webnovel

Imperfect Boyfriend

TAMAT. Proses Revisi. Clarissa Annabelle ditakdirkan hidup dalam kesedihan. Kedua orang tuanya berpisah sehingga tidak ada lagi rumah untuknya mendapat kasih sayang. Ketika waktu mempertemukan gadis itu dengan seorang lelaki dewasa, Annabelle merasa sangat nyaman. Mereka menjalin hubungan meskipun terpaut umur cukup jauh, hingga takdir kembali mempermainkan perasaannya saat Dhani menikahi wanita lain. Annabelle berusaha mencari kebahagiaan dengan meninggalkan semua orang yang telah melukainya, mencari kisah baru dan berharap ada sedikit kebahagiaan untuknya. ~ Cover by Mendystxxx. FB: Ikka Fahrie IG: Ikka Fahrie

Ikka_Fahrie · Adolescente
Classificações insuficientes
219 Chs

Membuang Waktu

Silau mentari pagi yang terasa hangat tepat menyoroti wajah Lia hingga membuatnya menyipit ketika memerhatikan Abel. Sesekali, Lia melirik jam tangan yang semakin membuat dadanya berdebar cepat takut telat. Dia pikir, sekali ini saja bermotor tanpa helm mungkin tidak masalah, toh, mereka juga mengejar waktu supaya tidak telat masuk sekolah. Akhirnya Lia menghidupkan kembali mesin motor, sehingga menarik perhatian Abel di depannya.

"Bentar, Li," kata Abel yang masih sibuk dengan handphonenya.

"Nelpon siapa, sih?" tanya Lia sebelum menyuruh sahabatnya naik.

"Dhani," jawabnya singkat. Kemudian, memutar tubuh membelakangi Lia. 

Beberapa menit menunggu, Lia merasa Abel hanya membuang-buang waktu mereka. Lagipula untuk apa menelepon Dhani? Lia mendengkus kasar sembari menggaruk puncak kepala yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. 

"Ngapain telepon Dhani, sih?" tanya Lia lagi.

"Nggak jadi deh, nggak aktif juga dianya." Abel menyimpan kembali handphone ke dalam tas, lalu berjalan mendekat untuk naik motor.

"Jadi, nggak usah pulang ngambil helm?" Abel bertanya pelan seraya melangkahkan kaki kanannya menaiki motor.

"Nggak usah, moga aja nggak lagi ada razia di depan," sahut Lia yang langsung menarik gas motor matic kesayangan. 

Hanya butuh beberapa menit untuk sampai di SMA Negeri sekolah tercinta, tetapi waktu tidak mungkin bisa di perlambat, mereka tetap saja telat. Satpam sekolah sudah menggembok gerbang berwarna hitam dengan lambang burung Garuda di bagian tengahnya. Laki-laki berseragam hitam putih itu hampir saja pergi dari sekitar halaman, tapi berbalik saat melihat motor Lia berhenti.

"Pak … Pak … tolong bukain gerbangnya dong. Baru juga telat tiga menit …," rengek Abel yang seketika turun dari motor yang belum benar-benar berhenti. 

Sangking gugupnya, gadis itu bahkan hampir terjatuh karena tersandung tali sepatunya sendiri. "Pak Jo  kita 'kan temenan, Pak. Ya kali Bapak tega biarin kita kena hukuman gara-gara telat masuk kelas pak Willi?" rayu Abel. 

Lia juga tidak mau berdiam diri memerhatikan Abel yang tengah berjuang mendapatkan belas kasih pak Jo, sebagai satpam SMA yang sudah akrab dengan Abel karena terlalu seringnya telat. Namun, tentunya tidak mudah bagi mereka berdua untuk membuat pak Jo mau memberi mereka kesempatan lagi dan lagi. Lia lantas mendekat, lalu memegang besi gerbang menggunakan kedua tangannya. 

"Pak Jo jadi mau Lia kenalin sama mbak Mira, nggak?" tanya Lia penuh kelembutan yang sengaja dibuat-buat. Tidak lupa tersenyum lebar hingga memperlihatkan lesung pipit di sisi kiri bibirnya. 

Mbak kantin yang bohai itu memang sudah lama menjadi incaran pak Jo. Sudah beberapa kali Lia dan Abel juga beberapa murid lain mencoba comblangin mereka, tapi mbak Mira seperti tidak mau menanggapinya. Laki-laki bertubuh gempal itu pun sedikit tersenyum sebab ucapan Lia sudah mendebarkan hatinya. Nama mbak Mira seakan menjadi kunci bagi mereka untuk membuat pak Jo mau membukakan lagi gerbang sekolah meskipun sudah seharusnya ditutup rapat, sepuluh menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.

"Buruan masuk, Neng. Beneran ya sama kata-katanya yang tadi," ucap pak Jo setelah membuka gerbang itu. 

"Yoi, Pak. Tunggu aja mbak Mira bakal nerima cinta Bapak pas nanti kita comblangin," sahut Lia sambil berbalik ke motornya. 

Dia segera menghidupkan motor, Abel pun bergerak cepat memboncengnya. "Thank you Pak Jo, tunggu ya kita bakal buat mbak Mira suka sama Bapak," teriak Abel saat motor membawanya menjauh dari sekitaran gerbang. 

Dua gadis itu terkekeh senang karena akhirnya tidak jadi mendapat hukuman dari guru super jutek di jam pertama. Begitu sampai di parkiran yang letaknya di samping kanan gedung sekolah, mereka pun berlarian menuju kelas XI MIPA 3. Lima menit terakhir bisa Abel gunakan untuk mencontek PR yang belum sempat dikerjakan. 

"Dirga," panggil Abel saat melihat teman cowok satu kelasnya akan masuk. 

Cowok berkacamata itu lantas berhenti tepat di depan pintu kelas, lalu tersenyum riang melihat Abel memanggilnya. 

"Ga, bisa pinjam buku tugas pak Willi?" tanya Abel langsung ke inti.

"Boleh," sahutnya tanpa alasan apapun. Seketika Abel merangkul tangan Dirga dan menyeretnya masuk. 

Beberapa murid lain yang melihat itu sudah tidak keheranan, pasalnya mereka tahu bila Abel sedang baik kepada Dirga--itu artinya gadis itu sedang ada maunya. Mereka pun duduk di kursi tempat Abel dan Lia duduk, sedangkan Lia yang mengikuti akhirnya duduk di kursi Dirga. 

Cepat-cepat Dirga mengambil buku dari dalam tas dan dengan senang hati membuka tugas yang sudah dikerjakannya semalaman, dia pun menaruh buku tersebut di meja dan mempersilahkan Abel untuk menyalin jawaban yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya itu. 

Dua puluh soal rumus rumit ala pak Willi berhasil Abel isi berkat kebaikan dan ketulusan hati Dirga. Cowok tinggi, berkulit putih dan kacamata bulat yang selalu menghiasi lingkar matanya itu selalu menjadi dambaannya di saat genting seperti pagi itu.

 Dia pun menutup bukunya, juga buku Dirga dan menepuk bahu cowok berkacamata dengan lembut, lalu berkata, "Makasih Dirga, tanpamu apalah artinya wajah cantik dengan otak separuh fungsi kayak aku ini. Oke, sekarang pindah tempat duduk gih." Abel tersenyum lebar supaya menyenangkan hati Dirga. 

Lia yang mendengar kata-kata Abel dengan jelas, hanya menggeleng pelan atas kejujuran memalukan sahabatnya itu. Lagi pula, kenapa juga Abel bilang kalau otaknya hanya berfungsi separuh? Memalukan sekali!

"Besok-besok datang lebih awal kalau mau salin tugas lagi, kalau kayak gini 'kan kasihan kamunya," kata Dirga seraya beranjak dari tempat duduk Lia. 

"Iya, siap, Ganteng," sahut Abel sambil hormat, wajahnya mendongak menatap Dirga hingga membuat cowok itu semakin tergila-gila akan kecantikan Abel yang rambutnya sedikit berantakan dan berkeringat. Makin terekspose nyata cantiknya. 

Teman satu kelas mereka hanya terkekeh geli mendengar kata-kata bucin keduanya, apalagi tatapan menggoda Abel. Pantas saja Dirga mengharap lebih, Abelnya juga seperti memberi harapan. 

"Selamat pagi anak-anak," sapa pak Willi. Guru jutek yang sedari tadi menjadi beban di pikiran Abel. 

"Pagi, Pak …," jawab semuanya serempak. 

"Dirga, ngapain kamu di situ?" tegas pak Willi saat akan duduk. 

"Nggak papa, Pak." Dirga menjawab, lalu langsung maju beberapa langkah untuk bertukar tempat duduk dengan Lia. 

"Baiklah, silahkan Dirga …." Pak Willi menyuruh Dirga sebagai ketua kelas untuk memimpin teman-teman membaca do'a sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai. 

***

Seakan jarum jam tidak bergerak, Abel merasa sangat bosan dengan materi yang diberikan pak Willi pagi itu. Dia pun mengambil handphone dan mencoba mengirim pesan singkat kepada Dhani. Lia yang melihat itu sudah mencoba menegur, tetapi bukan Abel namanya kalau tidak keras kepala. Gadis itu terus memainkan handphone, melihat foto-foto kebersamaan dengan Dani selagi menunggu pesannya dibalas. 

"Jangan lupa sarapan, Sayang." Begitu pesan Abel yang belum juga dibalas Dani. 

"Mau saya traktir, 'nggak?" Suara berat laki-laki yang bertanya di sampingnya membuat Lia menunduk dalam. 

"Mau dong, tapi entar kalau nih mapel pak judes udah selesai," jawab Abel tanpa menoleh. Pasalnya, dia masih fokus dengan deretan foto Dhani dalam galeri handphonenya. 

Next …