webnovel

Mulut Pedas Ipar

"Dasar wanita tidak becus ngurus anak, belum sebulan abangku meninggal keponakanku sudah sakit di tanganmu. Kalau tidak sanggup mengurusnya berikan pada kami. Sok-sokan mau menjaga anak nyatanya tidak becus. TIDAK becus!! Jadi emak tak ada gunanya," sembur Zea adik perempuan pertama Hanan yang mengamuk saat datang berkunjung mendapat keponakannya dalam keadaan demam tinggi.

"Tau tuh, ibu tak ada guna. Kebanyakan dosa makanya jadi tidak jelas," sambung Zila ikut mengompori sang kakak.

"Pantas saja abang kami mati muda, bininya model ini. Mengurus anak saja tidak bisa apalagi suami. Pantas ayah tidak pernah setuju kalian menikah, wanita tak bener," racau Zea yang memojokkan Indira.

Serena menatap lantai menetralkan deburan yang meronta-ronta dalam diri. Soal adu jotos adalah masalah kecil baginya namun, saat ini bukan waktu yang tepat. Makam Hanan masih basah untuk menjadi saksi hubungan mereka yang selama ini seperti api makan sekam.

Dari mendiang Hanan masih hidup sikap kedua gadis ini tidak pernah ramah padanya. Hanya si bungsu yang sedikit ramah mungkin masih anak-anak jadi tidak peduli masalah orang dewasa.

Dari semua keluarga Hanan hanya ibu mertua yang baik dan mau menerima kehadiran Serena. Sayangnya, usia beliau tidak panjang satu tahun yang lalu menghadap sang kuasa. Penyakit gula dan juga komplikasi telah merenggut nyawanya.

Sejak kematian ibu mertuanya dan pernikahan ayah Hanan dengan janda anak satu. Keluarga Hanan terang-terangan memperlihatkan sikap tidak suka padanya. Serena seperti sosok asing yang tak di hargai sama sekali.

Beruntung Hanan bukan tipe yang mudah dihasut, semua perkataan buruk yang dilontarkan keluarganya tentang sang istri tidak pernah di tanggapi. Dianggap angin lalu yang hanya sekedar numpang lewat.

Dan sekarang satu-satunya orang di pihaknya telah tiada akan semakin bebas keluarga itu terutama ayah Hanan memperlihatkan ketidak sukaannya. Lihat saja setelah ini pasti akan bermunculan drama yang akan menyudutkan Serena.

"Diajak bicara itu jawab bukan diam aja. Bisu ya? Atau budek," sentak Zae kesal ingin meraih Qianzy dari pangkuan Serena, tetapi bocah itu menolak dengan mengeratkan pelukan pada sang ibu.

Wajar bocah satu tahun itu menolak karena kedua gadis itu asing baginya. Mereka jarang sekali bertemu bahkan nyaris tidak pernah bertemu.

Hubungan yang kurang baik memaksa Hanan menjaga jarak antara Serena serta anaknya dari adik-adiknya. Dari pada bertemu yang ada hanya menjadi pemicu pertengkaran.

Masih ingat jelas sehari setelah kematian ibu Hanan kedua adiknya itu dengan tegas mengusir mereka dari rumah orang tua mereka. Dengan dalih takut diambil alih oleh Serena yang dikira serakah dengan harta. Sejak hari itu mereka tidak pernah berkumpul lagi.

Sampai Qianzy lahir yang diharapkan bisa menjadi pemersatu bangsa. Pada kenyataannya sama saja keluarga Hanan hanya menerima Qianzy namun, tidak Serena.

"Kakak baru saja pulang dari rumah sakit semalam. Satu minggu kemarin di rawat jantungnya kambuh. Jadi aku mohon jangan menyalahkan kakak terus. Kakak juga nggak mau anaknya sakit tapi mau gimana lagi yang namanya mau sakit ya bakal sakit," terang Inggit menjelaskan agar dua gadis tak diharapkan kedatangannya itu berhenti memojokkan kakaknya.

"Itu bukan jadi alasan untuk dia menelantarkan anak. Dasar dia yang manja, pantas abang cepat meninggal karena capek jadi pesuruh dia," balas adik nomor dua Hanan memutar bola mata malas.

Serena mengeratkan pelukan pada buah hatinya yang suhu tubuhnya kembali naik. Berusaha menulikan pendengaran agar tetap menjaga kewarasan jiwa.

Dua kakak adik ini akan semakin menjadi kalau dirinya angkat suara. Lebih baik diam untuk memperkecil permasalah dan mereka segera pergi.

"Kalau bicara memang enak, coba aja kalian yang jadi kakak. Aku rasa tidak akan sekuat kakak, sudahlah jangan menyalahkan kakak. Apa kalian sudah paling sempurna dan paling baik. Sekarang apa tujuan kalian datang kalau hanya untuk memaki dan menyudutkan kakak mending pulang aja. Aku dan keluarga yang akan repot kalau kakak masuk rumah sakit lagi. Kalian jangankan untuk membantu menjaga menanyakan kabar saja haram," sembur Inggit sudah tidak tahan mendengar mulut kakak adik yang selalu menyalahkan kakaknya.

Isyarat yang diberikan Serena tidak didengarnya yang terpenting unek-unek tersalurkan. Kapan perlu kalau memang harus gelud akan di jabanin.

"Apa!! Kami menjaga dia? Tidak salah, dia itu hanya orang lain yang memaksa minta dinikahi abang kami. Dari awal kami tidak pernah setuju mereka menikah. Dia itu wanita pembawa sial, lihat setahun nikah ibu meninggal dan sekarang abang kami yang mati karena dia. Coba abang tidak menikah sama dia mungkin saat ini masih bersama kami. Menjaga dan memberikan kami perhatian. Semua ini terjadi karena dia pembawa sial," cecar Zea menunjuk-nunjuk Indira sepanjang bicara.

Tidak peduli kata-kata tajamnya sangat menyakiti dan menghancurkan hati wanita manapun yang mendengarnya. Padahal dia juga wanita apa dia lupa jika suatu hari nanti akan menjadi istri dan ipar.

"Kalau tidak ada yang penting lagi lebih baik kakak Zea dan adik Zila pulang aja. Qianzy mau istirahat badan semakin panas," ucap Serena akhirnya bersuara menyapu wajah kedua adik iparnya bergantian.

"Kamu mengusir kami," seru Zila menyorot tajam pada wanita yang baru beberapa hari yang lalu di tinggal mati suami.

"Kalau bukan ayah yang minta tidak bakal kami menginjak kaki di rumah ini. Takut ketiban sial," sambung Zea mengambil sesuatu dalam tas selempang yang masih terpasang di tubuhnya. Sejurus kemudian sebuah amplop putih melayang tepat di hadapan Serena.

Wanita dua puluh tiga tahun itu melipat dahi menatap nanar benda segi empat itu. Dari bentuk dan ketebalannya bisa ditebak apa isinya.

"Giliran uang aja nggak berkedip tu mata," ejek gadis delapan belas tahun itu.

"Ambil tu, teman-teman ayah mengumpulkan dana untuk membayar biaya tahlilan abang. Ingat itu untuk tahlilan abang bukan untuk kau senang-senang," lanjutnya.

Mulut Serena baru terangkat setengah kembali mengunci adik kedua Hanan kembali bersuara. Lantang mengulang kalimat sang kakak dengan nada lebih tinggi.

"Kalian bawa saja kembali ini. Dan buat acara tahlilan di rumah sana saja," tolak Serena bergerak sedikit mengembalikan amplop pada adik iparnya.

Jika kebanyakan orang yang tidak akur dengan ipar saat sang ipar telah menikah. Namun, Serena pengecualiannya adik iparnya belum menikah dan usia masih belasan.

Tingkah dan ucapan mereka melebihi yang sudah tua dan punya anak. Mereka mungkin lupa atau sudah bisa memastikan keluarga suami mereka kelak adalah orang baik.

"Sok nolak padahal ijo matanya melihat isinya," pungkas Zea menarik sang adik untuk pergi dari sana tanpa berpamitan terlebih dahulu.

Pada ibu Serena yang ada di teras pun dua gadis itu tidak berpamitan. Terlalu jauh rasanya untuk mohon pamit menyapa saja tidak. Seolah keberadaannya tidak terlihat oleh mata telanjang.

"Maaf Kak, baru kali ini aku bersyukur ada orang meninggal." Inggit meraih amplop dan memberikan pada sang kakak.

"Maksudmu," tanya Serena penuh selidik setelah meraih yang diberikan adiknya.

Mereka berdua berjalan menuju kamar dan meletakkan Qianzy yang terlelap di ranjang. Ranjang yang dulu selalu hangat sekarang secara perlahan akan dingin sepi dan beku.

"Kakak terbebas dari keluarga itu. Sudah terbayang kakak harus menjadi ipar mereka sampai tua," kekeh Inggit menjauhkan diri dari sang kakak.

Takut serangan mendadak biasanya saat dia berbuat sesuatu yang membuat Indira kesal harus bersiap mendapatkan timpukan atau cubitan maut ibu satu anak itu.

Serena mendengus dan melemparkan bantal ke arah pintu. Walau kesal dia tidak menampik ejekan Inggit. Yah, paling tidak selepas masa iddah tidak ada lagi hubungan dengan keluarga itu. Bukan niat memutuskan silaturahmi hanya saja menjauh dan menghindar jauh lebih baik.

"Uang aku simpan dan aku kembalikan pada saat yang tepat."