webnovel

Chapter 5

Meghan pov

Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Di mana aku harus kehilangan kedua orang tuaku di saat yang bersamaan, di saat aku akan menginjak bangku perkuliahan. Tidak ada yang peduli pada keluargaku, mereka semua membenci kami. Dengan alasan yang tak masuk akal, hanya karena sebuah harta warisan. Bahkan, orang tuaku meninggal pun mereka tetap tak peduli.

Kini, aku harus menjaga adik yang menjadi keluargaku satu-satunya. Di rumah yang ku dengar angker ini, aku harus tetap bisa hidup bersama Reva, adikku. Aku mencoba untuk bertahan, tapi kali ini aku benar-benar menyerah. Aku tak ingin bergerak sedikitpun, suara-suara yang terdengar samar itu, terus saja menghantui telingaku. Aku hanya ingin hidup dengan tenang, rasanya aku ingin segera pergi dari tempat ini.

Tok ... Tok ... Tok

Suara ketukan pintu? Seketika aku terperanjat, itu ketukan pintu rumah. Pak Erwin? Apa itu dia?

Tok ... Tok ... Tok

Suara itu semakin keras, aku terlalu takut untuk harus membuka pintu rumah. Jujur saja, aku trauma dan tak ingin beranjak dari kasurku. Namun, tiba-tiba saja ponselku berdering tanda pesan masuk. Sontak aku langsung memeriksa pesan itu.

Pak Erwin

Aku di luar, bukalah pintunya

Aku menatap lekat layar ponselku, aku benar-benar tak berani turun dari kasur. Bahkan suara pintu itu terus saja berbunyi.

Meghan

Aku takut, bapak bisa langsung masuk saja. Lalu naik ke tangga, dan pintu yang berada di tengah adalah kamar adikku. Aku sedang bersama adikku

Hanya itu yang bisa kubalas atas pesannya. Tak ada balasan apa pun, aku menarik napas panjang. Hingga suara langkah kaki itu terdengar. Pak Erwin, ku harap dia bisa segera membawa ku dan Reva pergi dari sini.

Tap ... Tap ... Tap

Langkah kaki itu semakin mendekat, meskipun aku harap-harap cemas, tapi tetap saja aku berusaha untuk menenangkan pikiranku.

Tok ... Tok ... Tok

Suara ketukan pintu, itu pak Erwin. Aku menelan ludah, beranjak dari tempat tidur. Perlahan berjalan menuju pintu kamar. Dengan tangan gemetar, aku memegang gagang pintu itu. Aku membuka pintu dengan suara yang pelan, dengan maksud agar Reva tidak terbangun dari tidurnya.

"Pak–?" Apa ini? Kemana suara langkah kaki itu? Siapa yang mengetuk pintu tadi? Di mana pak Erwin?

Aku mencari kemana pak Erwin, tapi nihil, aku tidak menemukan siapa pun. Lalu? Suara langkah kaki siapa tadi? Bagaimana dengan pesan yang ku dapat dari pak Erwin? Itu tidak mungkin halusinasiku, aku benar-benar sadar.

Hi-hi-hi-hi

Dheg!!!

Suara tawa itu? Aku membelalakkan mataku. Kaki ku bergetar dengan keras, tanganku ikut bergetar. Tubuhku seketika lemas, keringat dingin membasahi pipiku. Aku benar-benar tidak berani menoleh ke belakang, aku takut, sangat takut. Hingga tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundakku, aku menatap tangan dengan kuku yang panjang. Kulit tangan yang hitam, mencengkeram pundakku. Perlahan aku menoleh ke arah belakang.

"Kyaaaaaa!!!!"

Aku tak bisa bergerak, tatapan itu? Tatapan itu ... aku tidak bisa apa-apa. Seseorang tolong aku.

Hi-hi-hi-hi

Suara yang persis berada di telingaku, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Badanku bergetar dengan hebat, pikiranku sudah tak karuan, bayangan wajahnya yang menyeramkan itu membuatku semakin ketakutan. Aku menutup telingaku, sudah tak peduli dengan tampilanku yang mungkin terlihat acak-acakan. Tangan itu kembali menyentuh pundakku ... ku mohon, pergilah dari sini.

Cengkraman tangannya semakin kuat, aku tak berani menatap tangan itu. Aku takut.

"Pergi! Tolong, jangan ganggu aku." Dengan suara bergetar, menahan tangis, menahan rasa takut yang menyelimuti diriku, aku tetap mencoba untuk bersuara.

"Meghan? Meghan?" Suara itu? Aku kenal suara itu, tapi tetap saja aku takut. Aku tak berani untuk menoleh ke arah sumber suara yang tepat berada di sampingku.

"Meghan? Ini aku, kamu tidak apa-apa?" Tangan laki-laki? Pak Erwin? Aku menoleh ke arah sampingku, benar dia pak Erwin.

"Meghan, kamu tidak apa-apa?" Pertanyaan yang masih belum ku jawab, aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku masih terlalu takut untuk bicara.

"Meghan?" Dengan tatapan iba, ia kemudian memelukku dengan erat. Pelukan yang memang sedang aku butuhkan saat ini.

Ia mengelus lembut rambutku, aku menangis sejadi-jadinya. Apakah ini, yang dialami kedua orang tuaku kemarin?

"Kamu akan baik-baik saja, tenanglah. Aku akan berada di sampingmu, aku akan menjagamu," ucapannya membuatku semakin ingin menangis. Pah, mah, aku ingin pergi bersama kalian.

.....

Aku duduk di atas kasur, dengan selimut yang menyelimuti setengah badanku. Reva masih tertidur dengan lelap, aku juga tidak mengerti. Kenapa gadis itu tetap terlelap, di saat teriakanku cukup keras tadi. Pak Erwin duduk di kursi di sampingku. Ia sibuk dengan ponselnya, lalu kemudian ia menaruh ponselnya di atas nakas dekat lampu tidur.

"Apa yang terjadi?" Ia menatapku dengan intens, aku tidak ingin mengingat kejadian yang membuatku takut setengah mati.

"Aku melihat wanita itu, wajah yang pucat, tatapan yang mengerikan—"

"Cukup! Tidak perlu di teruskan," potongnya. Ia beranjak dari duduknya, entah kemana ia akan pergi, "Kamu tunggu di sini, aku akan ke dapur sebentar." Aku hanya menganggukkan kepalaku.

Entahlah, aku bingung dengan perasaanku. Aku hanya ingin pergi dari sini. Pergi sejauhnya dari tempat ini. Tak lama setelah itu, Pak Erwin kembali masuk ke dalam kamar, entah apa yang telah ia lakukan. Karena ia masuk dengan tangan kosong.

"Tidurlah, aku akan menjagamu," ucapnya dengan lembut.

"Aku tidak ingin tidur, wajah itu ... wajah itu menghantuiku." Aku menggigit bibir bawahku, memperat genggaman tanganku sendiri.

"Dia sudah pergi, jadi tidurlah!" Tatapan lembut itu, membuatku tak bisa menatapnya lama.

"Aku bukan anak kecil, jadi tolong jangan menghiburku dengan cara seperti ini." Aku benar-benar tak habis pikir dengan ucapannya.

"Dia takut padaku, jadi tenanglah," ucapnya, masih setia dengan tatapan lembutnya.

"Tolong jangan bercanda di saat seperti ini, Pak."

Dia lebih mendekatkan kursinya ke samping tempat tidurku, hingga jarak antara kami hanya beberapa jengkal saja.

"Aku tahu kamu ketakutan, melihat wajah makhluk yang tiba-tiba saja menampakkan dirinya di hadapanmu, tapi kamu harus tetap istirahat. Hilangkan semua pikiran-pikiran itu, maka kamu tidak akan dihantui rasa takut. Percayalah padaku, itu hanya halusinasimu saja." Baru kali ini aku melihat tatapan dari seorang pria, ia begitu tulus mengatakan hal itu.

"Aku ingin pergi dari sini," kataku yang membuatnya menatapku dengan heran.

"Iya, besok aku akan membawamu dari sini bersama adikmu, sekarang kamu istirahat dulu, yah," pintanya.

"Aku ingin pergi sekarang," ucapanku mungkin terdengar kesal, tapi aku benar-benar ingin segera pergi dari rumah ini. Pak Erwin beranjak dari duduknya, sejenak ia menghela napasnya. Menyentuh pucuk kepalaku dengan lembut, diikuti dengan sebuah senyuman simpul di bibirnya.

"Baiklah," ucapnya.

Ia mengambil ponselnya, lalu berjalan dan sedikit menjauh. Ia menekan ponsel itu dan meletakkannya di telinga kirinya. Menelepon seseorang yang ku dengar bernama Andre.

"Andre, bawa mobilku sekarang! Akan ku kirimkan lokasinya," ucapnya dengan singkat. Ia menaruh ponsel di sakunya, lalu ia balik menatapku, "Persiapkan barang-barangmu, kita akan pergi dari sini." Kali ini senyuman itu terlihat dengan jelas. Dia ternyata tampan juga. Tunggu, kenapa dengan hatiku?

……

To be continued …