webnovel

Tuhan Sayang Papa

"Serena kenapa, Ndar?" tanya perawat yang bertugas di UGD mendorong ranjang beroda yang diatasnya terbaring Serena yang tak sadarkan diri.

Andar memutuskan membawa sang kakak ke rumah sakit tempat kakaknya bekerja agar urusan lebih mudah. Kakaknya yang merupakan staf admin sudah tentu dikenal semua yang bekerja di sana.

"Pingsan dia, diserang teman bang Hanan barusan," sahut Andar jujur menyusul dari belakang.

"Astaga yang benar kamu? Tega sekali mereka menyerang orang yang baru kematian. Memangnya ada masalah apa Serena sama mereka," ujar pria seragam serba putih itu.

"Aku juga tidak terlalu paham masalahnya apa. Abang tanya langsung sama dia." pemuda delapan belas tahun itu menoleh pada sang kakak yang sedang mendapatkan perawatan namun, belum sadarkan diri juga.

Andar ikut masuk ke dalam menemani sang kakak sedang Inggit menunggu di ruang tunggu. Gadis manja itu pusing jika menghirup aroma obat terlalu lama.

Di rumah Sari berusaha menenangkan Qianzy yang menangis mencari ibunya. Sepertinya tahu apa yang sedang ibunya rasakan.

Dia tidak berhenti menangis sampai tetangga sebelah datang membantu menenangkan.

"Adek mau sama mama. Adek mau peluk mama. Papa pergi," ratapnya dengan nada khas cara bicara anak satu tahun.

"Iya sayang nanti kita ke tempat mama. Sekarang Adek jangan nangis, kita lihat ikan di kolam aja ya," bujuk ibu-ibu yang mengenakan daster batik lengkap rambut yang masih basah.

Tangisan Qianzy yang menggema memancing semua tetangga datang ada yang sekedar melihat lalu pergi dengan cemooh. Ada pula yang membantu mendiamkannya namun, usaha mereka sia-sia.

"Makanya jadi istri jangan suka selingkuh, masih untung dapat suami baik tidak neko-neko malah selingkuh," celetuk salah satu ibu-ibu yang berada di antara kerumunan.

"Yang benar Serena selingkuh?" sahut yang lain.

"Iya, wong saya dengar kok empat orang cowok datang menyerang si Serena."

"Is, buat malu aja. Tampang aja cantik ternyata selingkuh, wajar keluarga Hanan tidak suka sama dia."

"Yang benar keluarga Hanan Hanan suka? Pantes aja jarang lihat mereka datang jenguk Qianzy."

"Sekarang mana si Serena."

"Kayaknya tadi pingsan, paling di bawa ke rumah sakit."

Mereka yang ada di sana sibuk membicarakan Serena yang awal ingin membantu mendiamkan Qianzy juga ikut mengembangkan info. Sari mengurut dada depan matanya ubi ungu sudah jadi kolak lengkap dengan pisang dan kacang hijau.

"Lebih baik kalian bubar saja kalau hanya untuk membicarakan anak saya," tegasnya yang sudah tidak tahan menangkap suara sumbang membakar telinga.

Satu per satu dari mereka membubarkan diri meninggal nenek dan cucu itu berdua saja. Keadaan mendadak jadi sepi dan tenang. Tangisan Qianzy juga sedikit mereda kini sudah lebih tenang dan bisa diajak bicara.

Putri Serena itu sebenarnya anak yang cerdas di usia satu tahun sudah mengerti apa yang dibicarakan padanya. Sari membawa sang cucu masuk dan mengunci pintu dari dalam.

"Mau mama," celetuknya saat di letakan di ranjang.

"Iya sayang, nanti om sama tante pulang kita lihat mama. Mama Adek lagi sakit," sahut wanita paruh baya itu mengusapkan punggung tangan pada pipi yang dialiri air mata yang tidak bisa dicegah untuk keluar.

Saat menantunya masih hidup belum pernah Qianzy menangis histeris ini. Pria itu dengan sigap menenangkan anaknya saat dilihat rautnya mulai tidak enak.

"Tuhan amalan apa yang telah menantuku perbuat sehingga Engkau menyayanginya."

"Hanan, apa Mamak pernah menyakiti perasaanmu sampai kau memilih pergi untuk selamanya."

"Lihatlah, rumah ini secara perlahan akan sepi setelah kau pergi."

Sari bicara seorang diri teringat sosok baik dan santun sang menantu. Sudah tak terhitung perutnya diisi dari hasil keringat pria itu.

Karena sejak Serena menikah dia tidak diizinkan untuk mencari uang. Bahkan sekedar menjaga warung saja dilarang. Hanan yang mengambil alih menjaga warung yang telah membuat dapurnya tetap mengepul.

"Mamak di rumah saja, tidak perlu cari uang lagi. Aku dan Serena yang akan memenuhi kebutuhan kita semua. Ada sama-sama kita makan kalau nggak ada sama-sama kita kelaparan. Sudah cukup perjuangan Mamak. Saatnya untuk perbanyak ibadah dan jaga kesehatan," ujar Hanan setelah resmi menjadi menantunya.

***

Hari kedua Serena dirawat terpaksa Inggit membawa Qianzy bertemu ibunya. Bocah itu akan mengamuk dan sulit didiamkan karena tak kunjung bertemu orang yang diinginkannya.

"Sayang," kata Serena merentangkan kedua tangan menyambut kedatangan buah hatinya.

Bocah satu tahun itu berhamburan dalam pelukannya menumpahkan kerinduan beberapa hari satu hari tidak bertemu. Serena menenggelamkan buah cintanya dengan Hanan dalam dalam dada rapuhnya.

Seketika netranya berkaca-kaca membayangkan jika kini harus menjadi mama dan papa untuk Qianzy. Sekuat tenaga wanita dua puluh tiga tahun itu menahan untuk tidak menumpahkan lahar panas di hadapan anaknya.

Sudah cukup bocah satu tahun ini melihatnya menangis di hari kemarin. Jangan sampai batinnya juga terluka melihat kesedihan yang tiada bertepi.

Entah mengapa sulit sekali bahagia bertahan padanya. Baru juga akan mendulang kebahagian dan sekarang harus terhempas ke dasar jurang yang dalam.

Tiga tahun pernikahannya baru beberapa bulan belakangan ini dibanjiri rejeki yang melimpah. Sedikit demi sedikit hutang untuk biaya pernikahan dan biaya hidup bisa di cicil. Ada beberapa yang jumlahnya tidak banyak dibayar lunas.

Dia dan Hanan memang berhutang banyak untuk pesta pernikahan mewah mereka. Kurang dukungan dari pihak keluarga Hanan mengharuskan keduanya berusaha sendiri mencari modal pernikahan.

Hutang yang baru terbayarkan tidak sampai separuh Hanan telah pergi untuk selamanya. Mau tak mau Serena yang melanjutkan membayar cicilan yang menggunung.

"Tuhan ini sangat tidak adil bagiku," pekiknya dalam hati menatap lekat netra bening dalam dekapan.

"Mama, Adek mau ketemu papa. Papa kok belum pulang juga," celoteh Qianzy mematahkan lamunan sang mama.

"Papa, sudah pergi jauh." Lidah Serena kelu hanya itu yang bisa dikatakan.

"Papa tidak sayang sama Adek ya Ma?"

"Kata siapa? Papa sayang sama Adek." Suara Serena terdengar serak dan berat.

"Kata Adek, papa pergi artinya tidak sayang," sungut bocah satu tahun itu.

Qianzy termasuk cepat pandai bicara di usia satu tahun kosa katanya sudah banyak. Bicara juga lebih lancar dibandingkan anak seusia. Jadi saat dia bicara hampir tujuh puluh persen orang yang mendengar bisa mengerti.

"Papa sayang sekali sama Adek, tapi Tuhan juga sayang sama papa. Jadi papa pergi duluan ke rumah Tuhan." Serena bingung harus mengatakan apa untuk menjelaskan pada anaknya.

"O, Tuhan sayang papa. Adek juga mau disayang Tuhan buat bertemu papa," sahut Qianzy polos sukses meruntuhkan pertahanan Serena.

Inggit lantas membawa bocah perempuan itu dari ranjang kakaknya. Membawanya keluar memberikan waktu untuk sang kakak menumpahkan ganjalan di hati.

"Bang, jemput aku dan anak kita. Aku tidak sanggup hidup tanpamu. Cobaan ini sangatlah berat, sembilan tahun aku jalani hidup denganmu. Dan sekarang aku harus berjuang sendiri menjalani hidup dan membesarkan Qianzy." Serena bersenandika menelisik sekeliling mengumpulkan oksigen yang banyak untuk membuang sesak.

Air matanya kembali tumpah saat teringat mendiang Hanan dan juga bayangan tentang perjuangan yang berat setelah ini.