webnovel

Fitnah.

"Ayo pulang, Nak," ujar Sari pada anak sulungnya yang sepertinya masih betah berlama-lama duduk di samping gundukan tanah merah yang masih sangat basah.

Para pelayat sudah sejak satu jam yang lalu meninggalkan area pemakaman. Qianzy telah dibawa pulang oleh kedua adik Serena.

Tinggal Sari yang masih setia menemani Serana yang meratap di samping makam suaminya. Sudah dua kali diajak pulang namun, tidak digubrisnya.

"Sebentar lagi, Mak. Aku masih ingin menemani Hahan di sini. Aku ingin dia tahu, aku tidak akan pernah meninggalkannya," sahut Serena melirik sekilas wanita paruh baya pahlawan hidupnya.

"Ini sudah hampir tengah hari. Panas akan semakin menyengat. Ingat kamu punya penyakit dan kamu harus tetap sembuh demi Qianzy. Hanya kamu yang anakmu punya saat ini," lirih Sari menggigit bibir bawahnya menahan himpitan lara yang menjeratnya.

Hanan sosok laki-laki yang bertanggung jawab selama ini yang banyak membantu biaya pendidikan adik Serena adalah Hanan.

Hanan juga tidak segan membantu pekerjaan rumah saat dirinya sedang repot. Setelah ini entah siapa yang akan membantunya.

"Mak, yang dalam sini itu suamiku," pekik Serena seketika.

"Mamak tidak merasa ditinggal mati suami," sambungnya.

Suara Serena yang menggema membuyarkan lamunan Sari. Menggunakan punggung tangan dia menghapus air mata yang keluar dengan sendirinya.

"Mamak menangis?" tanya Serena yang merasa bersalah.

"Maaf, Aku telah membuat Mamak sedih. Aku nggak bermaksud untuk membuat Mamak sedih." wanita muda itu beranjak mendekati ibunya dan memeluk tubuh yang belakangan sering sakit-sakitan mungkin terlalu lelah menjaga Qianzy yang sedang aktif-aktifnya.

"Nak, Hanan itu juga menantu Mamak bukan hanya kamu yang kehilangan dia. Mamak dan adik-adikmu juga sangat kehilangan. Dia yang lebih dekat dengan kami di rumah. Kamu lebih banyak bekerja. Dan Mamak memang belum merasakan ditinggal mati suami tapi Mamak harus melihat suami bersama istri mudanya. Berbagi suami dengan wanita lain lebih sakit dibandingkan ditinggal untuk selamanya," isak Sari mengungkapkan isi hati yang baru kali ini dia katakan.

Selama ini dia hanya memendam sakitnya sendiri. Tetap tersenyum walau hati terluka. Dia harus tetap kuat untuk ketiga anaknya.

Sejak suaminya menikah lagi Sari harus berjuang sendiri memutar otak untuk memenuhi kebutuhan ketiga anak. Uang nafkah dari sang suami tidak pernah cukup untuk sebulan.

Dan apa yang dialaminya terulang kembali pada anak sulungnya. Walaupun dengan cara yang berbeda namun pada akhirnya Indira harus berjuang seorang diri untuk anak semata wayangnya.

"Ayo Nak, kita pulang. Ada banyak PR yang akan kita hadapi kedepannya," ajak Sari sekali lagi.

Serena mengangguk meraih lengan ibunya meninggalkan tempat itu. mereka bergandengan tangan mengayunkan langkah meninggalkan tempat ruma masa depan itu.

"Aku pulang bang, abang baik-baik di sini. Kalau aku sempat akan datang lagi. Sama seperti abang yang jahat padaku. Aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku akan menjaga anak kita dengan baik, dia yang menjadi bukti bahwa kamu dan aku pernah menjadi kita," bantin wanita dua puluh tiga tahun itu melewati barisan makam mereka yang telah pulang lebih dahulu.

Sampai di rumah tujuan utamanya adalah kamar pribadinya bersama Hanan. Ruang yang menjadi saksi hangatnya cinta mereka yang telah terjalin dari sembilan tahun yang lalu. Saat mereka masih duduk di bangku SMP.

Berawal dari cinta monyet anak yang baru beranjak remaja hingga naik ke pelaminan. Dengan segala bentuk tantangan dari keluarga Hanan yang tidak menyukai Serena.

Akhirnya Serena dan Hanan berhasil menggelar janji suci mereka berdua. Janji sehidup semati namun kini baru masuk tahun ketiga awal Tuhan berkehendak lain.

Janji dan mimpi yang dirajut bersama hanya tinggal kenangan. Kenangan yang akan selalu terekam dalam benak Indira ke mana pun kakinya melangkah.

Serena mendaratkan b**ongnya di sisi ranjang. Memindai semua sudut ruangan.

Lingerie yang dikenakannya malam kemarin masih tergantung manis di belakang pintu. Aroma maskulin pria yang paling memahaminya itu masih menguar dan menyengat.

"Kau jahat, bang. Kau pergi meninggalkan aku, tapi tidak dengan bau tubuhmu. Aku minta maaf bang, sekiranya permintaan maaf bisa mengembalikan kamu aku rela melakukanya sepanjang malam. Aku nggak sanggup tanpamu. Aku terlanjur terbiasa denganmu," gumamnya memeluk kemeja yang dikenakan Hanan saat sehari sebelum ajal merenggutnya.

"Sekiranya bau tubuhmu akan tetap ada di kamar ini. Aku tidak akan membersihkan tempat ini."

Entah berapa tetes air matanya di tumpahkannya. Hingga dia merasa sangat lemas. Dan tertidur dengan sendirinya.

***

Pagi hari di hari ketiga kematian Hanan.

Serena yang baru saja mulai berdamai dengan kenyataan. Kembali harus dikejutkan kedatangan teman-teman Hanan yang melontarkan tuduhan yang sangat keji.

"Keluar kau cewek sialan."

"Keluar kau, temui kami."

"Woy istri tukang selingkuh. Wanita penghianat."

"Iin keluar kau."

Sebuah batu menghantam jendela hingga kacanya pecah. Serena yang tidak tahu ujung pangkal masalah terpaku dalam rumah.

Dia tidak merasa melakukan apa yang dituduhkan. Jangankan untuk selingkuh berpikir untuk melirik pria lain pun tidak.

Semua telah dia dapatkan dari Hanan. Pria yang telah menjadikannya seorang ibu itu rela melakukan apa saja untuk membahagiakannya.

"Mereka itu mau apa Mak?" ujarnya pada Sari menggendong Qianzy yang histeris mendengar suara ribut-ribut dari arah luar rumah.

"Mamak juga tidak tahu. Kamu jangan keluar takutnya mereka akan menyakitimu," sahut Sari yang terus menggoyangkan tubuhnya untuk menenangkan cucunya.

"Aku harus keluar, mereka tidak akan berhenti kalau belum bertemu aku." Serena berjalan keluar menemui tamu yang tak diundang. Tidak enak pada tetangga pagi-pagi sudah membuat gaduh.

Andar menahan lengan ibunya yang berniat menyusul kakaknya. Dia tidak ingin sang ibu kambuh darah tingginya jika ikut mendengar apa yang terjadi di luar.

"Mamak tetap dalam rumah. Jaga Qianzy, aku dan Inggit yang akan menemani kakak," tegasnya menarik Inggit ikut bersamanya.

Tubuh mungil Inggit terserat ke depan mengikuti kemana Andar menariknya. Usianya yang baru lima belas tahun tidak banyak yang bisa dilakukan. Selain menyimak apa yang dibicarakan.

"Akhirnya kau keluar juga ja**ng. Geram aku ingin nabok mukamu yang sok terpukul itu. Dalam hati kau senangkan teman kami meninggal. Lalu kau bebas menikah dengan selingkuhanmu," seru Agam saat pintu baru saja terbuka. Bahkan dia tidak tahu siapa sosok yang membuka pintu. Bermodalkan keyakinan yang sangat kuat dia berani bicara begitu.

"Aku rasa dia telah merencanakan ini sejak lama," sambung Doni.

"Aku pikir juga begitu, buang muka berduka citamu itu. Muak aku melihatnya." Akmar ikut angkat suara. Biasanya dia paling pendiam di antara yang lainnya.

Serena menautkan alis apa yang dituduhkan teman-teman Hanan ini. Yakin sekali mereka jika dia melakukan hal rendahan itu.

"Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan." Hanya itu yang bisa diucapkannya.

"Ya, penjara akan penuh kalau maling semuanya mengaku," sanggah Jidin.

"Jidin kau, kan yang paling sering bersama Hanan. Pasti kau tahu jika apa yang mereka tuduhkan itu tidak benar." Serena menatap penuh harap pada laki-laki bisa dikatakan paling dekat dengan Hanan.

Semoga Jidin mau memihak padanya mematahkan tuduhan yang tidak masuk akal itu. Alih-alih menanggapinya Jidin justru membuang muka.

"Hahaha ... Kau lihat tidak ada yang percaya padamu. Kau itu wanita tukang selingkuh."

"Tukang selingkuh."

"Penghianat, menjijikkan. Memalukan, bisa jadi tubuhmu itu telah di cicipi selingkuhanmu."

Kesadaran Serena menurun mendengar semua tuduhan yang di sematkan padanya. Pandangannya menggelap lalu dia tidak ingat apa-apa lagi.

Andar dan Inggit sejak tadi berdiri di belakang sang kakak. Sigap menangkap tubuh gempal Indira yang tidak sadarkan diri.

Sedang ke empat orang pembuat onar lantas meninggalkan tempat itu. Tanpa ada niat sedikitpun untuk mengantarkan Serena ke rumah sakit.

Hilang rasa iba mereka pada wanita yang baru saja ditinggal mati suami. Hanya karena kabar yang tidak tahu siapa yang menjadi penyebar awalnya.

Dulu mereka berteman sangat baik. Beberapa kali juga keempat orang itu makan di rumah ini.