"Siapa kau?" tanya Sesilia dengan sikap siaga. Kaki menginjak punggung dan tangan menahan pundaknya. Lalu dengan kasar melepaskan topi yang menutupi wajah pria itu.
"Hei, hei, apa yang kau lakukan?" ucap Ruri dengan wajah cemas, terlebih setelah ia mengetahui bahwa orang yang Sesil tindas hanyalah pria tua.
"Dia, aku mengenalnya," ucap Ruri dengan wajah kaget.
"Kau yakin?" tanya Sesilia dengan tatapan seakan tak percaya ke arahku.
"Yah, dia petugas bersih-bersih di rumah sakit tempat aku dirawat."
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menguntit aku, maksdku Ruri!" teriak Sesilia dengan kasarnya.
"Tenanglah," ucapnya sambil melambaikan tangan. Napasnya sesak dengan wajah terlihat lelah.
Sesilia menyingkirkan kaki dan tangannya, sedangkan Ruri membantu kakek tua itu untuk duduk bersandar di dinding.
"Apa itu sakit?" tanya Ruri setelah melihatnya membelai lembut kepala bagian belakang, tepat di tempat Sesilia melayangkan pukulan.
"Yah, sedikit," jelasnya sambil meringis kesakitan.
"Cepat katakan! Jangan bertele-tele," ucap Sesilia dengan wajah tak senang. Ruri tahu Sesilia sangat cekatan dan begitu ingin tahu segalanya lebih awal. Begitu pula dengan Ruri. Hanya saja Ruri lebih bisa tenang dan menjaga sikapnya.
"Aku akan menjelaskannya, bisakah kau ikut aku!" ucap pria tua itu.
"Tidak, kau bisa menjelaskannya di sini, sekarang!" teriak Sesilia, kali ini ia melayangkan kakinya dengan kuat ke arah dinding sejajar dengan kepala kakek itu.
"Sesil, sebaiknya kita ikut sekalian mengantarkannya pulang," ucap Ruri yang kembali mencoba membantu Kakek itu berdiri.
"Ruri, kau bodoh atau ...."
Ucapan Sesilia terhenti, ia tak mengerti akan apa yang terjadi pada Ruri. Namun, ia tak tega membiarkan Ruri pergi sendiri. Ia merasa takut akan hal buruk yang mungkin terjadi. Tak heran, jika saat ini ia memutuskan melangkah di belakang Ruri guna mengikutinya. Hatinya begitu kesal dan sedikit kecewa akan keputusan Ruri yang mau saja menuruti keinginan si Kakek tua. Namun, tidak ada pilihan. Dia membutuhkan Ruri untuk menyelesaikan kepingan puzzle yang tengah ia selidiki.
Sesilia semakin kesal kala melihat sikap Ruri yang begitu perhatian kepada si Kakek tua. Jauh dalam hatinya berkata, "Jangan bilang kalau kau hanya berpura-pura pincang agar Ruri mengiba padamu."
Ketiganya terus berjalan, memasuki jalan sepi dan sempit. Jalanan yang berada cukup jauh dari kota.
"Hei, mau kemana ini?" tanya Sesilia dengan prasangka buruk. Matanya menatap kesekitaran dengan aura cemas.
"Kita akan ke rumah Bapak ini, Sesil," jelas Ruri, tatapannya terlihat kesal diikuti gelengan kepala. Membuat Sesilia kian geram, kedua tangan mengepal dan hentakan langkah yang begitu kuat. Layaknya raksasa berjalan dan mengguncangkan bumi.
"Awas aja jika terjadi apa-apa nantinya. Akan kubiarkan kau menyelamatkan dirimu sendiri. Ingat itu Ruri," gerutu Sesilia, menatap tajam dengan tatapan elang ke arah punggung Ruri.
Menakutkan, tidak hanya sepi, jalanan yang kini mereka lewati sangatlah kumuh. Ada banyak deretan kain dan papan di sana, sepertinya itu merupakan tempat tinggal para gembel. Miris rasanya, begitu pula dengan yang Sesilia rasakan. Namun, ia terlalu gengsi mengakuinya. Hingga ia tetap saja berkata ketus dan bersikap cuek selama perjalanan.
"Apa kau tidak salah jalan Pak Tua?" tanya Ruri setelah menyaksikan jalanan yang tak berujung.
Pria tua itu hanya menggeleng dengan kepala sedikit merunduk, berjalan pincang dengan napas yang berhembus hingga bersuara.
"Hah, akhirnya kau mulai menyadarinya kan? Apa kau sekarang menyesal Ruri? Atau kau baru sadar telah ditipu?" gerutu Sesilia diikuti senyuman penuh kebanggaan.
"Kita sudah sampai," ucap pria tua itu sambil menunjukkan sebuah rumah kayu kecil dengan banyak papan menutupi lubang. Rumah yang tak memiliki kamar dengan seng yang bolong, serta hanya menyimpan sebuah busa tipis yang berlapis kain.
"Masuklah!" pinta pria tua yang kemudian segera berbaring di atas busa tua.
Ruri tanpa malu masuk dan duduk di atas kursi yang tinggal kayunya saja. Sedangkan Sesilia dengan angkuhnya memilih berdiri di depan pintu, bersandar pada dinding dan melipat kedua tangannya di dada. Seakan merasa jijik untuk masuk dan duduk di dalamnya.
"Hei, masuklah!" bisik Ruri ke arah Sesilia.
"Aku bisa dengar meskipun berdiri di sini," ucapnya tegas.
Ruri mengalah dan ia pun kembali menanyakan akan apa tujuan pria tua itu menguntit dirinya.
"Maafkan aku," ucapnya memulai penjelasan. "Aku mencari dirimu karena semalam kau tak kembali ke rumah sakit."
"Apa Dokter Leo atau suster Lita yang menyuruhmu?" tebak Ruri dengan meragu.
Pria tua itu kembali menggeleng dan menatap iba ke arah Ruri, membuat Ruri salah tingkah dan terus menatap dingin ke arahnya.
"Aku yang menemukanmu."
Bak disambar petir, Ruri kaget begitu pula dengan Sesilia. Kini kedua mata mereka menatap tajam ke arah pria yang hingga saat ini belum diketahui namanya. Kedua mata menyala dengan tatapan penuh curiga. Ruri dan Sesilia saling melempar tatap dengan prasangka yang sama.
"Yah, aku yang menemukanmu terjatuh di jalan," sambungnya yang kemudian memejamkan mata diikuti hembusan napas dari mulut.
"Apa maksudmu? Ini bukan waktunya tidur, teman!" ucap Sesilia yang seketika melangkah masuk lalu berdiri lantang di hadapan pria itu.
"Apakah ini sikap baik yang ingin kau perlihatkan padaku? Jika kau butuh keteranganku, seharusnya kau mulai bersikap baik, teman," ucap Pria tua dengan senyum mnyungging di ujung bibir.
"Hei, duduklah! Jaga sikapmu," pinta Ruri yang semakin membuat Sesilia geram. Lagilagi tak punya pilihan, Sesilia memutuskan menjauh dan duduk di kursi yang berada disebelah Ruri.
"Aku tau ... kalian pasti membutuhkan informasi dariku. Aku sudah lama ingin mengatakan ini padamu Ruri, hanya saja aku tidak yakin mengatakannya di rumah sakit. Terlebih aku merasa ada sesuatu yang lain sedang dikerjakan rumah sakit itu."
Penjelasan pria tua semakin membuat Ruri terdiam, mulutnya terkatup rapat dengan anggukan kepala mengarah Sesilia. Kembali teringat kejadian tengah malam kemarin. Meski ia tidak tahu apa yang terjadi, namun ia yakin dan sangat setuju dengan apa yang pria tua ungkapkan.
"Apa?" bisik Sesilia yang terlihat bingung akan anggukan Ruri.
"Aku ingat betul, momen saat menemukanmu Ruri. Saat itu tengah malam, mungkin sekitar pukul satu malam. Aku berjalan menuju Sudirman, saat itu jalanan sangat sepi dan hanya ada beberapa pengemis yang tertidur di teras toko. Kulihat sebuah mobil berhenti, mobil Carry hitam dengan plat bewarna hitam emas. Berhenti tepat di tengah jalan dengan pintu kanan belakang terbuka. Lalu kulihat kau didorong begitu saja dan terbaring di tengah jalan. Aku mendekatimu setelah mobil itu melaju pergi. Dengan sangat hati-hati, tanpa menyentuhmu, aku memastikan kau masih hidup atau tidak. Setelah tahu kau masih hidup, aku pun menelepon ke rumah sakit untuk menjemputmu."
Sesilia terlihat semangat karena sebentar lagi puzzle-nya akan terpenuhi. Puing-puing yang hilang, satu per satu mulai ia temukan. Tinggal ia satukan dan terbentuklah sebuah jawaban dari semua pertanyaannya.
Suara mobil terdengar, diikuti hentakan kaki yang begitu banyak. Sepertinya ada yang mengepung rumah itu. Ruri dan Sesilia terlihat cemas, sedangkan pria tua itu masih terbaring tenang dengan mata terpejam.