"Terus kenapa lo sengaja gedein suara lo itu? Lo pengen bikin kita bereaksi dan seolah kita kesindir, 'kan?"
Gilang menggebrak meja dan suara denting bersahutan dari mangkuk dan gelas beling di atasnya. Ia menatap nyalang ke arah Nina yang wajahnya semakin menyebalkan.
Lana menghela napas kasar. Niatnya ke sini untuk makan sesuatu tapi malah terjadi keributan yang tak jelas di sana. Ia jadi tak berselera makan dan berdiri. Sontak Gilang dan Nanda menatapnya heran karena Lana berlalu pergi dari sana begitu saja tanpa mengucap satu kata apapun.
Nina malihat kepergian Lana dan tatapannya tak gentar sedikit pun. Ia kembali menatap Gilang yang masih saja menyumpahserapahi dirinya. Ia tak tahan dan ikut bangun mensejajarkan diri dengan Gilang.
"Kalo lo merasa tersindir berarti emang kalian kaya gitu. Simpel kan? Lo harusnya ngaca. Gak perlu nuduh gue macem-macem. Paham lo?"
Nina beranjak dan meninggalkan kantin diikuti Lisa. Hilang sudah nafsu makannya. Rasa makanan itu pasti sudah tak seenak sebelumnya. Biar saja. Ia lebih baik kembali ke kelas dan mengabari Nadia mengenai hal ini.
Lana ternyata belum pergi dari kantin. Ia hanya ke sudut kantin dan mencuci tangan di sana. Sempat ia berpapasan dengan Nina namun keduanya tak berniat beradu mulut karena pasalnya keduanya bukan orang yang suka memulai keributan di awal.
Lana yang melihat Nina pergi meninggalkan kantin akhirnya kembali masuk. Ia melihat Nanda dan Gilang yang tampak buruk. Auranya jelek sekali dan ia bisa merasakan kalau Gilang masih berapi-api di sana. Meski pun kini ia sudah duduk dan meminum es teh manisnya, masih kentara kalau rasa sebal itu belum hilang.
"Eh, dari mana lo Lan? Bukannya bantuin gue adu bacot malah pergi."
"Yaelah. Apa untungnya sih adu bacot sama cewek? Ujungnya kalo lo ga dianggap banci ya paling juga kalah argumen. Lagian kita kesini mau makan. Lo bikin selera makan gue liang, tau gak?"
Lana langsung duduk di depan Gilang yang masih terus menatapnya sebal. Ia tak terlalu memperdulikannya toh moodnya akan kembali normal secepatnya. Nanda malah sedari tadi hanya diam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Namun, Gilang yang juga menyadarinya akhirnya membuka suara.
"Nan, kenapa lo kok diem aja dari tadi?"
Nanda tersentak mendengar pertanyaan Gilang. Ia dengan tergesa menyeruput es teh manisnya dengan gugup.
"Lo kesindir ya?" tanya Lana langsung ke inti dan Nanda langsung meletakkan kembali gelas berisi es teh manis itu. Ia menelisik keadaan sekitar dan menatap kedua sahabatnya bergantian sebelum ia menundukkan kepala diiringi helaan napas panjangnya.
"Seperti yang kalian lihat. Gue kesindir. Itu udah pasti karena ucapan Nina emang bener adanya. Gue gak berkilah dan gue juga gak bisa bales ucapan dia karena ya gue tau kalo gue emang kaya gitu. Terlepas dia sengaja nyindir atau cuma kebetulan, yang jelas gue emang kesindir. Andai aja orang itu emang Nadia, kenapa dia harus bikin keadaan serumit ini? Harusnya dia langsung datang dan jaga hati gue biar gak goyah dan pindah ke yang lain. Kalo kaya gini siapa yang salah?"
Lana dan Gilang merenung. Ucapan Nanda cukup menyadarkan keduanya. Keadaan Nanda bukan semata baik-baik saja. Mungkin di luar ia terlihat seperti itu akan tetapi di dalamnya ia merasakan gejolak perlawanan yang sangat menyulitkan dirinya. Ini bukan kesalahan Nanda atau pun Nadia. Ini hanya kesalahan waktu yang terlalu lama membiarkan mereka berdua dalam kebimbangan diri masing-masing.
Gilang menepuk bahu Nanda dan cukup membenarkan ucapannya. Ia tahu kesulitan seperti itu pasti akan muncul. Pertanyaan tentang salah siapa pasti akan dikeluarkan olehnya. Baru kali ini ia melihat Nanda sebimbang itu. Pilihan akan bertahan dan membuka lembaran baru ada di depan matanya namun terlalu sulit untuk diputuskan.
"Yaudah Nan, sekarang ini lo jalanin aja. Menurut gue gak ada yang salah di sini. Kita sebagai anak manusia harus bisa bijak bersikap. Kalo lo mau bertahan ya lo harus pandai atur perasaan lo dan kalau lo mau buka lembaran baru lo harus bisa ikhlas dan merelakan semua kenangan lo. Jangan terlalu diambil pusing. Kalo itu emang Nadia, orang yang setengah mati lo tunggu, dia pasti bakal dateng ke lo dalam waktu yang gak lama lagi. Gue yakin pasti begitu. Lo cuma harus percaya."
Nanda mengangguk dan membenarkan perkataan Gilang. Terkadang nasihat Gilang lebih memberinya semangat karena di dalam kata-kata itu selalu ada motivasi dan rasa ketulusan sesama teman. Ia bisa merasakannya.
"Bener yang dibilang Gilang. Lo harus resapi dan cerna dengan baik, Nan. Jangan sampai lo nyesel dan malah salah ambil langkah karena itu menyangkut perasaan lo. Kita gak bisa kasih saran yang bisa mencampuri urusan hati lo. Mau gak mau, lo harus bisa selesaikan sendiri. Kita bakal support lo terus."
"Iya, Lan. Thank you Gilang dah kasih gue motivasi. Kalian emang sahabat gue yang selalu ada dan bisa gue andelin kapan aja."
Mereka akhirnya makan kembali apa yang sudab merrka pesan. Dengan rasa yang sedikit tak nafsu mereka tetap memakannya sampai habis hingga Gilang menatap Nayla yang baru masuk ke kantin. Sepertinya gadis itu baru selesai menunaikan ibadahnya karena tampak ujung rambut di keningnya agak basah.
"Nan, tuh si Nayla. Dia rajin ya, shalat dulu baru ke kantin."
Ucapan Gilang sontak membuat Nanda mengangkat kepalanya dan mata Nanda bertemu pandang dengan mata Nayla. Keduanya tampak terdiam namun tak lama kemudian Nayla menghampiri dan duduk di hadapan Nanda.
"Apa, Nay?" tanya Nanda seolah tahu alasan Nayla duduk di hadapannya.
"Tepatin janji lo. Kita kan udah menang dan lolos olimpiade antar sekolah kemaren."
"Belum. Kan kita masih harus berjuang di olimpiade nasional bulan depan. Jadi, lo gak bisa nagih janji ke gue sekarang."
Nayla mendengkus. Sebenarnya ia lapar hanya saja ia tak memiliki cukup uang untuk membeli ketoprak di sana. Paling-paling uang sakunya hanya cukup membeli roti saja dan itu tidak membuatnya kenyang. Maka dari itu ia sengaja menghampiri Nanda dan menagih janjinya. Namun Nanda malah membalikkan perkataannya.
"Eh bentar! Sini duduk aja santai. Lo mau makan apa? Pesen aja, yang ini gue traktir karena lo udah becus jadi partner gue."
Nayla menatap Nanda dan menimang tawarannya. Lumayan ia bisa kenyang dan lagi ini adalah traktiran karena ia berhasil memenangi olimpiade kemarin.
"Gue mau ketoprak yang pedes banget."
"Oke. Pak! Keroprak pedes banget satu ya!" teriak Nanda. Ia melihat Nayla yang masih menatapnya dengan tajam.
"Apa lagi, Nay?"
"Gak apa-apa. Makasih Nan traktirannya."
Gilang dan Lana melihat kecanggungan diantara keduanya dan itu justru membuat mereka berdua ikut canggung. Dari pada mereka berempat jadi diam-diaman seperti ini, lebih baik ia mengatakan sesuatu.
"Nan, berarti kita dibayarin juga dong nih? Asik!"
"Bayar makanan lo pake duit lo sendiri. Enak aja bayarin."
"Yah, Nanda pelit!"