Ruangan Verlyn kembali dihebohkan oleh para dokter dan suster. Kulihat samar-samar dari balik kaca, tubuh Verlyn berkali-kali terangkat karena alat kejut jantung itu. Ya Tuhan, jangan ambil Verlynku sekarang, kumohon izinkan dia hidup satu kali lagi. Kurasa aku sudah mulai menyayangi dirinya, Tuhan. Dia harus tetap hidup, Riyal masih membutuhkan dirinya, Tuhan.
Aku terus melafalkan kalimat-kalimat doa. Aku tak ingin Verlyn pergi untuk selamanya. Ada banyak rencana yang ingin aku lakukan bersamanya nanti.
Seketika tubuhku luruh ke dinding di balik ruangan Verlyn. Air mata kembali mengalir dengan derasnya. Apa yang kulihat barusan membuatku sangat terpukul. Sakit. Sangat sakit. Apa yang lebih sakit ketika orang yang kita sayang pergi untuk tidak kembali lagi? Aku memang baru saja mengenal Verlyn, itupun hanya sebatas roh. Namun, entah kenapa perasaan ini begitu terluka ketika melihat wajahnya ditutupi kain seperti itu. Saat ini apakah aku halu jika mengharapkan keajaiban terjad---
"Dokter!!! Jantungnya kembali berdetak!" Kulihat seorang suster berasal dari ruangan Verlyn berteriak keluar memanggil dokter yang sudah keluar beberapa saat yang lalu.
Apa tadi? Jantungnya kembali berdetak? Apakah Verlyn kembali?
Aku menghapus kasar air mataku dengan bajuku. Lalu berdiri untuk melihat lagi dari balik kaca. Tuhan, Kau mengabulkan doaku. Allhamdulillah, terima kasih, Tuhan.
Berjam-jam kemudian.
"Anda bisa masuk sekarang! Keajaiban terjadi. Pasien sudah sadar. Tapi, sebentar lagi kami akan memindahkannya ke ruangan biasa. Permisi."
Aku langsung bergegas masuk, aku tersenyum bersyukur melihat Verlyn yang kini sudah bisa makan meski harus disuapi oleh suster. Aku beranjak ke sisi ranjang, memandang wajahnya yang berkali-kali lipat lebih cantik dari roh yang selama ini kulihat. Aku memberikan senyuman terbaikku padanya, dan---
"Siapa lo?" Tidak! Ia mengatakannya dengan wajah datar dan aura yang dingin. Ini pasti hanya lelucon, Verlyn pasti mengenaliku, bukan?
"Verlyn, ka-kamu bercanda, kan?" tanyaku hati-hati. Aku melirik suster di sebelahnya, kenapa dia tidak segera pergi? Tidakkah harusnya ia mengerti untuk meninggalkan aku berdua Verlyn sebentar.
"Maksud lo apa? Gue nggak kenal sama lo. Ngapain lo di sini?" Lagi-lagi Verlyn mengatakannya dengan dingin. Meski suaranya pelan dan lemah tetap saja itu terdengar tajam di telingaku.
"Dek, sebaiknya kamu keluar dulu. Pasien harus segera istirahat, juga akan dipindahkan ke ruangan biasa sebentar lagi."
"Tunggu, Sus! Apa dia amnesia?" tanyaku pada suster itu sambil memandang Verlyn yang masih menampilkan wajah cueknya.
"Saya tidak tahu untuk hal itu."
Aku melihat sekali lagi wajah Verlyn sebelum akhirnya beranjak pergi keluar, apa aku akan pulang saja? Sebaiknya begitu. Aku juga harus menjemput Riyal. Untung Riyal sekolahnya seharian hari ini, jadi aku nggak masalah telat jemput dia.
Mungkin Verlyn harus istirahat untuk mengembalikan memorinya. Tapi, bagaimana jika dia benar-benar tidak mengenaliku?
_____________________
"Kak Za!" panggil Riyal yang kini sudah ada di rumah sedang duduk di sofa depan TV.
"Iya?" sahutku yang berada di sampingnya sambil memainkan rubik miliknya.
"Kak Za, habis nangis?" tanyanya dengan menongakan wajah melihatku.
"E-enggak, kok, tadi mata kakak cuma kelilipan debu maka---"
"Kakak, bohong. Kakak, pasti nyembunyiin sesuatu, kan, dari Riyal?" tanyanya lagi dengan wajah yang serius.
"Enggak, Sayang. Kakak beneran kelilipan tadi. Ayo, dimakan lagi itu burgernya! Kalau nggak kakak yang habisin, nih," sahutku sengaja mengalihkan perhatiannya. Riyal segera memakannya kembali dan mengabaikan apa yang baru saja kami bahas. Cukup mudah ternyata untuk mengalihkan perhatian anak kecil.
_________
Keesokan harinya setelah pulang sekolah, aku langsung menuju RS. Sebelumnya aku sudah menjemput Riyal, sekarang dia di rumah bersama Bi Ufa ---pembantuku.
Dengan hati yang was-was aku melangkah menuju resepsionist untuk menanyakan di mana ruangan Verlyn sekarang. Setelah mendapatkan nomor ruangannya aku segera berjalan lebih cepat menuju lantai dua lewat lift.
Sesampainya di depan pintu, aku kembali berpikir apakah masuk atau tidak. Bagaimana jika Verlyn mengusirku?
"Siapa di situ?!" teriak Verlyn dari dalam. Kurasa karena ia melihat bayanganku di balik kaca pintu.
Aku segera membuka pintu dan mendapati pandangan dinginnya seperti kemarin.
"Ngapain lagi lo ke sini?" tanyanya kali ini tanpa melihatku lebih tepatnya ia melihatku melalui ekor matanya.
"A-aku bawain buah buat kamu," sahutku sembari berjalan menuju nakas di sampingnya lalu meletakan keranjang buah di situ.
"Kalau sudah selesai silakan pergi!" usirnya masih tanpa melihatku.
"Verlyn, kamu serius tidak mengenaliku?" tanyaku sambil memandang lekat dirinya yang masih menunduk membaca buku --entah dapat dari mana.
"Gue nggak pernah punya teman kayak lo. Lagian gue juga nggak kenal sama lo," sahutnya lagi yang membuat hatiku sakit.
"Aku Zarrel, Lyn! Aku Zarrel orang yang selama ini membantu kamu saat kamu dalam wujud roh," seruku mencoba mengingatkannya.
"Lo halu, ya? Mending lo keluar, deh! Dari pada ngomong nggak jelas!" usirnya dengan menatap tajam padaku.
"Ta-tapi, Ver---"
"KE.LU.AR!!!"
Oke, aku keluar. Aku masuk ke lift dengan menutupi sebagian wajahku menggunakan kupluk yang kupakai. Sesampainya di bawah, aku segera berlari menuju mobilku. Untung saja langkah kakiku tidak menimbulkan suara yang berisik. Sesampainya di dalam mobil, air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya tumpah ruah membanjiri wajahku. Sakit. Sangat sakit. Kenapa jadi seperti ini, Tuhan?
...