webnovel

Bunda sedang merajuk

Part 23.

Seminggu kemudian, baru sore ini aku masuk kampus lagi. Kebetulan sudah dapat izin dari Kak Wendi untuk mengantarkan laporan mingguan ke Dosen pembimbing, Mis Tina.

Sedangkan Arini tetap bekerja di kantor membantu Mis Silfi. Asisten satu itu semakin cemburu denganku. Ada saja gosip yang di sebar nya, tapi tak ku hiraukan. Aku fokus untuk belajar sambil bekerja di kantor Kak Wendy. Anggap saja cobaan menuju akhir kuliah.

Baru saja turun dari mobil, sudah melihat pemandangan yang membuat sakit mata. Si Rendy cowok playboy kampus sedang pamer kemesraan dengan cewek, yang baru selesai di ospek. Dasar playboy cap buaya, rutukku.

Tanpa menoleh, aku berjalan menuju koridor kampus. Ternyata tujuan kami sama, hendak ke kantor. Cewek yang di gandengnya menunggu di luar, sedang aku dan Rendy masuk ke kantor.

"Selamat Pagi, Mis Tina," sapaku pada dosen killer itu.

"Pagi, Zahra," sahutnya.

"Mana laporan kamu, coba saya lihat!" Aku menyerahkan berkas laporan dalam map biru.

"Hey, kamu! Kenapa tak beri salam!" bentak Mis Tina ke Rendy.

"Maaf Mis, saya lupa," sahutnya kikuk.

"Lupa atau sudah jadi kebiasaan?!" omelnya.

"Hee-hee, jangan cerewet gitu, dong, Mis!" bujuk Rendi sok akrab.

"Mana laporan kamu, Rendy? Biar sekalian saya periksa!" kata Mis Tina.

Rendy menyerahkan laporan di dalam plastik panjang berwarna putih tanpa map biru. Hm, alamat perang ini, melihat berkasnya di berikan dalam bentuk tak rapi. Aku menunggu apa yang terjadi, semenit, dua menit, begitu lihat berkas laporan punya Rendi, Mis Tina pun berteriak.

"Ini kampus, kenapa menyerahkan berkas tak rapi seperti ini?!"

"Cepat kamu ke ruang koperasi! Beli map biru seperti ini!" Perintahnya dengan wajah kesal.

Aku yang sedang menunggu di luar kantor, pura-pura tak tau kejadian saja. Cewek yang di bawa Rendy duduk di sebelahku. Begitu Rendy keluar, ia merajuk karena kelamaan menunggu.

"Kamu tunggu di sini, ya, Sayang!

"Masih lama ya, Kak?"

"Hm, lumayan juga sih, karena berkasnya belum di periksa!"

"Kalau begitu, aku masuk kelas saja! Sebentar lagi pelajaran di mulai," cewek itu pergi sambil merajuk. Rendy melihat ke arahku, sambil garuk kepala yang tak gatal.

"Hm, memangnya enak di cuekin," ucapku bergumam di dalam hati.

******

Setelah menunggu satu jam, Mis Tina selesai memeriksa berkas laporanku. Setelah ucapkan terima kasih, aku keluar dari kantor. Kebetulan aku bertemu lagi dengan Rendy, dia langsung memegang tanganku sambil berkata.

"Zahra, maafin aku, ya! Cewek yang tadi hanya teman, dia yang selalu mengejar aku!'

"Hm, gak perduli, bukan urusanku juga," jawabku ketus.

"Kamu sombong banget sih, Za!" protesnya.

"Lagi pula untuk apa membahas soal cewek padaku!" tanyaku heran.

"Hm, aku banyak salah pada kamu," ucapnya.

"Syukurlah kalau sadar! Aku masih banyak urusan, jangan ganggu!" ingatku sambil meninggalkan Rendy yang masih bengong.

Aku langsung masuk ke mobil lalu pergi meninggalkan halaman kampus. Cowok seperti itu tak mungkin meminta maaf, kalau tak ada maksud tertentu. Biarlah di bilang berburuk sangka, memang kelakuannya tak pernah baik.

Hari ini sudah izin tak masuk kantor karena mengantar laporan ke kampus, ternyata hanya sebentar saja. Karena laporan ku sudah rapi tak bermasalah. Jadi pulangnya singgah ke butik Bunda saja.

Ku lirik arloji di tangan, sudah pukul sepuluh pagi. Pantasan perut terasa lapar, tadi pagi lupa sarapan karena takut terlambat ke kampus. Aku singgah sebentar membeli nasi gurih komplit untuk dua porsi. Ada warung langganan di dekat butik Bunda.

Dari jauh ku lihat ada sepeda motor terparkir di depan warung nasi. Sepertinya aku kenal dengan pemiliknya. Untuk memastikan siapa pemiliknya, aku lajukan mobil melewati warung tersebut. Dan benar saja, itu lelaki yang ribut dengan Papa semalam.

Mengapa lelaki itu ada di sekitar butik, sarapan di sini? Aku pakai masker dan turun untuk membeli sarapan. Seorang Ibu muda seumuran Bunda duduk di sebelah lelaki itu. Mereka sedang makan sarapan berdua.

Lelaki itu menoleh ke arahku, melihat sebentar lalu menyudahi makannya. Setelah membayar sarapannya lelaki itu pergi dengan wanitanya. Aku beranikan diri untuk bertanya ke pemilik warung tentang lelaki itu.

"Bu, pesan nasi gurih komplit dua bungkus ya?"

"Baik, Non," sahut pemilik warung.

"Bu, mau tanya nih, lelaki tadi sering makan di sini, ya?" tanyaku hati-hati.

"Oh-dia tetangga di rumah saya yang dulu!"

"Memangnya jauh rumah Ibu yang dulu?"

"Kira-kira setengah jam dari sini. Saya sengaja mengontrak di sini karena lingkungannya ramai, banyak kantor dan butik!" jelasnya.

"Non, kenal dengan lelaki tadi?"

"Sepertinya lelaki itu kemarin ribut dengan pemilik butik, ya, Bu?"

"Kok, Non bisa tau?"

"Kemarin sore saya lewat sini, Bu!" aku sengaja bicara seperti ini untuk mencari informasi tentang lelaki itu.

"Oh-begitu," sahutnya.

"Lelaki itu, mantan kekasih yang punya butik. Padahal sudah punya pasangan tapi masih saja penasaran dengan wanita pemilik butik. Saya sudah ingatkan jangan ganggu, tapi tak mau di dengarkan dan akhirnya ketauan dengan Pak Harry, suami Bu Meysa!"

"Ibu kok bisa tau ceritanya?"

"Lelaki itu langganan di warung ini!"

"Yang tadi istri lelaki itu, ya, Bu?"

"Iya-lah! Tapi kok heran dia bawa istri, biasanya sendiri," kata pemilik warung menyudahi ceritanya karena pesanan ku sudah selesai.

Setelah membayar, aku keluar dari warung tersebut. Untung mobil parkir agak jauh, jadi pemilik warung tak melihat,kalau aku datang naik mobil.

******

Begitu sampai di butik, Bunda heran lalu bertanya.

"Kenapa tak masuk ke kantor, Za?"

"Za, dari kampus, Bund, mengantarkan laporan ke dosen pembimbing!" jelasku.

"Oh-begitu."

"Jadi kamu sudah izin tak masuk hari ini?"

"Sudah izin, Bund! Ada Arini di kantor yang membantu kerja si asisten itu!"

"Loh, kok seperti itu bicaranya?"n

"Udah-ah, gak usah bahas kantor! Ini Zahra bawakan nasi gurih komplit untuk Bunda!"

"Pasti belinya di warung depan, kan?" tebaknya

"He-hee, kok bisa tau, ya?"

"Tau dong, ada tulisan di bungkusnya!"

"Oh-iya, jugaa," ucapku sambil tepuk jidat.

Aku beranjak menuju dapur mini yang di buat Bunda untuk menyeduh teh bila ada tamu. Ku ambil piring dan sendok, lalu kembali ke ruang kerja Bunda.

"Hari ini Papa menjemput Bunda, ya?"

"Sejak kejadian kemarin, Papa gak mau bilang kalau hendak menjemput Bunda!" jelasnya.

"Ya-sudah, yuk kita makan!" ajakku

Sekarang Bunda sudah jarang bicara kalau Papa ada di rumah. Sepertinya mereka sedang perang dingin. Bunda sering merajuk, tak mau kumpul di ruang tamu. Beliau lebih memilih berkurung di kamar sambil menyalurkan hobinya corat-coret di atas kertas, mendesign gamis atau syar'i.

"Lebih baik Bunda bilang ke Papa, kalau Zahra ada di butik!"

"Aihh, kamu aja yang bilang! Bunda lagi malas bicara!" Mendengar penolakannya, berarti benar dugaanku, beliau merajuk karena kejadian kemarin.

Bersambung ....