Alur Langsat,
wih, kampungku itu! Segar nian udara paginya, indah tutur kata orang-orangnya. Senyum dan sapa kala berjumpa, saling memberi nasihat dan musyawarah jika ada masalah, sepakat segenep sesama. saling tolong menolong dalam senang dan susah. Adat dan hukum masih terjaga lah.
Nasihat orang tua dan cakap tengku peneduhnya, alhamdulillah, di situ, di pinggir jalan mengarah ke gunung itu, berdiri masjid terbarunya, tempat beribadah tentunya.
Meskipun belum banyak yang sembahyang jama'ah, adzan selalu berkumandang, salat lima waktu senantiasa didirikan dan diimami ayahanda.
Bahkan walau pun dia yang datang duluan, membuka pintu, menyalakan lampu, membuka jendela-jendela, mengumandangkan adzan dan iqamat, dia berdiri sebagai imam, dia keraskan suaranya dengan husnuzhan ada yang menyambut bacaan al-Fatihahnya ketika tiba di "walad-Dhaallin", namun sering kali dia berkata: aamin, sendiri, sunyi dan sepi.
Lalu kemudian di rakaat kedua setelah ruku', dia keraskan lagi suaranya membaca qunut subuh, sengaja ia beri koma, 'mana tau' ada yang bilang amin dari belakang 'mungkin ada' yang datang terlambat di rakaat kedua, namun tak ada suara selain suaranya. Dia belum putus asa, setelah salam dan dzikir ia mengangkat tangan dan membaca do'a-do'a dengan mengeraskan suara, sampai pada akhir kedua telapak tangannya mengusap wajahnya tak ada yang bilang "aamiin" dari belakang, lalu ia membaca shalawat: shlallahu rabbuna 'alan nuril 'alamin, muhammadinil musthafa syahidin musrsalin wa 'ala alihi wa sahbihi ajama'in, dia ulang sampai tiga kali, tetapi tak ada yang mengikutinya shalawat.
Ketika ia menghadap ke belakang, ternyata memang kosong, tak seorang jamaah pun datang, hanya dia sendirian.
Tetapi tidak selamanya begitu, lama kemudian penduduk Alur Langsat akan sadar bahwa meramaikan masjid adalah solusi hidup dunia dan akhirat, bahwa salat jama'ah di masjid dapat melancarkan rezeki, satu langkahnya menuju masjid mendapat satu pahala dan menghapuskan satu dosa, dido'akan malaikat, mendapat naungan di hari kiamat, salat jama'ah di masjid pahalanya dua puluh tujuh derajat lebih utama dibandingkan salat sendirian, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Shalat berjamaah 27 derajat lebih utama daripada shalat sendirian." (HR. Malik, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa'i-At-Targhib).
Ketika aku pulang kampung bulan September 2019 lalu, sudah lumayan banyak yang jama'ah lima waktu di masjid. Alhamdulillah.
Alur Langsat, ya benar, itu kampungku. Anak lajangnya akrab, meski pun tidak banyak lagi yang lajang, bisa dibilang aku adalah salah tiga yang paling tua.
Yang masih lajang turut membantu yang menikah, mengantar undangan, mengambil buah pepaya dan buah nangka, memanjat pohon kelapa, mamarut kelapa, berhidang, dan sebagainya, anak muda yang lajang adalah panitia di setiap acara kampung, bahkan yang telah berkeluarga dan yang akan menikah pun masih antusias membantu. Sore hari di Pantai Dona, malamnya di kedai kopi dan bernyanyi dengan diiringi Gitar. Tapi sekarang jembatan Pantai Dona roboh, gara-gara roda berat melintas di atasnya tanpa merasa berdosa. Kabar baiknya sekarang sedang dibangun ulang.
Alur Langsat, kalau datang dari Medan, lewat Perbatasan di Lawe Pakam boleh langsung menuju jantung kota, singgah lah di masjid Agung At-Taqwa, tunaikan salat di dalamnya, lalu menuju ke jembatan Mbakhung, belok kiri. Begini, aku sebutkan 'sebagian' nama desa yang akan kamu lewati, secara acak dan melompat saja ya, pertama; Perapat Tinggi, Kuta Batu Satu, Engkeran, Paye Munje, Stambul Jaya, Alur Nangka, Lawe Tungkal, Khutung Mbelang, nah, Alur Langsat.
Atau boleh rute lebih pendek kalau jembatan Pantai Dona telah selesai. Dari Perbatasan Lawe Pakam berhenti lah di Simpang Semadam, kemudian ke bawah, nun jauh di seberang sana, Alur Langsat. Eh belum, tunggu dulu, dari Simpang Semadam, jauh ke bawah mengarah ke desa Lawe Kinga, Semadam Baru, lalu jembatan Pantai Dona, terus di seberang jembatan jumpa desa Salim Pinim, lalu belok kanan, kemudian desa Rambah Sayang/ Pedesi, hum, Alur Langsat.
Dulu 'katanya' kenapa desa kami dinamai Alur Langsat? Adalah karena dulunya banyak pohon langsat, mungkin sama kejadiannya seperti desa Alur Nangka karena banyak pohon nangka, atau seperti desa Alur Baning karena banyak hewan penyu ataupun kura-kura. Tetapi ketika aku sudah cukup besar, sudah masuk sekolah dasar, sudah bisa membaca, telah tau membedakan pohon langsat dan pohon rambutan, pohon langsat sudah tidak ada lagi tumbuh di Alur Langsat kecuali beberapa batang yang tumbuh di samping rumah kami, batangnya kurus, kecil, daunnya menguning. Sepertinya pohon langsat itu merasa hidupnya kan tercamcam karena terdahulunya yang ditebang paksa oleh penduduk untuk mendirikan rumah.
Alur Langsat tidak lah jauh dari kaki gunung, namun tidak di tepi gunung, juga tidak jauh dari sungai Alas namun tidak di tepi sungai Alas. Ke tepi gunung sedikit lebih dekat dibanding ke tepi sungai Alas. Bangun pagi, buka jendela, melihat ke barat terlihatlah gunung, tapi tidak banyak yang mandi di sungai Alas apalagi di gunung. Mandinya tetap di rumah. Dulunya? Aih jangan ditanya, di mana ada air mengalir dipakai buat mandi selagi bersih.
Alur Langsat, ibu-ibunya pandai menganyam daun bengkuang jadi tikar, bermacam bentuk dan variasi, tidak untuk dijual, mereka koleksi dan dipakai sendiri, kala ada tamu atau pergi ke kebun, tikar dari karya sendiri jadi andalan. Sampai sekarang pun masih banyak yang bisa "mbayu" bahasa daerahnya. Namun tidak banyak lagi yang minat meneruskan bakat luar biasa itu!
Adapun bapak-bapaknya jago menganyam daun rumbia jadi atap rumah atau untuk atap gubuk di kebun, bahkan sebagian dijadikan atap rumahnya sendiri. Kalau ada anak lajangnya menikah, sementara dibangunkan rumah yang atapnya mereka ciptakan sendiri dari daun rumbia itu. Bahkan juga banyak yang membeli setelah susunan daun rumbia itu jadi. Juga pandai membuat sendok untuk menanak nasi dari batang bambu dan batok kelapa. Satu lagi, membuat pengayak beras untuk dipilah-pilih dipisah antara beras dan yang masih padi sebelum akhirnya dimasak. Karena dulunya penduduk Alur Langsat punya sawah sendiri, tidak beli beras. Di Alur Langsat ada kilang padi, setelah padi itu dijemur kemudian digiling, tidak semuanyaterlihat putih beras, masih ada beberapa butir padi yang belum terkena penggiling. Jadi bapak-bapak pun membuat ayakan atau "Ndikhu" bahasa daerahnya, bahasa Alas Kuta Cane Aceh tenggara.
Kurasa, keterampilan ibu-ibu dan bapak-bapak di Alur Langsat, sama juga dengan keterampilan seulurh ibu dan bagi di desa yang lain di seluruh Kuta Cane, terumata yang suku Alas, terlebih bagi yang pernah hidup susah.
Alur Langsat, tak jauh dari masjid baru di kampung itu ada Panti Jompo, Simpang Rumah Suluk itu pun hanya lima langkah dari samping rumah kami, jika masuk ke dalam sana, rumah kami di sebelah kiri jalan Simpang Rumah Suluk itu. Jika ingin melihat nasib diri sendiri tatkala nanti di usia 60-an, boleh lah datang ke Rumah Suluk, jenguk para lansia di sana. Melihat senyum mereka saja membuat kita bersyukur, semakin sayang pada kedua orang tua. Rumah Suluk itu, Panti Jompo itu adalah nasihat bisu bagi anak dan bapak. Agar bapak mendidik anaknya dengan baik, jadi anak yang berbudi tinggi berakhlak mulia, sayang pada kedua orang tua, agar kelak ketika ia telah lanjut usia, anaknya siap jika ia minta tinggal bersama anaknya, siap menjaga dan merawatnya, tidak menganjurkan apalagi menyuruhnya tinggal di Panti Jompo, beda halnya jika kedua orang tua memilih dengan sendirinya.
Aku pun tahu bahwa kebanyakan mereka di sana tidak lah dan bukan lah karena mereka tidak disayangi anaknya, bahkan aku belum pernah tahu kalau ada yang seperti orang lain sangkakan, belum pernah nemu. Setahuku mereka memang memilih sendiri, ingin beribadah. Buktinya pada bulan-bulan tertentu saja Panti Jompo itu ramai, seperti ketika hendak bulan Ramadhan misalnya, selalu ramai dan penuh, tamu-tamunya datang dari jauh. Setelah salat idhul fitri, anak-anak mereka telah menunggu di gerbang dan mereka pulang. Tentunya kelak kita juga ingin kedua orang tua kita yang memilih dengan senang hatinya karena niat tulus ibadah, bukan karena merasa tidak enak tinggal di rumah sebab anaknya telah menikah semua.
Pun nasihat bagi anak, agar selalu punya rasa syukur dan sayang kepada ayah dan ibunya selagi mereka masih ada, jangan sampai mengantarkan mereka meskipun mereka maksa, beda halnya karena ibadah selama sebulan dalam setahun sekali, tentu karena pilihan dari hati. Kalau tidak sayang pada keduanya, kelak karma berlaku padamu juga.
Alur Langsat, ketika aku berdiri di bukit gunung itu, kupandangi ke bawah, indah dan tentram. Dua ribu empat belas terakhir kalinya aku beridiri di atas gunung itu bahkan ketika pulang kampung lalu tak sempat mencobanya, sepertinya makin menyejukkan jiwa ketika telah berdiri masjid di Alur Langsat. Bagaimana boleh buat, sejak masuk pesantren ingin sekali Alur Langsat punya masjid sendiri lalu aku adzan dan salat di dalamnya, karena tiap kali libur santri kerab adzan dan jama'ah di mushalla kampung sebelah. Akhirnya pada usiaku yang mau beranjak sembilan belas tahun, hendak ke Al-Azhar barulah masjid itu ada.
Pun karena ada seorang warga yang sukarela mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid. Dia minta empat anak laki-lakinya ikut menanda tangani di atas surat tanah wakaf dengan materai enam ribu itu, agar kelak anak-anaknya tidak bisa mengambil tanah itu lagi untuk hak milik. Sungguh mulia hatinya, salut padanya! Beliau adalah ayahanda tercinta.
Jika ingin tahu ketaatan penduduk suatu kampung kepada Rabbnya dalam beribadah, lihatlah jama'ah masjidnya. Alur Langsat? Miris sekali, masjid saja baru punya, dari dulu, sebelumnya salat masing-masing di rumah, banyak yang taat ibadah tapi tidak tampak karena tidak ada masjid. Aku tahu ibu-ibu lebih banyak yang aktif salat lima waktu dibanding bapak-bapak.
Baru lima tahun lalu didirikan dan baru tiga tahun terakhir diakui pemerintah daerah dan dibangun dengan beton beratapkan seng oleh pemerintah. Alhamdulillah, bibit-bibit imam dan taqwa mulai tumbuh satu dua tiga dan insyaAllah seterusnya, semoga kaum mudanya pun banyak yang salat jama'ah. Allahumma aamiin.
Alur Langsat, lima tahun lalu, sebelum berangkat menuntut ilmu ke Al-Azhar, sempat terlintas di benak ketika melihat Alur Langsat dari atas gunung itu, kupandangi dari jauh, dalam hati, "Semoga kelak berdiri pondok pesantren di Alur Langsat!"
Alur Langsat dan Darrasah, dua kampung di atas bumi ini yang amat aku sayangi. Sayang Alur Langsat berarti sayang pada semua yang ada di dalamnya, ada keluarga, saudara, terutama ayahanda dan ibunda tentunya. Sayang Darrasah berarti sayang pada segala yang ada di sekitarnya. Ada Al-Azhar dan masjidnya, Masjid cucu habibul musthafa, Sayyiduna Al-Husain, guru-gurunda, kitab-kitabnya, bangunannya, buah-buahannya, dan segala yang masih bisa disyukuri dan disayangi.
Ini bukan lah apa-apa, ini hanyalah rindu pada kampung halaman semata.
Jangan lupa bersyukur.
"Syukurilah nikmat Allah jika kalian benar-benar hanya beribadah pada-Nya" QS. An-Nahl (16): 114.
Abdul Aziz adalah nama ayahku. Dia anak laki ketiga dari kakekku bernama Ta'at. Dia dipanggil 'pak-Yang' oleh sepupu-sepupuku. Dia delapan orang bersaudara. Enam laki-laki (Pakwe, Pak-ngah, pak-yang ayahku, pak-lang, pak-lung, pak-pun, bik-we dan bik-apun). Dari delapan bersaudara, hanya ayahku yang pernah ikut lama mengaji di masa kecilnya. Oleh sebab itu, ketika ia menikah dengan ibuku Hadimah (حديمة) dia sudah menjadi guru ngaji di kampung, jadi tengku di Alur Langsat. Sejak aku masih balita, aku melihat banyak sekali abang-abang, kakak-kakak sepupu bahkan ada yang dari kampung sebelah datang setiap sorenya ke rumah kami dan mengaji. Mulai dari Iqra, Juz-'amma dan Al-Quran. Sejak aku umur 5 tahun, hendak masuk SD tahun depannya, aku pun diwajibkannya ikut mengaji dengannya pada tiap sore hingga habis isya. Dialah yang pertama kali mengajarkanku huruf hijaiyah dan huruf abjad. Dari mulutnya lah telingaku pertama kali mendengar ta'awudz dan basmalah. Dialah ayah dan guru pertamaku. Kepalaku sering dia goyang-goyang, telingaku dia jewer dan tanganku dia pukul dengan rotan ketika aku tidak pandai melafadz-kan sesuai dengan ia baca. Tetapi ia tetap sabar, sebab bukan aku murid pertamanya, semua sepupuku, abang-abang dan kakakku yang jumlahnya hampir dua puluh orang saat itu telah pernah ia pukul pakai rotan di telapak tangan. Dan tidak sampai tiga bulan aku pun mulai pandai mengenal huruf hijaiyah dan abjad, meskipun belum lancar membacanya, masih mengeja. Mulai dari kelas satu hingga tamat SD mengaji dengannya, padahal bacaanku sudah Al-Quran dan telah khatam aku bacakan di padanya yang tiap malamnya setor bacaan setengah halaman. Kebiasaan di kampung adalah bila ada yang khatam juz-amma dan naik ke Al-Quran maka akan digelar kenduri dan para wali murid diundang. Begitu pun bagi yang khatam Al-Quran. Karena aku anaknya dia tidak mengadakan kenduri untukku, cukup sekadar khatam saja. Dialah ayah dan guru pertamaku. Ketika aku sudah kelas lima SD, aku pun disuruhnya mengajari yang masih Iqra' dan juz-'amma. Sejak aku kecil hingga kini belum pernah kulihat dia menunda-nunda waktu shalat apalagi meninggalkan shalat.
Sering kulihat dia demam, kelelehan sehabis kerja di gunung dan sawah, tetapi dia selalu tegak mengambil air wudhu dan menunaikan shalat tepat waktu. Dia seorang ayah yang rajin bekerja dan ibadah. Dia juga seorang ayah yang mau bersedekah untuk anak yatim walaupun tidak banyak. Pernah dia menyuruhku memberikan seribu rupiah padaku untuk diberikan pada anak yatim yang juga sahabatku dalam kelas sewaktu SD. Aku pun malu rasanya memberikan seribu rupiah pada shabatku itu, tetapi tetap aku sampaikan amanahnya. Dialah yang mengajarkanku sejak kecil untuk bersedekah, hingga kini aku pun menirunya. Tetapi shalat tepat waktunya itu, belum mampu aku ikuti. Terlalu banyak cobaan. Dua minggu sebelum lebaran idhul fitri, 2019, ayahku merasakan kesedihan yang mendalam, pak-ngah-ku meninggal. Pak-ngah-ku adalah abangnya satu-satunya. Adapun pak-we-ku telah lama meninggal bahkan aku pun belum lahir. Mendengar kabar pak-gah meninggal, aku pun menelepon ayahk. Kusampaikan dukacitaku dan tak lupa kudo'akan dari jauh. Dan dua bulan kemudian atau dua minggu sebelum idhul adha, adiknya yang meninggal. Dia adalah pak-lang-ku. Keduanya meninggal akibat sakit. Aku pun kembali meneleponnya, bukan dengan maksud menyemangatinya, sebab kutahu dia adalah orang yang tabah, dia ikhlas dengan ajal yang telah ditetapkan Allah. Kemudian kira-kira lima bulan setelah itu, bik-apunku yang meninggal. Adik perempuan paling bungsu ayah. Sore ba'da ashar aku mendapat berita itu dari kampung yang disampaikan oleh abbang ayangku, terenyuh dan menangis sendu. Kedekatan bbik-apun pada kami begitu akrab. Jarak rumah beliau ke rumah kami tidak lebih lima belas meter. Malamnya aku menelepon ke kampung dengan video call. Aku bicara pada ayah, kuucapkan belasungkawa. Ayah mengarahkan kamera belakang ke wajah bibik yang telah dibaringkah di ruang tamu rumah bibik. Duka cita yang tidak akan pernah dapat aku lupakan. Delapan dari anak kakekku, hanya ayah dan bik-apun yang menjaga shalat lima waktu. Sudah sering kulihat saudaranya yang lain ia nasihati bahkan kadang di depan kami:
"Kalian sudah tua. Anak sudah banyak dan sudah besar, shalatlah. Jangan menunggu lebih tua lagi, kita tidak tahu kapan ajal kita datang." katanya. Bahkan sangkingkan seringnya, mungkin abang dan adik-adiknya sudah bosan mendengarkan nasihatnya. Aku pun ketika aku menelepon ke kampung, ketika sudah selesai mengobrol dengan ibu kemudian aku mengobrol dengannya. Baru menanyakan kabarnya tiba-tiba adzan dikumandangkan di Darrasah-Kairo dari masjid dekat tempat tinggalku.
"Itu suara adzan, Daud?"
"Ya, Ayah."
"Ya sudah, shalat dulu saja. Nanti telepon lagi setelah shalat. Assalamualaikum." katanya, padahal belum sempat aku jelaskan bahwa di sini masih lama nunggu shalat. 15 sampai 20 menit setelah adzan dikumandangkan
barulah iqamat. Aku mau tidak mau menjawab: waalaikumsalam, kemudian panggilan aku akhiri. Walaupun setelah menelepon itu aku tidak shalat di masjid, aku hanya shalat di rumah, aku tidak turun dari lantai tujuh yang tanpa lift.
Ayahku ingin sekali naik haji, atau paling tidak umrah. Karena mereka belum mampu, belum ada duit, ayah dan ibuku pun masuk suluk. Tiap setahun sekali ia rutin pergi ke Besilam di Medan untuk ikut ritual ibadah suluk. Ayahku adalah seorang petani. Kadang ia di sawah dan lebih seringnya ia di gunung menderus pohon karet yang jika dikerjakan sendirian tidak selesai dalam sehari, tidak sanggup lebih tepatnya. Dari hasilnya menderus karet itulah ia dapat datang tepat waktu ke Darul Amin pada tiap bulannya untuk uang makan, uang spp dan uang sabunku, adapun uang janjan? Tidak pernah dia bilang uang jajan untukku. Ternyata di dalam uang sabunku itulah sudah termasuk uang jajanku yang tidak lebih lima puluh ribu rupiah. Sehingga dari hasil keret itu aku tidak pernah telat bayar uang makan sampai dua bulan, telat sebulan pernah tetapi tidak lebih tiga kali selama enam tahun aku jadi santri. Ayahku selalu berusaha datang di awal bulan. 10 hari ia bekerja menderus pohon karet miliknya di gunung, cukup untuk uang bulananku di pesantren dan biaya hidup ayah, ibu dan adik-adikku di kampung. Kami delapan orang bersaudara. Empat laki-laki dan empat perempuan. Tiga abangku laki-laki, satu kakak perempuan dan tiga adik-adikku perempuan. Aku laki-laki paling bungsu. Semua dari kami, delapan orangnya pernah ia antarkan masuk pesantren. Bangwe, bangah-ku dan kakwe-ku tidak sampai tamat sebab kala itu ayahku tidak mampu. Adapun bang-ayangku, dia cuma tiga tahun di Samalanga Bireun, kemudian tidak balik lagi sebab sudah terlalu enak di kampung. Dan syukur alhamdulillah aku enam tahun di Darul Amin, aku tamat, aku alumni 2013. Ditambah mengabdi setahun, jadinya aku tujuh tahun di Darul Amin. Adikku Diana dan Linda juga tidak lama di pesantren, kurang lebih dua tahun lalu berhenti sebab terlalu sulit jika harus setiap hari pulang-pergi antar dan jemput oleh ayah, sebab ayah juga sibuk bekerja. Dan adikku Rina, perempuan paling bungsu. Dia sekarang di pesantren Darul Huffadz, alhamdulillah dia sudah khatam, hafizah. Dia sudah membanggakan ayah-ibuku, karena dia sering ikut kompetisi dan selalu juara. Bukan soal juara, dia sudah hafal Al-Qur'an saja
ayah dan ibuku sudah senang. Pun aku senang mendengar kabarnya.
Ketika aku menelepon ke kampung, tak jarang juga aku test hafalannya.
"Coba sambungkan ayat berikut ini, Rina." kataku. Dan masyaAllah, dia pun melantunkannnya. Tetapi kadang dia pernah lupa dan di akhir telepon tak luput kubilang, "Banyak-banyak mengulang hafalan, Rina."
"Ya, Bang-apun." sahutnya.
Rina masuk sejak kelas satu SMP hingga tiga aliyah. Kira-kira lima bulan sebelum ujian terakhirnya di pondok, ia minta pindah sebab dia sudah tidak betah walau sehari saja ia menetap. Alasannya banyak tentunya. Kalau sudah tidak betah susah memaksanya harus tinggal walau setengah hari. Kemudian dia pun diantar ibuku ke Aceh, ikut dengan adikku Linda yang sudah hamper setahun. Linda orangnya introvert, Rina ekstrovert, bertemu satu kamar. Belum sebulan ia di sana aku menelepon ke kampung, ibu menceritakan semuanya bahwa mereka berdua asyik ribut mulut.
Kata Rina padaku, kakaknya Linda terlalu banyak memberi aturan terhadapnya. Tidak boleh banyak jajan, rajin mengulang dan sebagainya. Ketika Linda mendapat telepon dari kampung bahwa Rina juga akan diantar ke pesantrennya, Linda langsung bilang tidak setuju.
"Kalau Rina juga kemari, berarti aku balik lagi saja ke kampung." katanya, suaranya mulai sedikit serak, terdengar seperti ingin menangis. Dia tidak mau satu pesantren dengan Rina, entah dia gengsi atau gimana. Sedang Rina ingin sekali bersamanya. Rina sudah tidak ada pilihan pesantren lain.
"Nanti dia pasti tidak mau dengar cakapku." sambunya.
"Adikmu kan belum lancar kitab kuning, sedangkan kau sudah mulai lancar. Nanti kau bisa mengajarinyarinya." terang ibu.
"Nggak mau, Mak'e. Rina itu enggak sanggupnya diam. Pokoknya aku tidak mau. Aku pulang saja. Biar Rina aja di sini. Aku jualan aja di kampung." Katanya tetep gigih atas prinsipnya. Tetapi akhirnya jadi juga Rina ke sana. Ibuku sama sekali tidak ngaruh dengan ucapan Linda. Dia sangat mengerti bagaimana menghadapi kedua putrinya itu.
"Bawa lagi dia balik, Mak'e. Hiks-hiks." Pintanya menangis sendu ketika ibu telah sampai di asramnya. Rina hanya diam, dia tidak merasa sakit hati atas ucapan kakaknya. Dia mengerti bagaimana sifat Linda yang mungkin saja ia tidak mau ada Rina sebab dia akan repot harus menasihati dan membimbing Rina agar jadi orang pendiam sepertinya. Shalihah pun Rina, lebih shalihah lagi Linda. Linda anak paling nurut, paling rajin, paling tekun, paling dengar cakap ayah-ibu, paling pendiam. Seharian betah di kamar, betah tidak keluar rumah selama berminggu dan bulan. Dia sering juara sejak smp hingga aliyah. Dia tidak bayar uang spp karena nilainya selalu bagus, sering ranking satu. Lingkaran langkahnya hanya di rumah, masak, menyapu, bersih-bersih, jualan, sekolah. Dia keluar rumah kalau diajak ibuku bekerja di sawah memupuk jagung atau diajak ibu ikut menemaninya belanja ke pasar. Dia paling malas keluar rumah sebab tidak biasa dengan keramaian. Segimana pun megahnya acara besar di kampung sebelah, artis papan atas yang datang, dia tidak akan keluar rumah.
Sangat minta tolong sekali Linda agar Rina dibawa pulang. Dia menangis. Tetapi ibu tetap pulang tanpa membawa Rina.
Begitu ibu sampai di pintu,
"Mak'e usah risau kali sama kak Linda. Mak'e tenang aja, nanti juga kami baikan. Gampang cuma itu bujuk kak Linda. Mak'e hati-hati di jalan, ya, Mak'e. Besok kalau sudah sampai jangan lupa telepon ke nomor ustadzahku." Begitu mantap Rina menyakinkan ibu. Dengan berat ibu melangkah pulang. Sampai di kampung, ibu menelepon ke pondok,
"Gimana, Rina, masih nangis kakmu Linda?"
"Udah nggak lagi, Mak'e. Seperti yang kubilang ke, Mak'e, dalam waktu sekejab kami bisa baikan." Ibu dan Rina tertawa bahagia.
Kalau Rina bikin salah kecil seperti tidak mengulang, Linda selalu menasihatinya dengan bawa-bawa bahwa kita orang miskin, ayah kita susah bekerja di kampung, jangan gampang habiskan duit, irit beli lauk, jangan suka jajan. Hingga nasihatnya itu membuat Rina sedih, keduanya menangis sendu. Kata Rina ketika menelepon deganku,
"Sampai-sampai nggak mau kak-yang makan, nggak mau dia ngomong sama aku selama tiga hari, Bang-apun,"
"Terus-tersus?" tanyaku penasaran, kadang aku ajak bercanda aja saat keduanya mengadu padaku.
"Terus, aku bujuklah sampai aku pun ikut nangis, Bang-pun. Kalau kami udah nangis berdua, terus kami pelukan. Udah macam sineteron, Bang apun." terangnya dengan tawa. Tentu aku senang mendengarnya. Aku pun tidak jarang menasihati Linda. Aku bilang padanya jangan bersikap seperti itu ke Rina; ingin Rina pulang.
"Sebenarnya bukan apa-apa, Bang apun. Aku kasihan sama mak'e dan pak'e harus membelanjai kami berdua di sini. Aku tahu bagaimana susahnya pak'e dan mak'e cari duit. Pontang-panting ke sana kemari. Di sawah, di gunung, cari daun rumbia, menanam jagung. Kalau Rina saja di sini terus aku pulang, kan sedikit meringankan, Bang apun. Tidak tega aku membayangkan bagaimana susahnya kedua orang tua kita bekerja, Bang apun. Mak'e selalu bilang mampu, tapi saat aku di kampung pun dulunya mak'e tidak jarang mengeluh sehabis pulang dari bekerja. Kadang mak'e menangis. Sehabis pulang kerja beliau harus masak lagi. Kalau aku di rumah kan bisa aku siapkan semua itu seperti biasanya yang kulakukan. Aku mau masuk pondok ini pun bukan semata-mata kemauanku saja, Bang apun, tapi juga kemauan pak'e dan mak'e yang merasa mampu membelanjaiku. Walaupun memang waktu itu beliau lagi ada duit. Tapi kan tidak selamanya duit itu ada. Sekarang datang pula Rina, tentu menambah beban pak'e dan mak'e." terang Linda panjang lebar padaku. Sungguh dewasa adikku Linda.
"Begini, Linda. Selagi orang tua kita mampu, selagi mereka sanggup membiayai kita, selagi nasihat semangat rajin belajar dari mereka tetap ada, selagi mereka belum menyerah, ya kita selaku anak harus pandai mensyukurinya dengan belajar yang rajin. Usah terlalu memikirkan ini-itu bahwa takut beliau tidak mampu dan sebagainya. Selagi beliau belum menyerah, mari kita jadikan jerih payah mereka sebagai motivasi kita untuk belajar yang rajin dan tekun. Dan jangan lupa senantiasa mendoakan orang tua kita agar sehat selalu dan mendapat rejeki yang halal dan berkah. Do'a anak jugalah salah satu pelengkap bagi orang tua tetap mendapat rejeki dan mampu membelanjai kita. Pokoknya kita harus tetap semangat belajar. Boleh khawatir ini-itu bahwa susah dan tidak mampu, tapi jangan jadikan keluhan, jadikankan sebagai motivasi. Imbangi dengan kesungguhan kita menuntut ilmu." ujarku pdanya. Aku sampaikan ke ibu apa yang Linda khawatirkan.
"Begitulah Linda, hatinya terlalu lembut. Padahal udah sering mamak bilang usah khawatir. Dia begitu karena waktu dia di kampung dia sering kami ajak ikut membantu kami kerja memupuk dan memanen jagung. Nanti bilang ke Linda, usah khawatirkan kami." terang ibu terharu. Ibu merasa bahagia mendengar anak putrinya itu telah dewasa, berpikiran begitu.
Tiap kali menelepon ke kampung, tak jarang ibu menceritkan tentang kedua adikku Linda dan Rina. Kadang aku dan ibu tertawa dalam telepon atas tingkah mereka yang sampai sekarang Linda masih mengeluh ingin dipulangkan salah satu dari mereka. Linda selalu menjadikan Rina sebagai alasan agar ia atau atau Rina yang pulang.
"Linda itu belum banyak pengalamannya mondok, dia baru beberapa bulan di sana. Kalau Rina dikit lagi hampir enam tahun, tentu Rina lebih bisa beradaptasi. Coba lihat Rina, baru sebulan di sana sudah ada mamak angkatnya orang situ, sudah mulai bisa pula dia bahasa Aceh. Kalau Linda, ketika Mamak tidur di sana dua hari, dia diam aja di kamar. Masuk kelas, masjid, asrama, kamar mandi, itu aja. Nggak mau mengobrol bersama temannya ke kamar sebelah, izin keluar, tidak ada. Kalau dia mau sesuatu dia malah nitip, tapi jarang sekali mau sesuatu, tidak pernah jajan." kata ibu sewaktu menelepon denganku.
Sebenarnya kalau di rumah kedua adikku itu begitu akrab. Rina malah tidak mau dengar nasihat Linda, maka hal itu pun ia jadikan alasan. Ternyata ketika di pondok bukan main nurutnya Rina pada Linda. Katanya dia sangat menghargai Linda sebagai kakak kandungnya sekaligus seniornya di pondok. Mungkin Rina merasa tidak enak pada teman-temannya ia terlihat tidak menurut dengan kakaknya.
Ayahku sengaja memasukkan semua anaknya ke pesantren, paling tidak yang dekat dari rumah.
"Kelak jika ditanya Allah Swt, padaku kenapa kalian tidak shalat, kenapa kalian tak baca al-Quran, kenapa kalian berbohong, aku tidak berat lagi menjawabnya sebab kalian sudah aku nasihati dan aku masukkan pesantren." Begitu terang ayahku pada kami saat kumpul keluarga sehabis makan malam di awal ramadhan. Karena empat dari anaknya telah berkeluarga, sehingga hanya waktu kumpul pada moment setahun sekalilah ia dapat menasihati yang telah menikah. Adapun kami yang belum menikah, jika aku liburan pesantren, sebisa mungkin dia berkata-kata yang di dalamnya penuh nasihat. Bahkan dari tingkahnya pun jadi motivasi dan nasihat bagiku. Kenapa tidak? Suatu hari ayah menyuruhku menanda-tangani surat wakaf. Ternyata dia mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid di Alur Langsat, sebab di Alur Langsat belum ada masjid. Jadi saat liburan pesantren aku shalat magrib di kampung sebelah. Pada mulanya ayah telah terbiasa shalat di rumah, sebab di dalam rumah kami tempat ia mengajar ngaji. Kalau kami telat, walaupun dia hanya berdiri sendiri di posisi imam, dia selalu mengeraskan bacaannya agar kami segera ikut berjamaah dengannya. Dan aku, selaku anak pesantren yang sedang berlibur, aku keluar rumah dan shalat magrib di kampung sebelah yang tidak jauh dari rumahku. Ayahku dengar suaraku mengumandangkan adzan. Lambat laun ayahku pun ikut denganku berjamaah di masjid kampung sebelah. Dan 'mungkin' gara-gara ia sering jamaah ke masjid kampung sebelah itulah ia termotivasi mewakafkan tanahnya yang di dekat rumah kami untuk dibangun masjid. Dan saat aku duduk di kelas enam KMI Darul Amin, ketika liburan, kulihat masjidnya sudah jadi walaupun semen biasa dan berdindingkan
Papan. Kemudian aku pun adzan serta berdiri sebagai imam di sana.
Empat tahun kemudian aku di Mesir, adikku Diana mengirimkan gambar masjid yang sudah berdindingkan beton, sudah dicat, dan sudah bagus. Ayah menyuruhku memberi nama masjid itu, dan kuberi nama Masjid Arrahman. Namun belum diresmikan oleh ayah sebab kalau diresmikan jadi masjid, tentu di dalamnya mesti diadakan shalat Jumat sementara yang jadi khatib tetapnya belum ada. Jadilah masjid itu disebut sebagai mushallah biasa, dan memang bentuknya pun masih seperti mushallah. Mungkin isinya pun tak lebih seratus orang, sebab memang di Alur Langsat belum banyak yang datang ke masjid untuk shalat jamaah. "Nanti kalau kau sudah tamat, barulah aku tempah dan resmikan nama masjidnya." kata ayahku. Dia diangkat kepala desa jadi ta'mir masjid, dia yang selalu adzan dan jadi imam sahalat lima waktu. Ketika bulan ramadhan, suaranya sering serak sebab dia yang jadi imam dan bilalnya. Yang lain tak bisa. Yang bisa pun seperti abang-ayangku yang pernah mondok di Samalanga, dia bisa jadi bilal shalat tarawih, tetapi dia pula tidak ikut shalat tarawih. Maka ayahku senang sekali ketika aku libur pesantren kelas enam KMI, sebab kami bisa gantian. Kadang aku yang imam dan kadang aku yang jadi bilal. Namun aku sempat sedih padanya, aku merasa terpukul dan malu. Pada waktu satu hari sebelum shalat 'idhul fitri. Aku disuruhnya jadi khatib esok pagi di idhul fitri, tetapi aku menolak. Aku mudah sekali bilang tidak bisa dan tidak siap, sebab memang aku belum pernah. Dia pun mencari khatib ke sana-kemari sejak habis magrib hingga jam sepuluh malam. Semua yang ditemuinya tidak bisa hadir karena sudah di-booking masjid lain. Ayahku pulang dengan wajah lelah tidak ada khatib.
"Besok kita shalat di kampung sebelah." katanya pada ibuku. Aku dengar itu dari dalam kamarku. Sekarang aku menyesalinya. Kenapa aku tidak bisa dan tidak siap? Padahal aku pernah ceramah sekali di depan santri dan santriwati Darul Amin yang jumlahnya ratusan. Kenapa di kampungku sendiri aku tidak percaya diri? Bhakan jama'ah yang hadir tidak sampai seratus orang. Bukankah aku pernah jadi MC di acara Arena Gembira perdana Darul Amin di depan bupati Agara dan tamu undangan lainnya
yang jumlahnya begitu banyak? Aku benar-benar percaya diri di panggung kala itu. Tetapi kenapa di kampungku tidak? Hum, itulah karena aku belum pernah jadi khatib idul fitri. Aku bisa tetapi aku tidak percaya diri. Hari itu aku merasa benar-benar melukai hatinya. Tetapi dia tidak pernah merasa aku sakiti, dia tidak marah. Dia seorang ayah yang pendiam, bicara ketika perlu saja. Bicaranya penuh motivasi dan nasihat bagi kami, sekali lagi, namannya Abdul Aziz.
Terkadang, di saat aku malas, di saat aku lemah, butuh motivator, butuh nasihat, aku selalu sempatkan menelepon ayah dan ibuku, sebab mereka adalah motivatorku, penasihat hidupku. Ayah, ibu, semoga kalian panjang umur, semoga kalian murah rezeki dan semoga kalian bisa naik haji, paling tidak umrah, aamiin. Aku sayang pada ayah dan ibu, juga pda kalian semua.