webnovel

Jangan membuka pintu

Prolog Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu. Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada. Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya. Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela. Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka. Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri. Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak. Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar. Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api. Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar. Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar. Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal. *** Dan kisah ini dimulai saat sepupuku, Melisa dan kelima temannya, bermain di rumahku. Aku tak tahu kalau Melisa dan kelima temannya akan merubahku seperti sekarang. Apa kau tahu? Terkadang rasa ingin tahu itu berbahaya. Begitu yang terjadi dengan Melisa dan kelima temannya. Mereka hanya sekedar ingin tahu tentang legenda tahu itu, tapi rasa penasaran itu malah membawa petaka.

Dianra · Terror
Classificações insuficientes
16 Chs

bab 12

Suara dobrakan pintu terus terdengar.

Dika mengeluarkan banyak keringat karena sekuat tenaga menahan pintu. Begitu pula Riko yang ikut menahan pintu masuk.

"Cih! Buat apa aku melakukan itu? Kalian kan sudah siap dengan resikonya," kataku sembari menatap mereka yang kewalahan.

Dika memandang marah kepadaku, begitu pula Riko, saudara sepupuku sendiri.

Sejujurnya, aku merasa kecewa dengan tatapan mata Riko. Dia lebih membela Dika, daripada aku, saudaranya sendiri.

Mereka mau apalagi? Aku sudah menahan mereka, tapi baik Dika maupun Riko bersikeras untuk melakukan permainan 'minta tolong'.

"Grrrr... Hemmmmm... Hemmm..." geraman keras itu terus terdengar diiringi suara nafas yang sesak dan dobrakan pintu.

"Aku sudah enggak kuat lagi," kata Dika pelan. Wajahnya merah padam karena menahan sekuat tenaga dan rasa sakit akibat dari panas dari pintu yang didorong oleh mahluk itu.

"Hufft...Hufft... Hemmmmm... Grrrrr... Hemmmmm..."

"Maaf..." lirih Dika tanpa melihatku.

Sebegitu mudahnya bilang maaf? Ha!

Aku menoleh, menatap sekeliling. Bagaimana pun juga aku tidak mau mati di sini. Juga, jika memang aku harus mati, setidaknya aku tidak mau meninggal di tangan mahluk yang jelas bukan manusia.

Braaak...

"Argh!"Teriak Dika, luka bakar di lengan dan tangannya semakin banyak. "Tolong aku, Aldi!"

Pandangan mataku tertuju kepada jendela kamar lamaku ini yang langsung menuju taman belakang rumah.

Ini satu-satunya jalan.

Aku berlari tanpa pemberitahuan, dan membuka jendela.

Berat. Susah dibuka.

"Aldi!!"

Sial.

Aku menghela nafas.

Jika aku selamat, aku akan meminta maaf kepada kedua orang tuaku karena memecahkan kaca jendela rumah.

Aku mundur beberapa langkah dan mulai menendang jendela dengan keras.

Praaaaangggg!

"Riko, Dika! Hitungan ketiga tinggalkan pintu dan lari ke jendela secepat yang kamu bisa!"

Untungnya kamar lama yang tidak kugunakan lagi itu ada di lantai pertama. Jadi, jika kami semua loncat, paling terluka parah adalah kami keseleo.

Tapi...

Aku memandang ragu, ke Dika dan Riko yang sudah mulai kepayahan menjaga pintu. Kulit mereka juga terbakar panasnya pintu itu.

Mencoba fokus, aku mengenyahkan perasaan simpati.

"Satu."

"Bentar," selak Riko. "Al, kamu yakin kami bisa lari dari sini ke jendela? Dika dan aku kan sedang menahan pintu."

"Dua."

Aku tidak menjawab pertanyaan Riko. Fokusku menghitung.

Sebenarnya dalam keadaan normal, tidak gugup seperti sekarang, jarak antara pintu dan jendela kamar yang langsung menuju halaman belakang itu dekat.

"Ti..."

Dika melepaskan pegangan pintu, menyisakan Riko yang masih menahan sendirian.

Riko membelalak tidak percaya, saat melihat Dika lari tanpa dirinya Kemudian loncat keluar jendela tanpa menoleh dua kali.

Aku sebal melihat Riko yang malah terpatung seperti itu.

"Apa yang kamu pikirkan? Lari, bodoh!" Sentakku.

Riko seperti baru tersadar dia melepaskan pintu itu dan mulai berlari ke arah jendela.

Tanpa ada yang menahannya, pintu itu terbuka perlahan. Dan bau daging hangus yang memuakkan menyeruak lebih tajam.

Aku percaya, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi apa yang terjadi.

Namun, nyatanya aku masih terkejut.

Tangan hitam seperti arang menjulur dari balik luar pintu menuju Riko yang sedang berlari.

Rasanya sulit dipercaya tangan hitam itu bisa memanjang tanpa melihat kemana lari buruannya, dalam hal ini Riko yang dikejar tangan hitam itu.

Begitu cepat tangan hitam itu mengejar Riko dan berhasil menangkap kakinya!

"Argh," teriak Riko.

Riko jatuh dengan keras dan wajahnya menghantam lantai.

"Aldi! Aldi!" Teriak Riko. "Tolong! Please!"

"Grrr... Anakku...Hemmm... Anakku!!"

Tangan hitam itu mulai menyeret Riko, dan Riko bertahan untuk tidak pergi.

Air mata Riko mengalir dengan deras. Tangan Riko yang mati-matian memegang kaki ranjang mulai berdarah.

Aku tak tega melihat Riko yang berusaha keras memegang kaki ranjang agar tidak terbawa mahluk itu, kemudian memikirkan cara untuk membantunya. Tanpa sengaja kulihat sesuatu yang selalu melingkar di leherku sejak kepergian Melisa.

Kalung pemberian dari ibu!

Di dalam kalung yang berbandul liontin kristal pemberian ibu, liontin kristal menyimpan air yang membiaskan warna pelangi.

"Aldi!" Teriak Riko, panik. Kedua tangannya yang berdarah sudah terlepas dari kaki tempat tidur.

Tanpa berpikir panjang, aku melemparkan kalung itu.

"Arrghh... Sakit... Perih... Arrrghhh... Grrr!!!" Geraman itu menghilang bersama dengan pintu kamar tertutup.

Melihat tidak ada pergerakan lagi, aku menarik lengan Riko.

"Bangun! Cepat!"

"Ah..." Riko terlihat linglung.

Katanya kalau sedang linglung, orang itu harus ditampar, supaya sadar. Ingin aku mempraktekkan, tapi melihat wajah babak belur Riko...

"Cepat!"

Kali ini, Riko mau bangun dan setengah kubopong menuju jendela dan meloncat bersama.

Riko jatuh dengan lutut terlebih dahulu menyentuh rumput halaman belakang rumahku.

"Ayo, Riko, kita jalan lebih jauh."

"Aku enggak kuat. Kakiku lemas, kamu tinggalkan aku saja."

"Bodoh! Cepat berdiri! Aku akan memapah kamu."

Aku terus menarik Riko hingga dia mau berdiri.

Beberapa langkah setelah kami meninggalkan jendela kamar lamaku, terdengar suara keras yang membuat kami semua kaget.

BUAAAMMMM!

Lalu bau menyengat itu lebih kuat dari sebelumnya, mulai keluar hingga Riko muntah.

Meski begitu, aku rasa belum aman kalau Riko dan aku masih di dalam rumah. Kami menuju pintu belakang yang lumayan banyak pepohonan di sisi kiri-kanannya.

"Syukurlah kalian selamat," kata Dika yang keluar dari balik pepohonan di belakang rumahku.

Aku melepaskan pegangan dari badan Riko.

Tanpa banyak bicara, kutatap wajah Dika yang menunjukkan rasa bersalah tapi tidak ingin meminta maaf.

Dika berjalan mendekati Riko yang masih diam.

Ha! Benar dugaanku, kali ini kebencianku kepada Dika beralasan.

"Riko baik-baik saja kan?" tanya Dika basa-basi.

Si brengsek ini!!

Dika tidak menyangka aku memukul wajahnya, secepat yang aku bisa.

"Aduh!" Keluh Dika yang jatuh terduduk.

"Sakit?" tanyaku, sembari berlutut dengan satu kaki.

Aku mengetuk dahi Dika dengan jari telunjukku.

"Lain kali, berpikirlah lebih pintar, dasar tolol! Hanya karena rasa penasaran, kamu hampir membunuh Riko. Sementara kamu?"

Dika diam, dan matanya tidak mau menatapku, dia memalingkan wajahnya.

"Jangan pura-pura tuli! Aku tahu kamu dengar!"

"Kamu mau aku ngomong apa?" teriak Dika, marah.

Aku bangun dari berlututku dan menendang Dika yang masih terduduk sehabis kupukul.

"Argh... Uhuk..."

Dika berguling dan mulai terbatuk keras setelah aku tendang perutnya.

"Jangan dekati aku lagi. Aku tidak mau jadi teman kamu."

Dika menatapku dengan pandangan takut juga marah.

Sebisa mungkin aku tidak mau mempunyai musuh. Tapi, bukan berarti aku takut masalah.

Menurutku, Dika sudah keterlaluan. Aku tidak bisa menoleransi lagi.

Dika tidak menjawab perkataan dariku, jadi aku memalingkan wajah dan menatap Riko.

"Dan kamu Riko," kataku memulai ucapan. Tapi perkataanku terhenti, ketika melihat wajah Riko.

Wajah Riko sudah merah dan napasnya tidak beraturan.

"Ah," kata Riko tidak fokus. "Barusan kamu bilang apa, Al?"

Bersambung...