webnovel

Bab 15. TERSESAT DI HUTAN SANCANG

Wisaka berlari dengan cepat, sementara Faruq turut berlari sesaat setelah bengong melihat perampok itu kabur, tongkatnya terjatuh.

"Eeeh, tunggu ... jangan kabur ya!" Faruq ikut berteriak.

Faruq tidak melihat kalau tongkatnya menghalangi jalan, dia jatuh tertelungkup. Cepat-cepat bangun kembali.

"Sialan tongkat ini, jadinya terlambat aku mengejar perampok," kata Faruq sambil memungutnya.

Faruq berhasil mengejar Wisaka, tapi rupanya Wisaka tidak mampu mengejar para perampok itu. Mereka yang sudah terbiasa dengan hutan ini, begitu mudah menerobos jalur yang tidak diketahui Wisaka.

"Bagaimana?" tanya Faruq sambil ngos-ngosan, peluh membasahi perutnya yang bulat, sehingga tampak licin dan mengkilap.

"Lolos," jawab Wisaka penuh penyesalan. Pemuda itu merasa gagal menyelamatkan barang amanah yang sangat berharga untuk calon gurunya. Hendak menyusul ke mana sekarang, Wisaka tidak tahu jalan.

Disaat semua terdiam mencari akal, bagaimana cara menemukan perampok itu. Tiba-tiba Onet naik ke pohon yang paling tinggi.

"Aduh, Onet, jangan cari perkara deh, nanti jatuh, turun!" perintah Faruq.

Onet tidak perduli, ia terus saja naik ke ranting yang paling atas. Wisaka memperhatikan Onet. Faruq berteriak-teriak agar Onet turun.

"Sudah, biarkan, barangkali Onet mau cari posisi perampok itu di mana," ujar Wisaka.

"Oh iya, ya ... ayo Onet, cari mereka ada di mana!" serunya memberi semangat.

"Uk uk uk uk, ek ek ek ek, eaaak eaaaak, uk uk uk uk, ek ek ek ek, eaaak eaaaak," begitu suara Onet.

"Artinya apa, Kang?" tanya Faruq.

"Entahlah, aku tidak mengerti," jawab Wisaka.

Onet terus menerus berseru seperti itu, seolah-olah memanggil seseorang. Tiba-tiba ratusan ekor kera berdatangan dari segala penjuru. Rupanya Onet memanggil bala tentara kera untuk membantu Wisaka.

Onet memimpin pasukan berlari melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Wisaka dan Faruq berlari mengikuti dari bawah. Banyaknya duri tidak mereka hiraukan. Kitab itu lebih penting untuk mereka dapatkan kembali.

Pasukan kera yang dipimpin Onet berhasil menemukan mereka. Puluhan kera mengeroyok salah satunya. Puluhan lagi mengeroyok yang lainnya. Tentu saja tiap-tiap anggota perampok itu sangat kewalahan menghadapi serangan yang tak terduga ini.

"Monyet sialan, pergi dariku!" Para perampok berteriak-teriak.

Mereka babak belur, Onet segera mengambil kitab itu dan menyerahkannya kepada Wisaka. Wisaka yang terbengong-terbengong melihat kejadian tersebut, cepat-cepat mengambil kitab tersebut. Tidak pernah terbayangkan. Onet ternyata mempunyai persatuan yang menghasilkan kekuatan yang sangat luar biasa.

"Dasar kera, lepaskan telingaku!"

"Aww, jariku ... jariku mana?!"

"Mukaku panas ... perih ... oh darah ... darah!"

Di saat bersatu kekuatan itu menjadi sesuatu yang maha dahsyat. Wisaka sungguh takjub dengan pemandangan di depan matanya. Perampok itu jadi bulan-bulanan para kera. Ada yang menggigit telinga, ada yang menjambak rambut, ada yang melorotkan celana komprangnya. Ada juga yang menggigit jari sampai putus dan mencakar wajah.

"Uk uk uk uk ek ek eaaak eaaaak, uk uk uk uk ek ek ek ek eaaak eaaaak!" kembali Onet berseru.

Pasukan kera menghentikan pengeroyokan mereka, para perampok terkapar tak berdaya. Onet memberi tanda kepada mereka untuk pergi. Serentak mereka berloncatan ke atas pohon. Menghilang meninggalkan suara riuh khas kera di kejauhan.

Para begal dengan sisa tenaganya berusaha lari, biarpun tampang sangar, tetap saja mereka takut mati. Berlari tunggang langgang cara paling aman daripada harus bertarung lagi dengan Wisaka.

Wisaka sangat berterima kasih kepada Onet, apa jadinya kalau Onet tidak punya inisiatif untuk memanggil kawanannya. Faruq mulutnya melongo membentuk huruf O. Onet melompat ke pundaknya, mengagetkannya.

"Eeeh eeeh eeeh," Faruq gelagapan sambil menutup mulutnya.

Onet melompat ke atas pohon sambil menyeringai melihat Faruq kalang kabut.

Wisaka melihat sekeliling, mungkinkah mereka tersesat dari arah jalan yang sesungguhnya? Wisaka lupa arah untuk mencapai gunung Bengkok. Akhirnya mereka memutuskan untuk terus berjalan.

Hutan semakin rimbun dan pekat, matahari tidak mampu menembus lebatnya dedaunan. Suasana remang-remang, hari juga sudah menjelang sore. Mereka sampai di persimpangan jalan. Tidak ada yang tahu ke arah mana harus berbelok.

"Kang, harus berbelok ke sebelah mana kita?" tanya Faruq.

"Entahlah, ayo kita duduk sebentar istirahat," jawab Wisaka.

Tiba-tiba di telinga mereka terdengar seperti auman harimau. Tentu saja mereka kaget, ada harimau dekat mereka. Mereka bersikap waspada. Sepertinya suara harimau itu mengandung mistis, seperti menuntun mereka pergi ke suatu tempat.

Mereka berjalan ke arah kanan sesuai kata hati, sesuatu yang ghaib seperti menunjukan arah. Setelah melewati hutan mereka bertemu dengan pantai berpasir putih. Indah sekali panorama senja.

Bola api raksasa perlahan tenggelam menyisakan rona jingga. Rambut Wisaka yang gondrong berkibar terkena angin pantai. Terlihat seperti lidah api saat terkena cahaya surya. Air laut tampak seperti gelombang emas yang berkilauan.

Terlihat gerombolan pohon yang tumbuh di pinggir-pinggir pantai. Pohon itu tidak terlalu tinggi tetapi rindang dan mempunyai ranting banyak.

" Lho, Kang ini kan ... ini kan," kata Faruq sambil menunjuk ke pohon tersebut.

"Apa, memang itu pohon kenapa?" tanya Wisaka.

"Ini adalah pohon kaboa yang hanya tumbuh di Hutan Sancang. Itu berarti sekarang kita berada di Hutan Sancang, Kang," kata Faruq sambil bergidik ngeri.

"Memang kenapa dengan Hutan Sancang, kamu takut?" tanya Wisaka.

"Tapi kan ceritanya bikin serem, menurut cerita nih. Setiap ranting pohon kaboa dihuni oleh satu ekor macan siluman," jawab Faruq.

"Berarti tongkat kamu ada penghuninya juga," kembali Wisaka bertanya.

Faruq tidak menjawab, karena dia melihat ada gubuk di tengah hutan. Seorang kakek terlihat sedang memasak nasi. Ikan kecil-kecil tampak menunggu giliran untuk diolah.

"Kakek," sapa Wisaka.

"Naiklah kalian ke atas gubukku," ujar Kakek tanpa menengok.

Dengan sekali lompatan Onet sudah bertengger di tiang gubuk, Wisaka dan Faruq menaiki tangga yang cukup tinggi. Mereka duduk sambil memperhatikan kakek yang sedang memasak di bawah.

"Bolehkah aku membantumu, Kek?" tanya Wisaka.

"Tidak usah, ini sudah mau selesai," jawab Kakek sambil menyodorkan makanan yang telah dimasaknya.

Bau goreng ikan, membuat perut mereka berbunyi, tapi Wisaka teringat dengan Leli. Faruq juga tidak mau makan ikan.

"Ambillah kepiting di sungai itu, banyak terdapat di sela-sela batu," kata Kakek sambil menunjuk sungai tak jauh dari gubuk.

Wisaka, Faruq dan Onet pergi ke sungai, airnya sangat jernih cuma setengah betis. Kehidupan di bawahnya jelas kelihatan.

"Lha, itu Kang banyak kepiting di pinggir sungai, jalan-jalan," kata Faruq.

"Itu kayakas, gak dimakan," jelas Wisaka.

"Beracun ya, Kang?"

"Entahlah, memang biasanya tidak dimakan."

Onet menyebrangi sungai. Melihat pisang matang di pohon, ia memetiknya beberapa buah, lalu kembali menghampiri Wisaka. Setelah mendapat beberapa ekor kepiting mereka membakarnya di gubuk. Empat ekor kepiting besar sukses membuat mereka kenyang.

Wisaka duduk sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Terkagum-kagum dengan alam yang begitu indah. Gubuk ini sangat terawat sekali, sekelilingnya bersih membuat betah orang yang singgah.

Tiba-tiba Wisaka melihat sepasang bola kecil bersinar di balik rerimbunan pohon. Menyilaukan, dan Wisaka kaget.

"Kakek, sinar apakah itu?" tanya Wisaka.

"Itu leluhurmu, tidak usah takut," jawab Kakek.

"Apa, leluhurku?"

l