja.
"Akh, aku hampir gila memikirkan ini saja sejak tadi. Belum lagi sikap ibu yang masih saja menolak hubunganku dengan Choco."
Aku segera beranjak bangun dan harus mengajak ibu bicara. Rasanya aku pun tidak bisa terus menerus berdiam diri dari ibu, aku pun tidak bisa melihat ibu terus mendiamiku.
"Bu... Aku mau bicara," ujarku menghampiri ibu di meja dapur. Dia sedang mengupas buah mangga, buah kesukaanku.
"Hem, apa lagi? Tentang anak kota itu? Ibu sedang tidak ingin membicarakannya," cetus ibu tanpa menolehku.
Rasanya sedih, seperti menusuk ke relung hatiku melihat sikap ibu demikian.
"Bu, selama ini... Ibu selalu menjadi tempat pelarianku, menjadi tempat sandaranku, menjadi tempat curahan hatiku. Aku butuh teman bicara, aku butuh alasan yang kuat pula. Kenapa ibu begitu menolak Choco menjadi pacaraku?"
Ibu masih diam mengacuhkanku dan terus saja mengupas buah mangga, tak sedikitpun menolehku.
"Bu, apa yang salah dengan Choco? Dia baik, dia sopan, dia lembut, dia tidak pernah berkata kasar padaku. Bukankah ibu bilang laki-laki yang selalu bersikap lembut pada wanitanya dia orang yang sungguh baik!" ujarku kembali dengan mendecak sebal.
Ibu tampak menarik napasnya dalam-dalam dan menghentikan gerakan tangannya mengupas buah mangga. Lalu meletakkan pisau di atas meja dengan kasar, disusul dengan meletakkan buah mangga itu di atas piring.
"Rose, apa kau pernah menatap bagaimana kedua mata anak itu melihatmu?"
"Bu, namanya Choco. Ish, ibu bahkan enggan menyebut namanya saja," ujarku membantahnya.
"Ibu tidak peduli siapa namanya, Choco, Chola, koka, koki," jawab ibu membalas bantahanku seraya menghardikku.
"Ibu... CHO-CO, namanya CHO-CO."
"Jawab ibu dulu! Apa kau pernah memandang bagaimana caranya menatapmu, hah? Kau boleh saja jatuh hati karena kelembutannya, karena ketampanannya. Tapi jangan menjadikan mata hatimu jadi buta, Nak..."
Kenyataannya, cinta itu memang buta bukan?
"Aku..."
"Dia memandangmu begitu rendah, hanya karena dia anak kota dan tinggal dengan segala gaya trendy nya, tapi ibu berbicara begini karena ibu seorang ibu, Nak." ibu mulai melembutkan nada bicaranya.
"Maafkan aku, Bu. Tapi aku..."
"Feeling seorang ibu tidak akan pernah salah, Nak. Kau ini sungguh lugu, jangan hanya karena kau mengenal baik Janet, lalu kau akan menganggap sepupunya yang terlahir dan tinggal di kota juga baik, begitu?"
Aku mengangguk dengan wajah cemberut. Tentu saja, kali ini aku mengiyakan karena kak Janet orang yang baik padaku sejak aku duduk di bangku menengah pertama.
"Bu, aku jatuh cinta padanya."
"Cobalah kau buka hatimu, Nak. Kesampingkan cinta butamu dahulu, kau bahkan belum tahu kabar apa yang ibu dengar tentang Janet selama anak itu disini."
Degh!
Aku tersentak mendengar ucapan ibu. Ada apa? Kenapa aku tidak tahu hal itu?
"Hah, sudahlah! Ibu akan memberikanmu waktu untuk berpikir dengan jernih, kau harus putus dengan anak itu, Nak. Kali ini ibu memohon sebagai ibumu. Bukan sebuah pendapat atau solusi dari teman dan sahabat."
Kulepas napasku sepanjang mungkin. Aku semakin penasaran, akan perkataan ibu tadi.
"Bu, katakan saja apa yang ibu ketahui tentang kak Janet dan Choco?"
"Apa kau yakin siap mendengarnya?"
Aku mengangguk dengan cepat meski sedikit belum siap. Kuharap ini hanya pikiran ibu saja, bukan pendapat dari orang lain.
"Kakak sepupumu, di Johan. Dia tidak sengaja memergoki Janet dan anak itu bertukar kecupan bibir. Apa kau percaya itu? Hah, ibu rasa tidak!"
Seketika bola mataku melebar menatap ibu hingga rasanya akan melompat keluar saja.
"Sepertinya anak ibu yang lugu ini terkejut? Hah, sudahlah! Ini, makan saja buah mangga ini agar pikiranmu tenang dan jernih nantinya sehingga kau sadar bahwa anak itu, ehm... Siapa tadi namanya? Choca cholla? Dia memang tidak baik untukmu, Sayang!"
Humor ibu tidak sedikitpun membuatku tertawa dengan menyebut namanya sengaja demikian. Namun, bukan itu yang aku pikirkan saat ini.