webnovel

Acara Empat Puluh Hari Hanan.

Nadia paham watak anak tirinya yang awalnya berniat menunda, memutuskan tetap melaksanakan acara empat puluh Ziki pada hari pas empat puluh. Dia bukan Serena yang diam dan tidak akan melawan saat ada yang mengusik kehidupannya.

Namun, begitu selama anak-anak tirinya tidak mengusiknya maka sayang dan perhatian tidak akan dibedakan dengan anak kandungnya. Baginya baik anak kandung atau anak tiri sama saja, sama butuh kasih sayang dan perhatian.

Saat kedua gadis yang suka membuat onar itu pergi Nadia segera menelpon pihak catering dan tenda. Membuat janji persiapan acara yang dilangsungkan malam besok.

"Kalian tidak tahu siapa aku sebenarnya, jangan coba samakan aku dengan wanita itu. Aku bisa sangat baik dan juga bisa menjadi sangat berbahaya. Kalau ingin hidup kalian aman damai, bersikap baiklah padaku. Bukan aku yang tersingkir melainkan kalian." Nadia menyeringai setelah orang-orang yang dibayarkan untuk mengurus semua kebutuhan acara berlalu di hadapannya.

Kholik Abdullah baru kembali dari rumah sobat karibnya kaget melihat beberapa orang mendirikan tenda depan rumah. Dengan melebarkan langkah dia mencari sosok wanita yang telah berhasil mencuri hatinya dari mendiang istri pertama.

"Sayang, sayang, kamu di mana," panggilnya tidak sabar.

"Duh Ayah kebiasaan dech, jangan teriak-teriak napa. Ayah tahu jam segini Mami pasti di dapur membantu bibi memasak makan siang untuk kita," sahut Nadia setengah berlari mendekati lelakinya.

"Hehe, maaf. Ayah mau tanya itu di depan mengapa ada orang tenda? Mami yang pesan? Untuk apa?" cecar Kholik Abdullah.

"Iya, ya Mami yang pesan untuk acara abang," jawab Nadia di ikuti gerakan tangannya.

Nadia merupakan mentor senam dan juga pemilik butik serta salon kecantikan sehingga terbiasa bicara diikuti gerakan tangan.

"Kok pakai tenda? Ayah rasa rumah ini sangat luas untuk menampung para tamu undangan."

Kholik Abdullah melipat dahi tidak mengerti maksud dan tujuan sang istri yang di matanya berlebihan.

"Ayah lupa Hanan itu masih muda tentu teman-teman juga nggak jauh darinya dan juga kita punya dua gadis. Para bapak-bapak dan ibu-ibu mau di ajak masuk. Tapi yang muda-muda lebih memilih di luar. So, Mami pikir dari pada mereka berdiri nggak jelas mending kita siapkan tempat untuk mereka. Ide Mami kira-kira salah tidak."

Nadia memicingkan mata berulang kali persis boneka susan membuat Kholoik Abdullah gemas.

"Ya terserah Mami, Ayah tunggu di kamar," sahut pria paruh baya itu berlalu.

Nadia yang mengerti kode itu menitipkan anaknya pada pengasuh lalu menyusul ke kamar. Jangan tanya apa yang terjadi selanjutnya, pasangan halal sudah pasti tahu ceritanya.

***

"Kak, mandi sana. Bentar lagi magrib, dan tamu akan berdatangan. Apa iya istri almarhum belum juga mandi," pinta Inggit mendekati Serena mengecek semua hidangan.

Memastikan semua aman dan mencukupi untuk semua para undangan. Mereka tidak banyak mengundang orang, hanya tetangga sekitar dan beberapa teman dekat dirinya dan Hanan.

"Sebentar lagi, magrib masih sepuluh menit lagi." Serena melihat alat penunjuk waktu yang melingkar di tangan kirinya.

"Dasar banyak alasan, sana mandilah," usir Inggit mendorong tubuh Serena ke kamar.

"Pakai pakaian paling bagus dan dandan secantik mungkin, jangan perlihatkan muka kusut itu. Aku malu," teriak Inggit dari luar.

"Brisikkk." Terdengar balasan Serena dari dalam kamar.

Serena mematut dirinya di depan cermin memandang pantulan bayangan dirinya dalam cermin. Rambut sebahunya masih basah dan meneteskan air.

"Bang hari ini tepat empat puluh hari kepergianmu, kata orang tua dulu saat orang meninggal sudah empat puluh hari arwah yang meninggal akan pergi selamanya dan hanya sesekali datang. Bang maaf, a-aku belum bisa bangkit dan tegar menghadapi dunia. Masih ada satu sisi di hati ini berharap hari itu hanya mimpi dan abang akan kembali padaku. Bang, kurang besar cinta dan sayang ini sehingga lebih memilih pergi jauh. Rasanya masih belum yakin dengan kenyataan ini, kenyataan paling pahit yang pernah menimpaku."

Serena mengulangi memoles bedak yang luntur oleh air mata. Inggit yang mengintip memutuskan masuk dan merangkul sang kakak.

"Kak, bukan hanya kakak yang kehilangan abang. Aku, Andar dan mamak juga sangat kehilangan. Abang orang baik makanya Tuhan nggak ngizinin dia hidup lebih lama takut membuat dosa lebih banyak lagi. Kak, kakak harus kuat dan segera bangkit demi Qianzy dan juga demi abang. Aku yakin di tempat yang jauh di sana abang terus memperhatikan kakak."

Inggit menangis pilu, dirinya yang sebatas adik ipar sangat terluka atas kepergian Hanan apa lagi Serena orang yang terdekatnya. Sudah bisa di bayang sedalam mana dan perih apa luka hati Serena.

"Kamu menangis Dek?" tanya Serena mengurai pelukan dan menghapus air mata yang membasahi pipi sang adik.

"Kakak janji setelah malam ini keadaan akan kembali seperti semula."

Serena mengembangkan senyum paling manis untuk menenangkan sang adik.

Acara empat puluh hari Hanan berlangsung dengan lancar baik di tempat Serena maupun di rumah Kholik Abdullah.

Semua tamu undangan satu per satu berpamitan pulang menyisakan empat pemuda yang membenci Serena. Padahal tidak ada yang mengundang mereka namun, masih berani datang.

Empat orang itu sengaja menunggu Serena keluar mencari celah untuk memakinya. Mereka belum puas dan berhenti jika Indira belum hancur.

Andar yang ingin membuang sampah gelas air mineral berhenti tepan depan pintu saat matanya menangkap keberadaan empat orang itu. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana mereka dengan entengnya menghujat dan menghina Indira.

"Kakak ya yang mengundang empat orang itu," tanya Andar.

"Tidak, ngapain mengundang mereka. Sama saja mencari penyakit." Serena menggeleng, dia memang tidak mengundang si tukang rusuh.

"Jadi mereka datang tanpa diundang, kakak jangan keluar. Mereka itu sengaja belum pergi untuk mencari cara bisa menghina kakak lagi."

Serena mengangguk, mengikuti saran sang adik. Dia juga sedang tidak ingin mendengar hinaan dalam bentuk apapun itu yang akan menjatuhkan mentalnya kembali.

"Hey bocah mana kakak-mu yang murahan itu?" pekik Akmar melihat Andar melintasi mereka seakan tidak melihat apa-apa.

"Iya di tungguin kok tak keluar-keluar. Padahal kami ingin menawarkan kehangatan untuknya."

"Dia 'kan sekarang kesepian."

"Butuh yang hangat-hangat."

Empat orang itu tertawa terbahak, puas berhasil menghina Serena lewat adiknya.

Andar menarik nafas dalam, berusaha mengalihkan perhatian agar tidak memasukkan hati perkataan mereka yang tahunya menghina.

"Serena keluar sayang, kok sembunyi. Kami berempat menawarkan kehangatan, bebas pilih yang mana kamu suka." Entah siapa yang bicara namun membuat panas telinga Andar.

Andar buru-buru masuk dalam rumah dan mengunci pintu rapat. Dia menelepon Pak RT, minta tolong mengusir orang-orang itu.

Serena mengintip dari balik tirai melihat empat pemuda yang dulu berteman baik dengannya diusir pak RT dan beberapa bapak-bapak tetangga sebelah.

Setelah orang itu pergi Andar keluar mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Cukup lama Andar bicara dengan bapak-bapak itu Indira tidak dapat mendengarnya.

"Lihat bang teman-teman yang kau sanjung-sanjung selama ini ternyata tak lebih penjahat. Mereka tega merendahkan aku." Serena meraup wajah kasar dan menutup tirai kembali.

"Sial, awas saja Serena kalau ketemu di jalan kita kerjain habis-habisan," maki Agam.

"Makin jijik aku melihatnya yang sok suci," sambung Doni.

"Apalagi aku," sambut Jidin.

Keempat pemuda itu memaki Serena dan membuat rencana yang matang untuk ngerjain Serena jalan atau di mana saja. Asalkan ada kesempatan dan waktu yang mendukung.

"Ada waktunya kita bisa dapatkan tu janda."