webnovel

Qianzy Bukan Bagian Dari Keluarga.

Kedatangan mertua dan menyita barang-barang yang telah diberikan untuk Qianzy membuat Serena kembali terpukul. Dia telah berusaha untuk kuat dan melawan keterpurukan namun kerapuhan jiwa tak dapat dihindari.

Semua yang menimpanya seolah sengaja datang bertubi-tubi untuk membuatnya semakin terpuruk dan hancur.

Selera makan baru membaik kini kembali menghilang serta semangat untuk bangkit entah menguap kemana.

Sari kerap mendapatkan Qianzy menangis histeris sedang di dekatnya ada Serena yang duduk termenung. Pandangannya kosong dan jiwanya hampa, raga tanpa jiwa

Sesekali terlihat Serena mengusap air mata yang meleleh tanpa penyebab.

"Coba hibur kakak, jangan biarkan dia termenung sendirian. Pikirkan Qianzy yang sangat membutuhkan dia," pinta Sari pada kedua adik Serena.

"Kita biarkan kakak menenangkan pikirannya dulu, jangankan kakak Mak, aku juga sedih semua barang-barang untuk Qianzy diambil lagi. Mereka sungguh tidak punya hati, tanah kubur belum kering ada saja kelakuan mereka menyakiti kakak."

Inggit mengambil godok pisang yang baru saja diturunkan dari wajan. Mulutnya maju mundur meniupnya agar segera dingin dan menyantapnya.

"Sabar napa? Jadi rakus amat."

"Eh, diam kau. Aku lempar dengan godok panas ini baru tahu."

"Lihat Mak, mulai brutal tingkahnya."

"Kalian sama saja." Sari tersenyum menatap kedua buah hatinya yang tak pernah akur.

Ini kurang heboh, biasanya ada Serena yang lebih membuat gaduh berlari dalam rumah sekedar untuk saling membalas. Tak jarang Hanan juga ikutan karena berusaha menengahi yang terjadi sebaliknya.

Sari mengusap bulir bening yang lolos di ujung matanya saat ingatannya tertarik pada masa menyenangkan itu. Suara gelak tawa dan teriakan Hanan memenuhi sudut ruangan.

Baginya Hanan sudah seperti putranya sendiri yang telah banyak membantu dalam segala hal. Sejak kepergiannya ada sudut kosong dalam hatinya yang semakin hari semakin hampa dan tandus.

Inggit dan Andar menghentikan pertikaian mereka saat sadar ibu mereka bersedih.

"Maaf Mak udah buat sedih."

Inggit menekuk wajah mengaku salah.

"Tidak, Mamak hanya teringat abang kalian," aku Sari jujur.

Andar mendekati sang ibu yang telah selesai menggoreng godok pisang. Menuntun untuk duduk di meja makan bersama dia dan Inggit.

Serena yang ingin ikut menikmati hasil gorengan emaknya memilih diam di balik tembok. Dia ingin mendengarkan apa yang dibicarakan ibu dan adiknya.

"Kalau ada abang rumah ini selalu rame, dia pasti mengomel mirip ibu-ibu komplek kalau Inggit lama menyapu. Tapi biar mengomel dia mau mengerjakannya. Tak seperti kakak, yang tau marah-marah. Bantu mengerjakan paling anti."

Andar menggerakkan bahu seraya memasukkan potongan godok pisang yang masih hangat dalam mulutnya.

"Iya, abang paling santuy tidak kayak nenek lampir."

Kakak adik itu tertawa diikuti juga oleh Sari, sedang Serena yang masih berdiri di balik tirai mengepalkan tangan kesal.

"Apa-apaan mereka pakai cara membandingkan. Minta kena libas juga baru tau rasa."

Dari pada semakin kesal Serena kembali ke kamar, kembali menemani Qianzy bermain boneka.

Mata bening dan polos gadis kecil ini yang selalu menyadarkannya dalam kehampaan. Kekosongan jiwa seketika terisi saat mulut mungil itu memanggil mama.

Satu pelukan manja dan celoteh yang entah apa maknanya mampu memberi satu warna cerah untuk hari-hari kelabunya.

Tetapi saat ingatan kembali pada sikap keluarga Hanan membuatnya kembali rapuh dan terjatuh.

Jujur saat ini Serena tidak tahu harus berbuat apa dan mengambil langkah yang bagaimana. Baru juga dia belajar mengangkat wajah rasanya seolah penghuni muka bumi ini memandang sinis padanya.

Dia merasa asing di bumi tuhan ini, sendiri tak berteman. Orang-orang dengan mudah menyalahkan dan memojokkannya tanpa mau mendengar penjelasannya.

Serena memeluk dua kakinya di pojok kamar dengan menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Melepaskan segala sesak lewat jerit tangis yang tertahan.

Semua orang pernah salah, dan juga punya musuh namun tidak seberat dirinya. Jika bisa bertanya pada Tuhan dia ingin menanyakan dimana letak surga.

Dunia ini sudah tidak inginkan dirinya, mungkin menyusul Hanan adalah jalan terbaik untuknya.

Beruntung Qianzy menangis dan menyadarkan Serena yang hampir gelap mata, berniat menyayat tangan dengan silet.

Silet sudah berada dalam tangannya dan entah dari mana mendapatkannya.

***

"Ayah kasih sama siapa barang-barang diambil maren?" tanya Zila mendatangi tempat tinggal ayah mereka dengan istri mudanya.

Sedang dia dan Zea masih tetap tinggal di rumah lama mereka dan si bungsu tinggal di pondok.

"Rencananya mau ayah kiloin, tapi kata mami mending jual PL aja. Lumayan uangnya bisa buat kalian jalan-jalan."

Kholik Abdullah bicara dengan santai dia lupa akibat ulahnya telah membuat seorang wanita yang baru saja kehilangan suaminya depresi.

"Ide yang bagus, mami memang the best." puji Zea mengacungkan kedua jempolnya.

"Baru tau kalau mami kalian pintar ya? Kalau tidak pintar dan baik mana mau ayah jadikan istri walau abang kalian tidak setuju."

Pria tua itu menyalakan sebatang rokok yang telah sejak tadi terselih antara jari-jari tangannya.

"Tapi Abang selalu mengatakan mami jahat, penjilat dan mencari keuntungan."

Zila mengadukan yang dulu sering dikatakan Ziki, agar ikut membenci Nadia.

"Kakak kayak tidak tau aja siapa dalangnya, sudah pasti wanita tak jelas itu."

"Sebentar lagi kita akan mendengar banyak kabar miring tentang dia. Sekali jelek maka selamanya akan tetap jelek. Mau ditempa sedemikian rupa tetap saja terlihat wujud aslinya."

Kholik Abdullah enteng sekali menghina Serena, lupa dia juga punya dua anak gadis yang suatu hari nanti menjadi menantu dan juga ipar.

Nadia dari arah dapur membawa nampan yang berisi minuman dan juga camilan melengkungkan bibir untuk menciptakan garis senyum termanis miliknya.

"Dia benci wanita jelek ini karena sejak kami menikah sudah tidak bisa lagi mengambil barang-barang di rumah untuk digadaikan," tutur Nadia lemah lembut.

"Entah untuk apa abang melakukanya sedang setiap bulan ayah kalian terus memberikannya uang."

Nadia menyeringai dalam hati berhasil memercikan api kebencian dalam hati anak tirinya kepada Indira.

Bodohnya Kholik Abdullah sebagai kepala keluarga bukan menegur justru mengiyakan.

"Ada terakhir dia kesini ngamuk ya Mi," ungkap pria berjambang tebal itu mengelus pundak sang istri dan tatapan mata tak lepas dari tonjolan balon yang selalu menggodanya.

Jika tidak ada anaknya mungkin saat ini telah di libasnya, apa lagi belahannya yang membuatnya meneguk ludah berulang kali.

"Oh yang pas anaknya sakit dan mau pinjam mobil. Kalau sekedar pinjam sebentar tidak masalah. Dia mau memakai dalam waktu yang lama, padahal si putih itukan punya Mami, belinya juga pakai uang Mami sedang ayah hanya menambah beberapa juta."

"Dia minta mobil Mami? Aih, ini tidak lain dan tidak bukan pasti si Serena dalangnya. Dia wanita rakus dan serakah," sambar Zila.

"Untung kami waktu itu cepat mengusir mereka dari rumah kalau tidak mungkin sekarang ini rumah itu sudah digadaikan."

"Berani kalian mengusir mereka?" Nadia menautkan alis mendapatkan keberanian anak tirinya.

"Pas dia pergi rumah kami kunci dan kuncinya diganti." Zea terbahak membayangkan bagaimana dia dan Zila berusaha mengganti kunci rumah tanpa bantuan sedikit pun.

Obrolan mereka terus berlanjut dengan Nadia sebagai sumber pemercik apinya. Dia ingin suami dan anak-anak tirinya membenci Serena dan melupakan keberadaan Qianzy.

Sudah cukup Nadia berbagi sang suami dengan anak-anak tirinya jangan lagi ditambah anak Hanan.

"Qianzy selamanya bukan dari keluarga ini." Nadia bermonolog.