webnovel

Waktunya Pergi

Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Berhenti melangkah, dan melirik ke arah mobil yang sedang melaju di jalanan. Sebentar lagi, mobil itu akan lewat dengan kecepatan tinggi. Menatap kedua telapak tangan sebentar, kemudian mengepalkannya.

"Fero ... tak lagi ada alasan untuk terus melanjutkan kehidupan ini. Harusnya, kau tak pernah berkorban untukku," gumamku pelan, melangkah ke jalanan di mana mobil akan lewat sebentar lagi.

"Awaaas!"

Teriakan dan teriakan terdengar menggema sampai ke telingaku, bahkan klakson dari mobil yang akan menabrakku. Kedua kakiku bergetar, merentangkan tangan dan mendongkak ke arah langit. "Maaf," lirihku dengan bulir cairan bening yang menumpuk di sudut mata.

"Tidaakk!" sesaat sebelum mobil itu menabrakku, sebuah tangan terulur menggenggam jari-jemari tangan kanan. Begitu aku menoleh, aku tersentak, bersamaan dengan sebuah tarikan dari tangan orang yang membenci keberadaanku.

Brakk! Dalam sekejab, tubuhku langsung berada di atas tubuh pria dengan posisi erotis. Aku terdiam tak bisa berkata-kata, tapi, kedua tanganku mengepal di atas dada pria ini dengan mata berkaca-kaca.

"Apa kau gila! Kenapa bisa-bisanya kau berdiri di tengah jalan seperti orang yang putus asa!" teriaknya dengan ekspresi wajah khawatir. Kepalan kedua tanganku semakin mengerat melihat responsnya itu.

Dia terlihat seperti orang yang khawatir dan takut kehilangan. Sebelumnya, jangankan untuk khawatir atau takut. Peduli saja tidak. "Kenapa ... kenapa kau menunjukkan ekspresi seperti itu?" tanyaku terbata-bata menahan tangis yang ingin keluar.

"Sial! Aku tak pernah mengkhawatirkan atau takut untuk kehilanganmu sedikitpun!" suaranya terdengar meninggi, sambil menggerakkan tangan untuk menyingkirkan tubuhku yang menindihnya dengan posisi erotis.

Tangan itu bergerak dengan lembut. Ekspresi wajah yang tadi tampil menghilang menjadi datar. Tubuhku yang terduduk di samping, dengan kepala yang mendongkak menatap ekspresi tajamnya itu benar-benar membuatku berpikir dua kali.

Tak mungkin orang sepertinya akan memasang wajah seperti itu. Bangkit dari posisi terduduk, aku kembali melangkah ke tengah jalan untuk memasang tubuh di tengah jalan, agar bisa ditabrak hingga tak lagi bernyawa. Namun, sebuah tangan kembali menarikku ke dalam pelukannya.

Kali ini, ekspresi marah, takut dan khawatir benar-benar bercampur di balik sorot mata tajamnya itu. "Apa kau gila! Aku sudah menyelamatkanmu dari kematian, tapi kau masih saja kembali ke depan sana untuk mati!" teriaknya menunjuk jari tepat di hadapanku.

"Sedari awal tak ada keinginan untuk diselamatkan! Kenapa juga harus diselamatkan? Aku ... aku tak lagi ingin menaruh harapan pada siapapun di dunia ini. Karena semuanya akan hancur, dan aku akan kembali sendirian," tuturku mendongkak ke arah langit malam yang terasa begitu gelap.

Aku benar-benar tenggelam, tanpa ada keinginan untuk mengawasi gerakan dari pria tertua di keluarga, Nelions Herbert. Puas mendongkak ke arah langit, kini aku menoleh ke arah Nelions yang dipanggil Neon ini terdiam dengan mata berkaca-kaca ke arahku.

Tangan kanannya menutup bibir. Aku mengangkat sebelah alis sembari memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Apa ekspresimu itu? Kau mengira aku Pengemis yang meminta perhatian untuk hidup? Aku tak memerlukan ekspresimu, karena yang kuperlukan saat ini adalah sebuah akhir dari cerita," sindirku bergetar.

Kenapa dia menampilkan ekspresi seperti itu, ketika aku sudah tak lagi berharap apa-apa pada dunia? Kenapa harus sekarang, padahal sebelumnya aku terus berharap dan berharap padanya. Namun, tidak ada satu pun tangan yang terulur untukku.

"Jangan!" teriaknya menarik tanganku untuk tak melangkah ke tengah jalan.

Langkahku langsung terhenti. "Lepaskan!" titahku tegas, menatapnya dengan ekspresi dingin. Sampai kapan Tuhan akan terus mempermainkan takdirku seperti orang bodoh ini? Lelah merelung pada setiap sudut jiwa, setiap kali memikirkannya.

"Aku hanya ingin beristirahat tanpa ada lagi yang mengganggu ... tanpa ada lagi yang mengabaikanku." Hancur sudah pertahanan untuk tidak menangis. Semua perasaan tumpah dalam bentuk bulir air mata.

"Aku lelah! Tempatku beristirahat sudah tak lagi ada! Ha–harapanku pun hancur bersamaan dengan waktu kepergiannya. Sebelum itu, adakah ka–kalian pernah memperlakukanku layaknya manusia?" sambungku pelan, terbata-bata sambil terisak.

Aku menepis tangannya tanpa perasaan, dan langsung berlari ke arah sebuah mobil besar yang melaju kencang. Neon ingin menghentikanku, tapi kali ini tak akan bisa. "Jangan! Kumohon jangaan!" teriaknya berusaha meraih jariku.

Brakk! Aku mendorong tubuhnya menjauh, bersamaan dengan rasa sakit yang dihantam oleh mobil besar dengan kecepatan tinggi. Bisa terasa, tubuhku melayang dengan rasa sakit yang mungkin dirasakan juga oleh Fero, ketika dia menyelamatkanku.

Tubuhku kemudian terhempas ke tanah, dan terseret sambil berguling beberapa kali. Teriakan-teriakan kembali terdengar, sama persis seperti Fero dan aku sebelumnya. Kali ini orang-orang hanya menonton, juga merekam.

Semakin lama, rasa sakit semakin terasa, disertai pandangan yang mulai berkunang-kunang. Tak ada rasa kecewa ketika melakukan ini, walau sakitnya begitu menyiksa. Sudut hatiku malah terasa lega.

"Nia! Nia, jangan tidur. Aku mohon!"

Suara khawatir terdengar, dengan tangan hangat yang mulai menggenggam tangan kananku. Bau amis perlahan tercium, pakaian terasa basah dengan cairan merah yang menggenangi tubuhku.

Berusaha menoleh ke arah suara itu. Neon dengan wajah meminta dan khawatirnya memegang telapak tangan, sambil meminta-minta agar aku tak menutup mata. Menggerakkan jari, ada sedikit tenaga. Langsung saja aku menepis tangannya.

"A–aku mem–ben–cimu, ju–ga me–reka," ungkapku dengan napas terbata-bata. Aku sudah mulai sulit untuk bernapas, tubuhku melemah. Rasa kantuk juga mulai menyerang kelopak mata agar merapat.

"Apa yang terjadi di sini? Neon! Cepat bawa dia ke mobilku!" suara tegas dari seorang pria paruh baya yang tetap tampan. Tak lain adalah Papa. Seorang figur ayah yang sama sekali tidak memperbolehkan kata papa terucap dari bibirku.

Orang pertama yang selalu memberikan punggung dingin, saat aku meminta bantuan. Kemudian aku melirik pada Neon, yang menyusupkan kedua tangannya untuk mengangkat tubuhku yang tergeletak tak berdaya dalam genangan darah.

Aku tak ingin diselamatkan oleh siapapun, bahkan untuk orang yang sebelumnya sangat aku dambakan untuk menjadi penyelamat utama. Menggunakan kekuatan yang masih ada, aku kembali menepis dan menghalangi tangan Neon agar tak menyusup ke bawah punggungku.

"Bi–biarkan aku per–gi, ja–ngan menyelamatkan a–tau beru–saha peduli pada–ku." Terbata-bata nada itu terucap dari bibirku.

"Diam! Jangan banyak bicara atau bergerak!" teriaknya yang menyingkirkan tanganku, kemudian mengangkat tubuh ke dalam mobil, sambil memangku. Beberapa saudara yang lain juga berkumpul di sana.

Raut wajah mereka terlihat sangat dingin. Namun, aku bisa melihat secercah tatapan hangat yang sebelumnya menjadi harapan, agar aku menjadi lebih semangat ketika menaklukkan hati mereka, tapi kini, aku menyerah.

"Ada apa dengannya?" tanya paman yang juga ada di mobil.

Aku melupakan hari ini, hari di mana jadwalnya mereka untuk liburan bersama penuh kebahagiaan, tanpa adanya keberadaanku dalam kebahagiaan mereka itu. "A–ku tak a–da pe–nye–salan kepada, kalian," ungkapku terbata-bata.

Tubuhku semakin melemas, sementara pandangan mulai didominasi warna gelap. "Sela–mat ting–gal, te–rima ka–sih atas se–muanya." Setelah mengucapkan kata itu, pandanganku menggelap tanpa ada cahaya.