"Apa, Ate, percaya hantu?" tanyanya tiba-tiba.
"Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?"
"Aku hanya..." Kulihat Jena menggaruk belakang telinganya seakan salah bicara.
Aku menghela napas sesaat sebelum memotong ucapan tidak nyamannya Jena "Iya. Aku percaya. Mereka hanya tidak terlihat, tapi bukan berarti tidak ada, bukan? Ayo cepat turun. Aku sudah lapar. Jangan lupa tolong sekalian bawakan turun koperku."
Aku pikir Jena akan menolak. Tapi ternyata dengan santainya ia menenteng dua koper itu di kedua tangannya.
Aku curiga bahwa dia sebenarnya anak laki-laki.
"Ayo, Jena, makan bersama dulu! Nanay sudah siapkan makanan kesukaan kamu."
"Wah, baunya enak sekali, Nanay. Perutku jadi semakin lapar. Aku tidak sabar untuk menghabiskannya, hehe." seru Jena sembari duduk di kursi di seberang mama. Aku pun turut menyusul duduk di samping mama.
"Zarrel, kamu juga makan yang banyak, Sayang," ucap mama sembari memberikan nasi ke piringku.
"Nanay, jadi ikut berangkat bersama kita, kan?" tanya Jena sesaat sebelum menyuap makanannya.
"Ah, ya, sepertinya mama tidak bisa ikut kalian hari ini. Barusaja direktur rumah sakit tempat mama bekerja mengutus mama untuk pergi ke sebuah desa. Mama harus tugas di Bohol selama dua minggu. Tapi, nanti pasti mama akan menyusul setelah pulang dari sana."
Aku hanya mengangguk mengerti dengan pekerjaan mama. Itu hal yang lumrah bagiku, karena sering kali terjadi disaat yang tidak tepat.
Omong-omong aku jadi penasaran dengan latar belakang adik baruku ini. Katakanlah seperti itu karena ia lebih muda dariku, yah, walau tingginya melebihi aku.
____________
"Ate, kebiasaan melamunnya jangan dibawa kesini. Nanti kita bisa ketinggalan pesawat." Aku menghela napas berat sesaat Jena menegurku sambil meletakan sebotol mineral dingin di kursi kosong di sampingku.
"Tenang saja. Itu tidak akan terjadi." sahutku santai.
"Ngomong-ngomong, apa yang membuat kamu ingin pergi ke Indonesia?" tanyaku sehabis Jena meminum airnya separuh lalu kemudian ikut duduk di sampingku.
"Alih-alih ke Indonesia, kenapa bukan ke US atau Ausie?" tambahku lagi.
Aku membuka botol mineral yang tadi diberikan Jena sambil melihatnya yang tampak berpikir untuk menjawab pertanyaanku.
"Nanti juga, Ate, tau sendiri jawabannya." jawabnya dengan wajah sok penuh misterius.
Aku mendengus sebal karenanya.
Kudengar ia terkekeh kecil.
Tak lama kemudian terdengar pemberitahuan pesawat kami yang akan siap berangkat. Kami pun beranjak dari bangku menuju kabin.
_________
Setelah melalui beberapa jam perjalanan pesawat dan naik taxi menuju rumah dengan alamat yang diberikan oleh mama, kami akhirnya sampai di kawasan perumahan yang tampak sunyi. Benar-benar sunyi.
"Nanay dan mami sedang memikirkan apa ketika memilih tempat ini?" ucap Jena yang lebih terdengar seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Kami akhirnya berhenti di sebuah rumah besar bernomor 17. Jena membawakan turun semua koper tanpa membiarkan aku yang menyentuhnya. Baguslah. Aku jadi tidak perlu keluar tenaga.
Kukira rumah ini benar-benar kosong, tapi ternyata seorang ibu paruh baya beserta seorang kakek menyambut kami sambil membukakan pintu pagar.
"Zarrel dan Jena, bukan?" tanya si kakek memastikan.
Aku dan Jena hanya mengangguk. Si kakek juga tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepalanya. Beliau tampak seperti kakek yang ramah.
Lalu ibu paruh baya yang belum aku tahu namanya itu mengajak kami untuk masuk.
Aku lalu duduk di sofa ruang tamu sebelum ditujukan dimana letak kamarku.
"Perkenalkan, nama bibi Dahan dan ini kakek Mahad. Bibi anaknya beliau." ujar bibi Dahan sembari memberikan minuman ringan kepada kami.
"Terima kasih." sahutku berbarengan dengan Jena. Wah, aku terpukau sesaat dengan pengucapan bahasa indonesia Jena. Dia ternyata fasih sekali.
"Sebenarnya kami pemilik asli rumah ini. Namun, karena rumah ini memiliki banyak kenangan, kakek dan anak kakek tidak bisa sepenuhnya meninggalkan rumah ini. Untuk itu, orangtua kalian mengizinkan kami untuk tinggal bersama kalian di sini. Apa kalian keberatan?" ujar kakek dengan menatap bergantian ke arah kami berdua.
Kulihat Jena meneguk minumannya sesaat sebelum akhirnya menanyakan, "Jadi, sebenarnya rumah ini jadi milik siapa, Kek? Maaf kalau pertanyaan saya menyinggung." tanya Jena hati-hati.
"Sebelumnya saya kagum dengan kemampuan kamu mengucapkan bahasa indonesia. Kamu terlihat seperti warga asli sini dari pada orang luar." Wajah Jena merona sesaat sambil mengucapkan terima kasih dengan pelan.
"Rumah ini tidak dijual sepenuhnya. Tapi, sebagian besar ruangan di rumah ini bebas kalian gunakan kecuali vapiliun yang ada dibelakang rumah." aku mengangkat alis lantas menengok ke jendela yang tepat ada di sebelahku. Aku baru melihat kalau di belakang rumah ada rumah lagi yang lebih mirip seperti gudang besar.
"Tapi, kalau main di halamannya boleh, kan, Kek?" tanya Jena lagi.
"Tentu saja boleh."
"Ya sudah. Lebih baik kalian istirahat dulu di kamar. Sini, biar bibi tunjukan kamar kalian yang mana."
"Kamar kami sudah ditentukan, Bi?" tanyaku. Karena rasanya seperti mirip menginap di penginapan saja.
"Oh, tidak, Nak. Rumah ini lumayan besar. Ada banyak kamar kosong atau ruangan yang jarang dipakai. Bibi hanya menunjukan tempat mana yang sebaiknya kalian pilih. Tenang saja, semua tempat selalu rutin dibersihkan agar tidak ada serangga yang membuat sarang."
Oh, pantas saja.
Mendadak hal negatif terbesit dalam benakku sesaat menaiki anak tangga yang lumayan beranak. Sesaat juga melintas pertanyaan Jena kala menanyakan perihal soal hantu waktu itu.
"Ate, jangan melamun!" tegur Jena. Lagi-lagi aku kedapatan sedang melamun olehnya.
________
Aku dan Jena tidak satu kamar. Tapi ia lebih memilih kamar paling ujung yang jauh dari tangga. Kulihat juga lampu ke sana agak remang.
Apa benar rumah sebesar ini hanya ditinggali kakek dan bibi saja? Padahal banyak kamar kosong yang lumayan bisa digunakan untuk disewakan jadi kost.
Kamar yang kutempati benar-benar bersih tanpa adanya debu sedikitpun. Kasurnya juga lumayan enak.
Aku lalu menggeser jendela kaca (yang hampir sebesar pintu) agar tidak pengap.
Aku rebahan di kasur dengan merentangkan tangan.
Angin sejuk membuai wajahku dengan lembut.
Rasanya aku mulai mengantuk.
Aku juga merasa lelah dengan perjalananku.
Dan akhirnya aku benar- benar tertidur dengan pakaian dan sepatu yang lupa kulepas.
Aku mendengar suara berisik tidak jauh dari kamarku. Rasanya seperti terdengar dari kamar sebelah. Aku tidak begitu mendengar dengan jelas, hanya saja... suaranya seperti penuh. Maksudku penuh seperti perasaan ketika kita memasuki sebuah tempat keramaian. Aku yang penasaran kemudian beranjak membuka pintu kamar, lalu kemudian mendadak suara itu menghilang begitu saja. Benar-benar hilang.
Lalu tak lama kemudian, pintu kamar disebelah kiri kamarku terbuka, keluarlah seorang anak perempuan seperti seumuran denganku dengan muka bantalnya ia melewatiku begitu saja.
"Hei!" Tegurku. Kupikir dia anaknya bibi Dahan.
Ia berhenti sesaat beberapa langkah di depanku dengan membelakangiku. Dia tidak bersuara. Juga tidak menoleh.
Lalu kembali berjalan menuruni tangga.
"Ck, sombong sekali." gerutuku lalu kembali menutup pintu kamar.
Sesaat aku menutup pintu, terdengar suara orang berlari dari luar. Kupikir itu anak yang tadi. Kubuka saja pintu kamarku lagi.
Tapi tidak ada siapa-siapa.
Aku pikir aku berhalusinasi akibat kelelahan.
Lalu aku berbalik dari pintu, dan pandanganku langsung menuju balkon dengan pintu dan jendela kaca yang masih terbuka. Tirainya mengembang tertiup oleh angin yang lumayan kuat.
Aku lalu melihat dengan sangat jelas seseorang tengah duduk di atas batas dinding semen tepi balkon kamarku.
Siapa dia?
Jangan bilang dia sejenis Verlyn dulu lagi.