webnovel

Dimana Tuhan!!

Satu bulan berlalu Serena sudah kembali bekerja, tetapi dia seperti robot. Pergi dan pulang kerja hanya sebatas kewajiban, tak tampak raut bahagia atau keceriaan di wajahnya.

Kejadian penyitaan barang-barang itu menjadikannya sangat terpukul dan terpuruk. Hati Serena hancur berkeping ketika menenani Qianzy bermain dengan mainan yang seadanya.

Jujur saja untuk sekarang dia belum mampu membeli mainan baru. Bisa tetap makan dengan sisa uang peninggalan mendiang Hanan saja sudah membuatnya bersyukur.

Dan hari ini puncak dimana seorang wanita manja di paksa untuk mandiri agar bisa berdiri menggunakan kedua kakinya dengan segala beban yang secara tidak langsung dilimpahkan padanya.

Dalam perjalanan pulang minyak motornya kering dan terpaksa mendorong. Hati yang dongkol Serena tetap berusaha mendorong kuda besi peninggalan suaminya.

Entah setan apa yang terlintas di benaknya sehingga kakinya bukannya melangkah pulang melainkan ke tempat kelam. Bermodalkan cincin dua gram yang melingkar di jari tengah Serena memasuki area terkutuk itu, area yang sudah lama tidak pernah dia injakkan kaki lagi.

"Serena, Serena ada angin apa tempat ini didatangi wanita secantik kamu," sapa Bertrand aja bukan Bertrand Antolin namun, gantengnya lumayan mendekati.

Serena menanggapi dengan senyuman dan berjalan terlebih dahulu mencari tempat di pojokan.

"Berhubung kamu tamu lama, aku akan gratiskan untuk hari ini." senyum Serena semakin mengembang.

"Serius!! Aku memang tidak punya uang, ini aja mau menggadaikan cincin ini yang penting malam ini tidak suntuk. Minyak motor kering."

Wanita cantik itu mengangkat tangan memperlihatkan benda kecil yang melingkar pada jari-jarinya tepat depan wajah lelaki setengah-setengah di sampingnya.

"Sudah kali ini gratis, sebentar aku ambilkan yang terbaik untuk."

Dengan langkah gemulai Bertrand meninggalkan Serena duduk sendirian. Untung meski Bertrand lelaki setengah-setengah nada bicaranya tetap macho hanya cara berjalannya yang rada-rada mungkin terbiasa dari kecil.

Serena menjatuhkan tubuhnya yang semakin mengurus pada sofa merah dan matanya mengitari sekitar. Telinganya dipenuhi suara musik DJ yang secara tak sadar ikut bergoyang.

Jauh dalam hati lubuk hatinya, Serena sadar ini tidak benar. Hanya saja saat ini dia butuh hiburan yang membuat otaknya plong. Keadaan yang memojokkannya dan teman-teman yang terkesan menjaga jarak menjadikan dia merasa sendirian.

"Ini, spesial buat Seren yang cantik."

Bertrand meletakan sejumlah botol di meja dan sebuah gelas kecil.

"Habiskan, kurang minta saja sama karyawanku."

Mata Serena berbinar mendapat minuman yang sebentar lagi akan membuatnya melayang tinggi.

Setelah Bertrand pergi Serena mulai menuangkan isi botol dalam gelas. Meneguknya hingga tandas dan diikuti tuangan berikutnya. Bosan menuang dalam gelas Serena langsung meneguk dari botol.

Wanita frustasi itu tampak menikmati yang diperbuatnya tanpa sadar hari hampir tengah malam.

***

Sari duduk dekat jendela menunggu anak sulungnya belum juga pulang, seharusnya saat ashar tadi sudah ada di rumah. Ini hampir tengah malam belum juga ada tanda-tanda kepulangannya.

Andar dan Inggit hari ini juga sedang tidak di rumah, mereka menginap di kota. Tinggal Sari dan Qianzy di rumah.

Jam antik yang berdiri kokoh di sudut ruang berdentang dua belas kali menandakan tepat tengah malam.

"Tuhan kemana Serena, semoga tidak terjadi hal yang buruk padanya," lirihnya beranjak ke kamar yang ditempati Serena.

Baru saja ingin terpejam terdengar suara ketukan dari pintu, dalam setengah sadar Sari membukakan pintu. Seketika aroma alkohol menguar memenuhi ruangan bersamaan masuknya Serena.

"Kamu minum-minum lagi nak?" tanya Sari yang sebenarnya tanpa ditanyakan sudah tahu jawabannya.

"Sedikit," sahut Serena pelan sambil melepaskan sepatunya dan meletakkan pada tempatnya.

"Motor kamu mana?"

"Tinggal. tadi kehabisan minyak."

"Memangnya kamu tidak isi minyaknya."

"Lupa, sudah ya mak aku mau istirahat."

Serena sengaja berlalu agar Sari tidak bertanya lebih lanjut.

Sari masih masih mematung di tempat mengunci pandangan pada tubuh bagian belakang yang bergerak menjauh.

Air matanya dibiarkan jatuh tak beraturan, anak sulungnya kembali pada kehidupan kelamnya menandakan dia sudah tidak sanggup menahan beban masalah yang ada.

Sudah lama sekali Serena meninggalkan kebiasaan buruknya itu, sejak dia di kirim kuliah di ibukota. Dan sekarang dengan sangat mudah kembali tenggelam dalam dunia kelam itu.

Dalam kamar Serena juga masih diam menyandarkan dirinya pada pintu lalu merosot menimpa lantai.

Dia tahu ini membuat ibunya sedih dan kecewa namun hanya ini yang mampu menghiburnya untuk sekarang ini.

"Maafkan anakmu yang kurang iman ini, aku janji ini tidak akan lama saat pikiranku telah membaik maka akan aku tinggalkan semuanya."

Serena menyapu potret pernikahannya dengan Hanan yang masih terpajang dengan di tembok.

"Bang, mengapa abang cepak sekali pergi, meninggalkan aku dan anak kita. Abang kan tahu aku nggak biasa tanpa abang. Sembilan tahun kita habiskan waktu bersama." Serena mengarahkan telunjuk pada gambar Hanan yang memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.

***

Hampir semingguan ini Serena terus mendatangi tempat itu. Menjemput suatu yang katanya bisa membuatnya tenang.

Tak peduli punya uang apa tidak yang jelas Serena akan tetap datang dan berhutang.

"Mak, tegur kakak, ini sudah tidak baik," pinta Inggit pada Sari yang seperti malam-malam yang telah sudah menunggu Serena pulang.

"Sudah tapi tidak didengarnya," sahut Sari pasrah.

"Lalu mau sampai kapan dia akan seperti ini. Satu minggu Mak, lama-lama semakin sulit untuk berhenti. Lagian kok cari ketenangan ketempat seperti itu, cari ketenangan itu masjid," rutuk Andar.

"Serena tidak sama seperti kalian, dia dulu memang seperti ini kelakuannya dan ini juga membuat orang tua Hanan tidak suka sama dia. Mamak tahu semuanya, tapi malas mau angkat bicara, kita makan dari keringat dia. Terlalu ditegur nanti tersinggung dan sakit hati, hubungan kita dengan jadi tidak baik," hembus Sari berusaha menenangkan kedua anaknya yang tidak nyaman dengan kelakuan Serena.

"Mamak harus tegas dengan dia," ketus Andar.

"Nanti Mamak akan mencoba bicara lagi."

"Dia tidak mikir sempat ketahuan dengan keluarga almarhum bisa aja jadi alasan mereka untuk mengambil Qianzy. Barang yang mereka beri saja tega diambil."

Sari memijit dahinya berdenyut saat membicarakan kelakuan Serena. Andar dan Inggit tidak salah, dia juga mengkhawatirkan hal yang sama.

Saat melihat sorot lampu kendaraan roda empat yang diyakini Serena, Sari mengibaskan tangan meminta keduanya anaknya masuk kamar.

"Kamu mabok lagi?" tuding Sari saat pintu terbuka.

"Lalu apa lagi? Hanya minuman itu yang bisa mengerti aku," sahut Serena agak sedikit sempoyongan.

Malam ini dia ketemu teman lama dan mentraktirnya sehingga dia minum lebih banyak.

"Bawa sembahyang nak, dekatkan diri pada Tuhan."

"Tuhan? Tuhan yang mana Mak?" Serena mendekatkan wajahnya pada Maysaroh.

Sampai wanita tua itu memundurkan wajah dan mengibaskan tangan aroma alkohol membuatnya mula.

"Ngucap nak? Tidak baik bicara begitu."

"Mak!! Tuhan hanya untuk orang-orang tertentu dan untuk kita terutama aku, Tuhan Tidak ada."

Indira menepuk dada kuat hingga menimbulkan bunyi.

"Nak, Mamak mohon jangan sakiti dirimu."

"Mak, Kalau Tuhan ada, dimana Dia saat suamiku meregang nyawa, saat mereka memfitnahku dan yang terakhir dimana dia saat keluarga Hanan menyalahkanku dan mengambil semua yang diberikan untuk Qianzy. Tuhan sama sekali tidak ada membantuku."

Sari mundur beberapa langkah seraya menggelang, sedalam ini ternyata luka Serena sampai meragukan keberadaan sang pencipta.

"Mamak tidak bisa jawabkan? So, jangan bicara tentang Tuhan yang tidak pernah adil pada kita," sembur Serena masuk kamar lalu menutup pintu sangat kuat.

Sari mengelus dada dan mengunci kelopak matanya pada pintu yang tidak berdosa.