webnovel

Mulai Goyah

Kala itu, Tasya berjalan mengitari lapangan dengan niat ingin pergi ke perpustakaan. Namun, ada sesuatu yang menarik penglihatannya di bawah sana. Ia menangkap sosok Richard sedang bersama dengan gadis berwajah oriental duduk berdua. Richard nampak kelelahan, peluhnya membanjiri wajah dan juga kaos yang dipakainya.

Gadis itu mengusap peluh Richard. Tangannya yang mungil mencoba meraih wajahnya. Pemandangan yang romantis. Namun, bagi Tasya itu hal yang menggelikan. Dengan ekspresi datarnya, ia terus saja fokus pada apa yang mereka berdua lakukan di bawah sana, melupakan tujuan awalnya.

Tasya masih mengamati pergerakan mereka. Tangan Richard terulur untuk menarik saputangan milik gadis itu dan mengelap peluhnya sendiri. Saat itu, sudut bibir Tasya sedikit terangkat dan ada perasaan sedikit bahagia yang tak bisa ia bohongi.

Sang gadis mulai beranjak pergi dari sana dan Tasya pun merasa sudah tak ada yang perlu ia lihat lagi. Maka dari itu, ia membawa kaki jenjangnya melangkah pergi dan berjalan menuju perpustakaan seperti rencana awalnya. Perasaannya sudah lega. Selagi ia berjalan menjauh, ia menunjukkan senyum manisnya. Sepertinya hati itu sudah mulai goyah.

**

Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Ujian semester sudah dilalui oleh semua mahasiswa/i. Artinya, sudah satu semester berlalu. Bagi Tasya tak ada perubahan yang berarti selain perasaan gundah yang sering menghampirinya. Sedangkan bagi Richard, ia sungguh senang menjadi mahasiswa semester empat dan sebetulnya ia juga senang karena hal lain.

Richard menyusuri lorong fakultasnya, matanya sibuk mencari-cari Tasya. Sedari pagi, ia penasaran karena belum menangkap sosok gadis impiannya. Sebenarnya bukan Tasya yang sulit ditemui melainkan Richard yang menyibukkan diri dengan segala rutinitas barunya bersama Farel. Ditambah lagi hampir 2 pekan dirinya sibuk belajar untuk ujian semester, belum lagi libur setelahnya. Yang namanya Richard pasti akan selalu mementingkan pelajaran di atas segala rutinitasnya. Walaupun tidak selalu belajar dan belajar, tapi bila ujian semester sudah tiba, pastilah ia berubah seperti seorang maniak belajar. Untungnya, otaknya selalu bisa menerima segala sesuatu dengan cepat dan semua itu ia lakukan tanpa sistem kebut semalam.

Masih di sana, Richard berdiri diam di ujung lorong. Kepalanya sedikit terangkat. Rupanya langit sudah berubah warna menjadi lembayung. Richard menurunkan padangan matanya dan menangkap sosok Tasya yang baru saja berjalan melewatinya.

'Apa Tasya gak lihat gue? Ah, dia memang selalu abai sama keberadaan gue.' batin Richard nelangsa.

Richard membuntuti Tasya dari belakang dengan jarak yang hanya terpaut 3 langkah. Richard mengamati gadis pujaannya itu dalam diam. Tasya berjalan sangat cepat, bahunya terlihat sempit dan pinggangnya begitu ramping. Semuanya, Richard sungguh menyukainya.

"Heh! Lo udah gue tolak juga masih aja ya, Bani!"

Ji Kyung berhenti. Seketika ia berbalik menatap Richard. Richard pun terlonjak karena terkejut. Sontak saja, ia menoleh ke belakang mencari Bani. Tapi hasilnya tak ada. Karena memang di sana hanya ada mereka berdua saja.

Tasya menatap Richard yang alis matanya saling bertautan. Ya, Richard bingung begitu pun dengan Tasya. Ia pikir lelaki itu adalah Bani, tapi ternyata, Richard?

"Lo gak apa-apa? Apa cowok itu ganggu lo lagi?"

Tasya memerhatikan si pemilik suara baritone itu dari bawah sampai atas. Tatapannya berhenti saat ia menatap mata Richard. Pancaran matanya begitu menghanyutkan, cukup untuk membuat Tasya terhipnotis beberapa detik.

"Hey, Tasya? Lo gak apa-apa?"

"Ah.... Gue gak apa." jawab Tasya dengan spontan dan sedikit terbata.

Mereka berjalan beriringan sampai tiba di parkiran. Kala itu ada yang berbeda. Richard tak seperti biasanya. Bila ia terkenal berisik, saat itu, ia benar benar sunyi. Richard hanya tak tahu harus bagaimana memulai percakapan yang natural setelah hampir 2 bulan tak bertemu dan berbicara dengan Tasya.

"Ah, Kak Rintia udah nunggu lo tuh."

"Oh, oke."

Tasya berhenti dan menoleh. Matanya menangkap senyum tipis Richard. Ia memegang bahu Richard dan menariknya agar berhadapan dengannya. Richard menurut meski sedikit bingung dengan sikap Tasya.

"Jangan menyiksa diri lo, Chie."

Sekali lagi, Tasya melihat Richard dari atas ke bawah dan kembali lagi ke mata hazel itu.

"Maksud lo?"

Tasya melepas pegangan tangannya di bahu Richard. Ia berbalik dan berjalan menjauhinya. Meninggalkan Richard yang masih berdiam diri karena kebingungan.

**

Selama beberapa pekan tak saling bertemu, Richard memang berubah dan Tasya menyadari hal itu. Dalam sekejap saja, penggemar Richard bertambah dengan pesat. Jangan lupakan sifat baiknya, sikap lembutnya, otak encernya, wajah rupawannya, dan tubuh yang bisa dibilang mulai atletis. Yah, berkat Farel yang senantiasa membantunya, akhirnya Richard mulai menunjukkan perubahan yang signifikan.

Tasya sempat beberapa kali melihat Richard berlari mengitari lapangan. Di bawah terik matahari sekalipun, Richard masih bisa berlari dengan semangat, walau terkadang peluh dan raut wajahnya tidak bisa membohongi bahwa ia kelelahan. Dan Tasya juga tidak bodoh untuk tahu apa alasan di balik Richard melakukan hal itu. Mungkin ia sedikit keterlaluan.

"Anak Agung, gue lihat Richard jadi lebih populer dari yang terpopuler." sahut Rin membuyarkan segala lamunan Tasya. Tasya hanya mendengung. Tak ada niatan untuk menanggapi ucapan sepupunya itu.

"Sugar candy!"

Rin menoleh. Ia mendapati Farel di sana sedang berlari menuju bangku taman dekat air mancur yang biasa didatangi Tasya.

Farel memposisikan dirinya untuk duduk di hadapan Rin. Farel memanggil julukan sugar berkali-kali yang lantas dihadiahi cibiran dari Rin sebanyak julukan itu terucap dari bibir Farel.

Jangan lupakan gadis manis bernama Tasya yang ada di antara El dan Rin, ia masih di sana, tapi ia tak mempedulikan keduanya yang saling berbagi kasih. Tasya lebih memilih fokus pada buku yang dibacanya. Bukan, bukan buku pelajaran, melainkan komik kesukaannya.

"Lo suka komik itu juga, Sya? Kebetulan banget gue juga penggemar berat komik itu."

Tasya mengangkat kepalanya dan melihat lelaki populer di antara yang terpopuler ada di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Richard? Ingat 'kan bahwa ada Farel di sana?

"Gue punya volume terbaru kalo lo mau pinjem."

Tasya segera menutup komiknya dan memasukkannya ke dalam tas. Di detik selanjutnya ia berdiri dan beranjak meninggalkan ketiganya yang kebingungan.

"Kejarlah, Chie. Tanya kenapa dia ngehindarin lo."

Richard menatap Rin, otaknya memproses. Apakah tidak akan terjadi apa-apa bila ia bertanya seperti itu kepada Tasya? Apa tidak akan ada masalah bila ia ingin tahu alasannya?

Di sisi lain, Tasya melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia harus pergi dari sana. Harus! Tapi kenapa? Ia pergi dengan wajah yang memerah setelah melihat Richard yang tersenyum kepadanya. Itu membuat dadanya kembali menghangat dan membuat perasaan itu datang menyeruak mengacaukan saraf-saraf di tubuhnya.

Tasya masih berjalan tak tentu arah. Ia hanya tak ingin melihat Richard. Tapi belum sempat melewati tikungan, tangannya sudah digenggam. Sontak saja ia berbalik dan menemukan Richard tepat di hadapannya.

"Ada apa, Sya? Lo ada masalah?"

Tasya menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, ke mana saja asal tidak bersitatap dengan manik kembar milik Richard.

"Apa gue buat kesalahan makanya lo menghindar begini?"

Terkejut. Tasya segera menatap mata Richard.

"Maaf kalo gue ada salah dan buat lo jadi gak nyaman dengan segala sikap dan tindakan gue selama ini."

Richard meraih kedua tangan Tasya dan menggenggamnya dengan lembut. Matanya menyiratkan kesungguhan dan hal itu membuat Tasya semakin luluh.

"Gue janji gak akan semenyebalkan itu lagi kalo lo gak nyaman. Maafin gue ya."

"Gak...."

Hening. Tasya menggantungkan kalimatnya sekitar 2 menit dan menyisakan Richard yang penuh kebingungan.

"Ah, oke kalo gak mau maafin gue.... Ekhem! Kalo gitu gue-"

"Bukan. Maksud gue bukannya gak nyaman karena hal itu, gue cuma bimbang-"

'-Ya, gue bimbang sama perasaan gue sendiri,' lanjut Tasya dalam hati.

Richard mengernyit. Ia bingung dan akhirnya berspekulasi sendiri. "Tenang, Sya. Gue gak bakal nagih janji pertemanan kita kok."

'Ah, Richard bodoh,' batin Ji Kyung.